Karena pertimbangan efisiensi waktu, saya memutuskan tinggal di apartment yang merupakan hunian vertikal, yang lokasinya dipusat kota. Efisiensi waktu karena rumah tapak  sudah semakin jarang di daerah pusat kota Jakarta. Kalau pun ada harganya mahal.
Dengan tinggal di pusat kota, dalam sehari memungkinkan saya bolak-balik ke beberapa tempat sambil pulang/singgah di rumah untuk sekedar istirahat sebentar atau mempersiapkan aktivitas berikutnya.
Dengan demikian saya tidak perlu mencari tempat nongkrong seperti cafe, hanya untuk menunggu waktu berlalu. Hal ini membuat pengeluaran uang dan tenaga lebih irit. Kalau menunggu di cafe, tentunya harus membeli sesuatu dengan harga yang cukup mahal.Â
Bukankah kurang nyaman juga kalau nongkrong di warteg berlama-lama menunggu waktu sambil mempersiapkan sesuatu di laptop. Lagipula terlalu lama duduk di cafe bermain komputer, ternyata melelahkan juga.
Tinggal di hunian vertikal bukan hal baru bagi saya, karena sebelumnya bertahun-tahun saya tinggal di kota yang lebih banyak hunian vertikalnya daripada rumah tapaknya.Â
Apa bedanya tinggal di unit di lantai yang lebih rendah dan tinggi? Yang jelas, unit di lantai yang lebih tinggi lebih dekat kepada Tuhan ha..ha..ha...Mengapa demikian?Â
Karena agama apapun, jika bicara tentang  Tuhan, pasti selalu mengarah ke atas. Dan kalau ada gempa, bukankah yang paling beresiko itu di lantai yang paling tinggi, yang sudah pasti akan lebih maksa doanya!
Jika terpaksa harus turun/naik lewat tangga pun, biasanya terdengar ujaran,"Ya Tuhan, begini amat", saking capenya kaki.Â
Unit di lantai yang lebih tinggi, udaranya lebih bersih, lebih tenang, dan pemandangannya lebih bagus karena jarak pandang lebih luas. Dan kalau dapat unit di lantai yang paling tinggi, tidak akan ada suara-suara dari lantai atas yang cukup mengganggu, misal suara penghuni diatas menggeser kursi, atau mungkin suara orang yang sedang melompat-lompat karena sedang olahraga di dalam ruangan.