"Veronika, apakah kamu masih mau berteman dengan saya? Jika tidak saya akan menghapusmu dari pertemanan media sosial!" Kata salah seorang teman di media sosial.
Saya mengenalnya dan bertemu beberapa kali karena saya dan teman-teman lain sering mengunjungi asramanya. Namun dia bukan teman dekat saya. Sebutlah namanya Susan.
Pertanyaan Susan membuat saya serba salah. Dijawab ya, teman ini seperti menuntut untuk diperhatikan lebih. Membuat orang lain jadi tidak merdeka. Dijawab tidak, rasanya kurang sopan juga. Dan memang saya tidak berniat untuk memutuskan pertemanan, namun untuk berteman dekat menjadi sahabat pun tentunya perlu proses.
Teman saya ini adalah seorang penyandang disabilitas yang tinggal di asrama bersama dengan para penyandang disabilitas lainnya, di mana masing-masing orang memiliki kamar pribadi namun ada ruang bersama juga. Beberapa di antara mereka bekerja di perusahaan-perusahaan sesuai keahlian dan kemampuannya.Â
Sebenarnya banyak di antara penghuni memiliki keluarga, namun keluarga sengaja menempatkan mereka di asrama karena beberapa alasan. Namun, tidak berarti keluarga membuang mereka, karena mereka masih dikunjungi dan kadang-kadang pulang ke rumah.
Dari pengalaman itu, saya merasa Susan ini terlalu sensitif. Apa penyebabnya? Jika dibilang karena kekurangan fisiknya, saya rasa tidak.Â
Susan tinggal di negara yang sangat memperhatikan, bertoleransi, dan mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Mulai dari transportasi umum, infrastruktur jalanan dan bangunan, sampai perusahaan-perusahaan yang diwajibkan untuk menerima penyandang disabilitas untuk bekerja minimal sekian persen dari jumlah total karyawan.Â
Semua itu memungkinkan para penyandang disabilitas untuk tetap beraktivitas secara normal dan memiliki mata pencaharian juga meningkatkan keterampilan.
Namun demikian, mungkin ada rasa kesepian dalam diri Susan. Kebetulan dia bukan orang yang bekerja meskipun sebenarnya dia bisa, andai saja dia mau belajar dan meningkatkan keterampilan.Â
Kendala fisik tidak dapat menjadi alasan, karena toh dia masih bisa berjalan-jalan ke mana saja tanpa ada yang menemani, meskipun dia menggunakan kursi roda.Â
Kami pun, teman-teman yang sering mengunjunginya tidak memperlakukan dia sebagai orang yang "tidak normal".Â
Buat kami, orang-orang seperti Susan merupakan seorang yang spesial atau berbeda secara fisik karena harus menggunakan alat bantu dalam aktivitas sehari-hari. Sementara kebanyakan orang dapat bergerak ke mana pun tanpa alat bantu apapun.Â
Sangat wajar jika dia pun ingin memiliki banyak teman. Namun sekali lagi, seharusnya dia juga bisa mengerti jika persahabatan itu dibangun sedikit demi sedikit dan bukan atas dasar kasihan.
Bagaimana dengan penyandang disabilitas di Indonesia?
Menurut saya, ada banyak hal yang harus ditingkatkan di Indonesia tidak hanya untuk kebutuhan penyandang disabilitas tetapi juga secara umum.Â
Infrastruktur jalanan, gedung-gedung dan fasilitas umum yang kurang memadai, membuat para penyandang disabilitas sangat riskan untuk keluar rumah sendirian tanpa pendamping.Â
Belum lagi, perlakuan masyarakat terhadap mereka. Masih banyak orang yang cenderung memandang kasihan pada mereka tanpa berusaha membangun hubungan sebagai sesama manusia.
Sama dengan jika kita berteman dengan orang-orang lain yang normal secara fisik. Yah, menurut saya mereka pun harus bisa mandiri dengan dukungan masyarakat sekitar.
Bagaimana caranya?
Setidaknya buatlah mereka juga yakin pada mimpi-mimpi yang ingin mereka capai. Kekurangan fisik bukan halangan. Jangan mengasihani mereka dengan cara yang kurang benar.Â
Ada banyak pengemis yang mohon maaf pura-pura cacat hanya untuk mendapatkan belas kasihan dari orang-orang. Mungkin mereka mendapat pemikiran itu karena mereka melihat kebiasaan orang-orang 'mengistimewakan' para penyandang disabilitas dengan memberikan uang dan bantuan-bantuan lain langsung ke perorangan.Â
Memberi memang baik, Â jika ingin berdonasi, sebaiknya salurkan saja melalui organisasi-organisasi terkait.
Membantu kaum disabilitas menjadi orang-orang mandiri dan memandang mereka sama dengan yang normal secara fisik, tentunya harus dengan mengakui kekurangan mereka.Â
Tidak mungkin kita membiarkan seorang tunanetra menyebrang jalan sendirian hanya karena alasan mereka harus mandiri. Apalagi di Indonesia jarang fasilitas yang memfasilitasi hal-hal seperti itu.Â
Misal, lampu lalu lintas saat ini, untuk orang normal saja pun belum memadai, apalagi untuk penyandang disabilits.Â
Sebenarnya para disabilitas biasanya mempunyai kelebihan-kelebihannya sendiri. Contoh seorang tunanetra pernah minta tolong untuk saya membaca.
Ketika saya baru membaca sebagian, dengan cepat dia bilang lewat, lanjut halaman berikutnya. Begitu yang pernah dialami beberapa kali. Padahal saya yang membacakan pun belum ngeh dengan apa yang saya baca, tetapi dia sudah ngeh duluan.
Saya juga pernah mengenal seorang yang mohon maaf memiliki keterbelakangan mental, namun dia punya kelebihannya  sendiri. Yaitu dapat menyebutkan nama hari dari sebuah tanggal. Sebutkan tanggal lahir Anda, maka dia akan langsung menyebutkan nama harinya dalam hitungan detik. Hebatnya dia selalu benar!
Seorang anak dengan keterbelakangan mental, ternyata setelah beberapa hari bersamanya, saya mendapati bahwa dia adalah orang yang peduli dan memperhatikan orang lain, selain punya bakat menari.Â
Usianya sudah dua puluhan, hanya saja karena keterbelakangan mental perilakunya masih seperti anak-anak usia SD atau SMP.Â
Pada akhirnya saya mengerti, mereka hanya terlambat berkembang dibandingkan dengan usianya.
Menurut saya, mengakui kondisi mereka adalah hal yang penting. Selanjutnya memperlakukan mereka sesuai dengan kondisi mereka tanpa mengasihani, menurut saya juga penting, agar mereka juga tidak jatuh dalam mengasihani diri sendiri dan akhirnya menjadikan kondisi mereka sebagai alasan untuk tidak membangun dan meningkatkan kualitas diri.
Semoga, pemerintah juga mulai mempertimbangkan pembangunan lingkungan yang ramah buat para disabilitas, agar mereka tidak terkurung dirumah saja.
Semua orang harus saling beradaptasi satu terhadap yang lain. Disabilitas dituntut beradaptasi dengan standar umum namun harus dibarengi dengan mengakui keterbatasan mereka.Â
Dengan mengakui, semua pihak akan dapat memfasilitasi kebutuhan mereka. Misal masalah infrastruktur jalanan dan transportasi umum.Â
Tidak mungkin kita menuntut orang berkursi roda untuk menerima saja kondisi yang ada dan berusaha menyesuaikan diri tanpa menyediakan akses yang dibutuhkan.Â
Tidak mungkin juga kita yang memiliki fisik normal menuruti keinginan mereka seperti contoh teman saya, Susan. Semua pihak harus saling beradaptasi satu sama lain.Â
Selamat memperingati hari disabilitas 2021!!
(VRGultom)
*) Menyalin sebagian atau seluruh artikel ini dan mempublikasikannya dimedia lain selain Kompasiana.com adalah pelanggaran hak cipta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H