Radio baru sengaja saya beli ketika baru gajian pertama setelah pindah kota. Radio baru yang menemani dikala kesepian sebagai orang baru di kota yang baru. Radio ini juga yang menemani saat kamar baru terasa horor ketika suasana sedang sepi atau di malam hari ketika semua tertidur.
Entah karena masih baru pindah dan belum terbiasa dengan suasana rumah dan kamar kost baru, setiap mau tidur malam, perasaan hati selalu tidak enak. Padahal saya bukan tipe penakut. Ditambah lagi, teman-teman kost lain di lantai yang sama tidak ada yang berani tidur sendirian. Jadilah mereka tidur berdua atau bertiga sekamar, walau sebenarnya masing-masing punya kamar sendiri. Sementara saya bertahan tidur sendirian di kamar sendiri. Teman-teman lain pernah bercerita, bahwa mereka pun merasakan hal yang sama di area lantai atas. Maka jika penghuni lantai bawah ada yang pindah, biasanya penghuni lantai atas berlomba-lomba pesan tempat untuk pindah kamar.
Untuk meredam perasaan yang kurang enak, maka saya pun selalu menyalakan radio dan memilih saluran lagu-lagu rohani. Radio sengaja saya tempatkan di dekat tempat tidur agar saya dapat mendengarnya meski suaranya sayup-sayup. Maklum, pasang radio tengah malam di jam tidur, tentu tidak bisa kencang-kencang. Pada akhirnya saya bisa tertidur, dengan ditemani lagu-lagu dari radio yang menyala sampai pagi. Begitulah lagu-lagu rohani dari siaran radio menemani tidur di malam hari di tempat baru yang masih berasa "horor". Walau ditinggal tidur, tidak ada cahaya yang keluar dari radio seperti cahaya dari monitor laptop atau komputer, tidak ada batere handphone yang drop karena semalaman menyala sambil "mendengarkan" musik.
Dikemudian hari saya tahu, bahwa mendengarkan musik menjelang tidur dapat membuat pikiran relax, menghilangkan insomnia, dan membuat tidur lebih nyenyak. Mungkin karena itu ada istilah musik penghantar tidur.Â
Seringkali, sehabis pulang kerja, saya tidak melihat radio itu ditempatnya. Kamar kost kami memang tidak diperkenankan dikunci, karena setiap hari kamar-kamar itu dibersihkan oleh asisten rumah tangga. Jadilah radio saya berjalan-jalan kemana-mana di dalam rumah itu. Maklum teman-teman lain masih mahasiswa yang kadang-kadang seenaknya. Saya satu-satunya penghuni yang bekerja dan yang tertua. Selain radio, kamus bahasa Inggris dan sepatu sering dipinjam tanpa permisi. Tapi yang jelas tahu sama tahu kalau barang-barang itu tidak hilang, hanya dipinjam oleh penghuni kamar lain. Ngomongnya baru nanti ketika mereka mengembalikan, atau ketika saya mencari-cari barang-barang tersebut. Â
Kebetulan tempat kost itu saya pilih karena dekat dengan tempat kerja dan juga dengan gereja. Saya cukup berjalan kaki lima menit saja menuju kantor atau menuju Gereja di arah yang berlawanan. Dan kebetulan juga, rumah kost khusus wanita ini dekat dengan kampus. Maka tempat kost kami lebih banyak dihuni oleh para mahasiswi. Pemilik rumah sendiri tidak tinggal bersama kami. Jadi yang tinggal di rumah itu hanya para penghuni kost dan asisten rumah tangga, yang usianya baru tujuh belasan. Rumah kost ini berada di perumahan elit, dengan rumah besar-besar bergaya Eropa. Jadi jalanan sekitar pun tidak terlalu ramai. Malam hari jam tujuh saja sudah sepi. Mungkin ini salah satu yang membuat suasana berasa horor.
Radio yang menyala di kamar kost, di pagi atau sore hari, rupanya bisa terdengar ke kamar sebelah kiri dan kanan. Siaran-siaran radio yang saya pilih, menjadi "identitas" saya. Karena salah satunya, dari situlah teman-teman kost mengenal saya. Radio ini juga yang kami pasang dan dengarkan rame-rame dikala weekend, saat semua penghuni ada di rumah. Kebersamaan sederhana yang membuat suasana jadi hidup. Ada yang sambil memasak, sambil tiduran di kamar, atau sama-sama mendengarkan di ruang bersama. Tidak jarang kami mendengarkan siaran lagu-lagu dan tanpa sengaja bernyanyi bersama walau masih dengan kegiatan masing-masing.
Siaran radio memang beda dengan streaming musik dari Internet. Ada interaksi, walau sepihak, antara penyiar radio dan pendengar. Makin luas pengetahuan penyiar radio, makin banyak informasi yang didapat, misalkan tentang sebuah lagu atau penyanyinya. Yang pasti informasi yang disampaikan oleh penyiar radio lebih berkualitas daripada yang disampaikan oleh pembawa acara gosip di stasiun televisi jaman now atau pun tabloid gosip yang juga berisi berita-berita seputar selebriti. Meski informasi yang disampaikan tak setajam silet, namun para penyiar radio ini lebih elegan baik dari segi informasi yang disampaikan dan dari cara menyampaikannya.
Sesekali radio itu, radio yang sama, masih saya nyalakan untuk sekedar mendengarkan musik, percakapan tentang berita-berita yang sedang hot. Menurut saya, para penyiar radio sering lebih baik dalam membawakan sebuah acara bincang-bincang dibandingkan dengan para host di tv yang rata-rata gayanya sama, mengarahkan pembicaraan ke arah kesimpulan yang mereka mau. Kadang malah ada kesan memaksakan. Sementara para penyiar radio, namanya bincang-bincang ya benar-benar bincang-bincang.
Sambil menulis artikel ini, saya nyalakan radio yang sama, yang saya beli bertahun-tahun lalu ketika pertama kali menjadi anak kost. Ternyata masih ada suaranya. Artinya masih ada stasiun radio yang beroperasi. Hidup siaran radio!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H