Menurut jaksa, secara undang-undang eksekutor tidak dapat menjadi justice colaborator, jadi ketika dalam persidangan terdeteksi ada sebutan justice colaborator, kemungkinan layar monitor akan menampilkan kata "Belum Menjadi Justice Colaborator". Karena toh semuanya baru sebatas pengakuan, dan belum terbukti dan dinyatakan secara sah bahwa si terdakwa adalah eksekutor atau bukan.
Ketika asumsi jaksa tidak sesuai dengan algoritma kemungkinan yang diimplementasikan pada Artificial Intelligence persidangan, maka akan muncul tulisan, "Asumsi tidak diterima, petimbangkan kemungkinan lain."
Jika semua keterangan saksi dikonversi ke dalam bentuk digital dan biarkan sistem yang mengolah dan menyimpulkan, apakah hasilnya kira-kira akan sama dengan tuntutan jaksa dan putusan hakim? Selama sidang, ada pengamat-pengamat yang merupakan ahli hukum yang dimintai pendapat. Tentunya mereka tidak asal berkomentar. Pasti mereka mengikuti berita dan jalannya persidangan sehingga dapat berkomentar sesuai keahliannya.Â
Tetapi pendapat mereka tidak terlalu berpengaruh, karena toh mereka tidak terlibat dalam persidangan. Mungkin jika ada sistem yang dapat mendigitalisasi jalannya persidangan, kemudian membandingkan dengan kitab undang-undang hukum yang berlaku dan ilmu-ilmu terkait lainnya, akan ada semacam "saran" dari sistem yang setidaknya dapat menjadi pembanding dengan tuntutan jaksa atau putusan hakim yang mengandung unsur perasaan, emosi, dan sifat-sifat manusia lainnya (VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H