Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Administrasi - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler Teknologi untuk semua orang, karena semua orang perlu melek teknologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Ngobrol Antar Sesama Penumpang Kereta Api Jaman Baheula

7 Oktober 2022   15:11 Diperbarui: 8 Oktober 2022   10:47 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kereta api eksekutif Argo Dwipangga pada Kamis (15/10/2020).(Dok. Shutterstock/Paramarta Bari)

Jum'at malam atau Sabtu sore dari Jakarta adalah rutinitas bergegas menuju Gambir atau Jatinegara untuk antri membeli tiket kereta api demi bisa pulang ke Bandung.

Saat itu belum ada pembelian tiket secara online. Kalau mau pesan harus via telpon atau datang langsung beberapa hari sebelum keberangkatan, atau melalui agen atau calo. Tiket masih berupa hard copy, bentuknya seingat saya masih sama seperti yang sekarang. 

Hari Seninnya, subuh-subuh sekitar jam 4 pagi, sudah harus berangkat lagi naik kereta ke Jakarta untuk mencari nafkah selama satu minggu ke depan. Bersaing mendapatkan tiket duduk ke Jakarta sejak Jum'at malam sambil membeli tiket ke Bandung atau sebaliknya sudah biasa. Lebih seringnya hanya mendapatkan tiket berdiri. 

Duduk lesehan rame-rame sambil terkantuk-kantuk pun sudah biasa. Itulah gambaran penumpang kereta Bandung-Jakarta-Bandung sekitar tahun 2000-an sampai sebelum jalan tol Cipularang dioperasikan. 

Sebagai penumpang kereta api rutin di Sabtu/Jum'at sore dari Jakarta menuju Bandung atau Minggu malam/Senin Subuh dari Bandung ke Jakarta saat itu, saya berkesempatan bertemu beberapa orang yang cukup menarik setelah mengobrol panjang kali lebar bersama mereka. Beberapa di antaranya adalah orang-orang yang sama yang saya temui pada rute dan hari yang sama. 

Obrolan bisa terjadi dengan sesama penumpang yang kebetulan sebangku, sesama pemilik tiket berdiri yang juga berburu pojokan di balik kursi paling belakang yang space nya agak luas sehingga bisa dipakai duduk lesehan dengan kaki berselonjor untuk dua orang, atau pemilik tiket berdiri yang mendapat space di gerbong restorasi sambil duduk lesehan. 

Dari mereka juga, saya jadi tahu kalau ada kursi-kursi khusus petugas di nomor-nomor tertentu yang tidak dijual, di mana kita bisa langsung menduduki kursi itu jika beruntung dengan memberikan sejumlah uang kepada petugas. Jika tidak beruntung, mungkin Anda akan disuruh pindah karena kursi itu sudah dijual oleh pemilik jatah ke penumpang lain.

Biasanya perjalanan diwarnai dengan obrolan sesama penumpang. Mungkin pengaruh udara yang sedikit hangat karena tidak ber-AC dan juga jumlah penumpang yang melebihi kapasitas tempat duduk, sehingga jarang ada yang tertidur pulas sepanjang perjalanan yang makan waktu antara 3-4 jam. 

ilustrasi Antri tiket kereta | sumber: bisnis.tempo.co
ilustrasi Antri tiket kereta | sumber: bisnis.tempo.co

Obrolan dengan seorang bapak teman sebangku, yang awalnya asyik-asyik saja namun kemudian ujung-ujungnya bicara tentang agama. 

Dengan terpaksa, sebisa mungkin saya berusaha membelokan obrolan ke arah yang lebih netral. Lumayan jadi berlatih komunikasi yang baik, hehehe.

Bertemu dengan seorang ibu, yang katanya salah seorang anggota pendamping Pak Habibie kalau pergi ke mana-mana untuk urusan pekerjaan. Dari gaya berbicaranya ibu ini memang terlihat smart, obrolan jadi menarik dan tidak garing. 

Saat itu kami berdua duduk lesehan di sudut paling belakang karena tidak mendapatkan tempat duduk.

Obrolan berlanjut ke pasar kaget Gasibu, di Bandung, di mana ibu itu pernah terkaget-kaget menemukan pakaian dalam dijual 10 ribu 3. Padahal dia beli untuk barang yang setidaknya penampakannya sama persis, di toko di luar negeri, harganya ratusan ribu, hahaha.

Pertemuan yang tak kalah menarik di kereta jalur Bandung-Jakarta-Bandung, adalah ketika saya bertemu dengan seorang bapak di Senin subuh sekitar jam 4 pagi, dari Bandung menuju Jakarta. Kami bertemu di gerbong restorasi di mana banyak orang duduk lesehan. 

Awalnya hanya ngobrol biasa tentang hal umum lainnya dan kemudian berlanjut tentang pekerjaan. Saat itu saya bekerja sebagai seorang programmer di Jakarta dan sedang menyelesaikan skripsi di Bandung. Dan ternyata bapak itu sedang membutuhkan tenaga programmer. 

Setelah pertemuan kedua di gerbong yang sama, setiap hari Senin subuh, akhirnya bapak itu menawarkan untuk datang ke kantornya untuk interview. Dan saya setuju. Jadilah saya bertemu di kantornya. Meskipun ujung-ujungnya saya tidak jadi bekerja untuk beliau, namun cukup menarik juga pertemuan yang terjadi di kereta dan berlanjut dengan wawancara kerja. 

Tua muda, karyawan kecil atau pejabat, mungkin saat itu tumpah ruah di kereta yang masih menjual tiket berdiri. Tidak ada perbedaan status kalau sudah duduk lesehan dimana saja di gerbong kereta itu. Namun demikian obrolan tetap berkualitas.

Ketemu teman lama di kereta? Pernah juga beberapa kali. Teman yang sudah entah ke mana, tiba-tiba bertemu tanpa sengaja di kereta dan kemudian hubungan pertemanan nyambung lagi. Diajak kenalan oleh seseorang yang langsung minta nomor HP juga pernah. Mau kasih nomor palsu, terpikir bagaimana kalau dia tes menelepon saat itu juga. Mau tidak mau kasih nomor asli, hahaha. 

Banyak suka duka naik kereta, yang membuat dunia menjadi lebih luas karena berbagai pengalaman bertemu orang-orang di kereta.

Ritual antri berjam-jam sebelum loket dibuka karena membeli tiket dadakan. Saling ngobrol dengan sesama pengantri dan saling titip antrian karena kebelet ke toilet, hahaha.

Itulah kereta bisnis Gambir-Bandung-Gambir ketika itu. Belum ada aplikasi pembelian tiket online, tiket berdiri masih dijual, dan keretanya pun belum dilengkapi Air Conditioning (AC). Begitu lewat terowongan panjang yang gelap, semua penumpang duduk akan berdiri menutup jendela yang terbuka agar bau anyep dari terowongan tidak masuk ke dalam kereta. 

Minuman paling irit ketika itu adalah teh manis panas, yang masih disajikan di dalam gelas beling. Bukan paper cup sekali pakai seperti sekarang.

Terkadang jika terpaksa dan jika tiket duduk masih ada, saya juga membeli tiket eksekutif Argo Parahyangan. Memang beda rasa nyamannya. Ber-AC, tempat duduk lebih empuk, ada bantalnya, ada senderan kaki, dan seingat saya, ada snack box yang dibagikan gratis. Ada TV-nya pula, walau nontonnya juga gak kedengaran suaranya. 

Di sini saya belajar, kalau sudah terbiasa nyaman, ternyata ada rasa enggan untuk meninggalkannya. Karena sudah merasakan nikmatnya naik kereta eksekutif, padahal biasanya cukup yang kelas bisnis saja, maka ketika harus kembali ke kelas bisnis, rasanya menjadi kurang nyaman. Padahal sebelumya, nyaman-nyaman saja sekalipun harus lesehan dimana saja bersama penumpang lain. 

Di kemudian hari hal ini menjadi refleksi saya. Jalan hidup tidak selalu mulus, maka menjadi orang yang fleksible dalam setiap keadaan adalah suatu hal yang baik. 

Di manapun dan kapan pun, dalam kondisi apa pun harus tetap bersyukur dan menikmati segalanya. Jangan melekat pada kenikmatan dan kenyamanan karena setiap saat segala sesuatunya bisa berubah. 

Sekarang, kereta ekonomi pun sudah ada AC-nya. Cukup nyaman untuk tertidur pulas sepanjang perjalanan Bandung-Jakarta. Tiket berdiri sudah tidak dijual. Pedagang asongan pun sudah tidak diperbolehkan masuk. Waktu tempuh juga semakin berkurang. Kenyamanan ini ternyata diiringi hilangnya budaya ngobrol antar sesama penumpang. 

Ada kenangan dari kereta api jaman dulu yang bisa diingat sekarang, ada kenyamanan dari kereta api sekarang yang berbeda dengan kereta api jaman dulu. Semuanya bagus. 

Jayalah Selalu Kereta Api Indonesia.

(VRGultom)

*) Menyalin sebagian atau seluruh isi artikel dan mempublikasikannya di media lain adalah pelanggaran hak cipta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun