Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

WFH: Integritas, Profesionalisme, dan Dukungan Infrastruktur

22 Mei 2022   16:21 Diperbarui: 23 Mei 2022   16:15 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ASN WFH, why not?

Selama integritas dan profesionalisme tetap dijaga, mengapa tidak? Bisa kerja dari rumah atau dari mana saja tanpa kehadiran atasan yang biasanya membuat para pegawai berusaha terlihat sibuk, adalah suatu kemajuan. Karena itu artinya mereka bertanggung jawab dengan pekerjaan  dan tugasnya atas kesadaran sendiri.

Namun demikian, tentu infrastruktur dan segala macam fasilitas pendukung harus siap juga. Para pegawai yang bertanggung jawab dan berintegritas tinggi tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika fasilitas pendukung tidak berfungsi dengan baik.

Indonesia sudah berada di era digitalisasi, yang ditandai dengan perkembangan penggunaan aplikasi online yang mengkonversi cara kerja manual menjadi berbasis digital, tidak hanya oleh perusahaan-perusahaan swasta, tetapi juga sudah diusahakan oleh negara.

Sayangnya masih banyak aplikasi layanan publik yang tidak berfungsi dengan baik. Entah itu karena aplikasi yang kurang bagus, keseringan error, server dan infrastruktur lainnya yang tidak memadai, keamanan aplikasi yang kurang dapat dipertanggung jawabkan, kesesuaian antara aplikasi dan SOP yang kurang bagus sehingga masih memungkinkan kecurangan, dan mungkin masih ada lagi hal-hal lain.

Sebagai contoh, baru-baru ini saya perlu melakukan perpanjangan passport dan mencoba mengakses aplikasi terkait untuk mendaftar dan mendapatkan nomor antrian. Ternyata setelah login dan mengikuti alur proses yang diharuskan, ditengah-tengah mengirimkan softcopy  KTP (uploading), ternyata sampai beberapa menit proses upload masih belum selesai. 

Tidak ada keterangan error, misal ukuran file terlalu besar, file tidak sesuai, atau pesan lain yang dapat dimengerti. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya menelpon kantor imigrasi menanyakan hal tersebut. Ternyata, menurut petugas yang menjawab, aplikasi itu sedang error dan saya diminta untuk mencobanya lagi besok. 

Namun setelah beberapa hari bolak-balik mencoba, aplikasi itu masih error juga. Terpaksa datang langsung ke kantor imigrasi untuk mencoba pengurusan langsung. Sayangnya kuota hari itu sudah penuh. Dan  jika hendak mengurus langsung harus datang pagi-pagi sekali, karena kuota harian tanpa pendaftaran via aplikasi online hanya untuk 15 orang saja! Terpaksa besoknya saya datang lagi ke kantor imigrasi. Sampai disana jam 3.30 pagi dan sudah ada 8 antrian, berarti saya orang ke-9 yang datang subuh-subuh. 

Sayangnya tidak ada nomor antrian resmi, sehingga ketika ada seseorang lain yang datang di jam 6 pagi berinisiatif membuat daftar antrian dengan memasukan namanya di urutan pertama, cukup membuat keributan kecil diantara para pengantri yang sudah menunggu dari sejak subuh. He..he...he...this is Indonesia!

ANTARA FOTO/Didik Ssumber: mediaindonesia.com
ANTARA FOTO/Didik Ssumber: mediaindonesia.com

Contoh lain adalah server mati pada saat program vaksinasi COVID-19 berlangsung, sehingga petugas tidak dapat menginput data peserta kedalam database dan sertifikat vaksin tidak dapat dicetak. Pertanyaannya adalah, apakah tidak ada server back up yang bisa di-switch ketika server utama tidak berfungsi? Bukankah hal seperti itu menimbulkan petugas harus kerja dua kali mencatat secara manual data peserta vaksin dan kemudian melakukan proses input kedalam database melalui aplikasi terkait?  Bagaimana kalau hal semacam ini terjadi ketika ASN sedang WFH? Tentu akan mengganggu pekerjaan mereka.

Belum lagi kasus penerbitan sertifikat vaksin palsu oleh petugas dukcapil. Andai SOP yang diterapkan sehubungan dengan penggunaan aplikasi terkait tidak memberikan peluang petugas berwenang untuk melakukan hal-hal seperti itu, tentunya hal itu tidak akan terjadi dengan mudah. Apalagi kalau dikerjakannya ketika pelaku sedang wfh. Bisa jadi ada rasa lebih leluasa untuk melakukan hal-hal seperti itu dari luar area kantor. 

Namun demikian, masih ada aplikasi layanan publik yang cukup memuaskan yang pernah saya coba. Salah satunya adalah aplikasi "Salaman" dari DisDukCapil Bandung. Setidaknya ada beberapa kali saya menggunakan aplikasi tersebut, dan cukup memuaskan. Sayangnya hari ini saya coba buka, halaman aplikasinya error :D

Aplikasi Salaman ini memungkinkan masyarakat untuk meng-upload dokumen-dokumen persyaratan dalam pengurusan sesuatu. Saya tidak tahu apakah dibelakang layar mereka sudah menggunakan teknologi AI untuk validasi dokumen atau masih harus diperiksa petugas secara manual, namun cara ini sudah dapat memangkas waktu pengurusan menjadi lebih singkat. 

Jika semua persyaratan sudah diterima oleh petugas dibelakang layar melalui aplikasi Salaman ini, maka selanjutnya kita hanya perlu datang ke kantor Dukcapil untuk pengambilan dokumen saja. Disini, tentunya pemeriksaan dokumen, jika dilakukan oleh petugas, mereka dapat melakukannya dimana saja, asalkan ada koneksi Internet. 

Melalui fitur aplikasi khusus petugas, mereka tentu dapat memberikan tanda bahwa dokumen persyaratan sudah diverifikasi dan kemudian dieskalasi ke tahap berikutnya. Dalam proses ini pun, tentunya infrastruktur harus siap dalam menjamin keamanan data. Jangan sampai petugas dapat menyalin dokumen-dokumen masyarakat dan menggunakannya untuk keuntungan pribadi.  

Semoga, digitalisasi bukan sekedar wacana yang direalisasikan dengan asal-asalan demi untuk disebut bahwa Indonesia sudah berada dalam era digitalisasi. Karena digitalisasi, terutama dalam hal layanan masyarakat, tetap memerlukan tanggung jawab dan integritas meskipun pekerjaan dapat dikerjakan dimana saja, tidak mesti harus datang ke kantor.

Tanggung jawab dan integritas itu harus diusahakan tidak hanya oleh para pegawai, dalam hal ini ASN. Namun secara infrastruktur, SOP, dan software aplikasi pun harus mendukung pekerjaan para ASN. Digitalisasi justru secara tidak langsung "mendidik" seseorang untuk disiplin mengikuti alur yang benar yang sudah ditentukan. 

Namun jika alur digital itu masih memberikan celah-celah menggoda untuk melakukan sesuatu untuk keuntungan pribadi, tentunya celah-celah itu perlu ditutup atau setidaknya dikurangi. Dengan demikian para petugas pun dapat lebih ringan melakukan tugas-tugasnya, karena jika ditemukan penyimpangan, tidak semuanya menjadi tertuduh yang dapat menimbulkan stereotip buruk terhadap kinerja ASN secara umum. (VRGultom)

*) Menyalin sebagian atau seluruh isi artikel dan mempublikasikannya dimedia lain selain kompasiana.com adalah pelanggaran hak cipta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun