Teringat dulu ketika saya masih sering mengunjungi oma-opa (baca: lansia) di panti wreda. Tidak ada oma-opa yang saya kenal sebenarnya, karena niat saya memang berkunjung, mendengarkan cerita mereka, dan bersenda gurau dengan mereka.Â
Ada banyak oma-opa yang masih sehat, ada yang sudah harus dibantu, ada juga yang sudah pikun. Tetapi biasanya mereka semua senang bercerita, terutama kisah "masa jaya" mereka di masa lalu
Seingat saya, hanya pernah ada satu orang yang menyatakan senang tinggal di tempat sekarang (panti wreda) karena banyak teman. Sementara yang lain biasanya bercerita tentang anak-anaknya dengan bangga dan ketika ditanya berapa kali dalam sebulan anak-anaknya mengunjungi mereka, jawab mereka, "Tidak pernah".Â
Saat itulah saya sadar, tidak seharusnya saya menanyakan pertanyaan itu karena buat kebanyakan dari mereka sepertinya itu pertanyaan sensitif.
Ketika tiba waktunya orangtua saya juga menjadi lansia, pengalaman mengunjungi oma-opa di panti wreda membuat saya berpikir, bahkan oma-opa yang tidak saya kenal pun saya kunjungi, masa iya orangtua sendiri tidak saya perhatikan. Kenyataannya menemani orangtua di masa tuanya, saya akui bukan sesuatu yang mudah.
Jika sekadar hanya masalah keuangan, mungkin semua anak akan memilih bekerja demi mendapatkan penghasilan lebih yang dapat dipakai untuk mendukung baik orangtua maupun keluarganya sendiri. Namun ternyata yang dibutuhkan bukan cuma masalah keuangan.
Sekalipun orangtua kita sehat, rasanya tidak tega membiarkan mereka sendirian di hari tuanya. Tidak semua orangtua merasa nyaman ditemani orang asing seperti perawat atau asisten rumah tangga. Contohnya orangtua saya yang tidak terbiasa ada orang lain, selain keluarga, di rumah mereka.Â
Kalau pun cucu-cucunya datang, itu hanya sesekali karena mereka juga punya kesibukan sendiri-sendiri. Dan ternyata tidak semua orang, walau masih keluarga sendiri, punya kepekaan dan mau menyisihkan waktu untuk sekedar mengobrol dengan orangtua yang sudah lanjut usia.
Tidak semua orangtua mau tinggal di tempat lain selain di rumahnya sendiri. Tidak semua anak juga sanggup membiarkan orangtuanya tinggal di panti wreda, walau menempatkan orangtua di panti wreda tidak selalu buruk.
Pernah suatu waktu, ibu saya begitu ketakutan dan minta agar beliau jangan ditinggalkan. Ketika itu memang beliau sedang sakit. Bahkan ketika kondisinya membaik, beliau tetap tidak mau dan ketakutan untuk ditinggal sebentar saja, padahal saya cuma mau mengambil obat di counter obat rumah sakit dan beliau saya minta untuk menunggu sebentar di tempat duduknya.Â
Sampai saya bilang, "Saya bisa ditangkap polisi ma, kalau ninggalin mama di sini sendirian," he...he..he...entahlah mungkin mama saya terinspirasi kisah di sinetron, tetapi itulah yang terjadi dan saya bisa merasakan ketakutannya.
Ayah saya lain lagi. Beliau sehat dan masih semangat mengurus tokonya di usia tua. Ketika saya usulkan untuk mengambil asisten untuk membantunya, beliau selalu mengelak dengan alasan usaha yang dia jalankan cuma usaha kecil dan penghasilannya tidak seberapa.Â
Dia merasa terhibur dengan mengurus tokonya karena ada alasan berbincang-bincang dengan pembeli. Beliau bilang malu kalau sengaja datang ke rumah tetangga, untuk sekedar ngobrol ngalor ngidul.Â
Yeah, mungkin zamannya memang begitu, orang sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga untuk sekadar ngobrol ngalor-ngidul pun membuat orang lain berpikir dulu, takut mengganggu. Â
Semuanya masuk akal, walau anak-anaknya jadi khawatir, sudah usia hampir 80 tahun masih juga bekerja. Kondisi seperti itu membuat kami khawatir membiarkan orangtua hanya berdua saja di rumah.
Bukan cuma keuangan terjamin yang mereka perlukan, tetapi secara psikologi, mereka juga butuh ditemani, butuh ada orang-orang terkasih disekitar mereka, butuh ada teman mengobrol. Mungkin pada dasarnya mereka perlu merasa aman tetapi tidak ingin menjadi beban.
Saya teringat seseorang, yang juga sudah lansia, bercerita bahwa dia merasa ketakutan ketika harus naik pesawat, padahal di masa mudanya dia sering berpindah-pindah tempat tugas yang mengharuskan beliau naik pesawat. Dia bilang, tidak dapat dijelaskan, namun secara psikologi dia merasakan ketakutan.
Semua ada masanya. Ada masa muda yang penuh gairah, ada masa tua yang penuh ketenangan. Maunya sih masa muda itu selalu sukses dalam segala hal yang diinginkan, dan masa tua tenang-tenang saja menikmati hidup yang sudah disiapkan sesempurna mungkin agar tidak merepotkan orang lain, sekalipun itu anak sendiri.Â
Berbagai asuransi dan hal lain seperti olahraga teratur, makan sehat, berpikir positif, diusahakan dan dipersiapkan. Tetapi siapa yang tahu masa depan. Walau dalam kondisi sehat dan keuangan terjamin, masa depan tetap misteri. Maunya tidak merepotkan anak cucu, tetapi keadaan bisa saja berkata lain.
Sebagai anak, saya akui tidak mudah memilih antara menjalani hidup yang merupakan tanggung jawab sendiri (dan) atau menemani orangtua di masa tuanya.Â
Saya lebih suka menggunakan kata menemani ketimbang mengurus. Karena kata mengurus menimbulkan kesan pengorbanan dan keterpaksaan dari pihak yang mengurus, sementara kata menemani lebih berkesan tidak ada paksaan, tetapi merupakan pilihan sendiri.
Pada akhirnya saya menyadari, semua anak ingin berbakti pada orangtuanya, tetapi tidak semua mendapatkan dan memilih kesempatan itu. Ada yang tidak sanggup karena si anak sendiri kondisinya tidak memungkinkan entah dari sisi keuangan, waktu, atau pun kesehatan.Â
Ada yang memang memilih tanggung jawab yang lebih besar, seperti orang-orang yang memutuskan menjadi biarawan dan biarawati. Ada juga yang karena sedang berbeban berat, mungkin anak dan keluarganya sendiri sedang membutuhkan perhatian lebih, dst.
Namun ketika masa itu datang dan kita memilih, baik dengan sukarela ataupun terpaksa, untuk menerima tugas itu, jalani saja. Mungkin ada rasa lelah, takut hal-hal lain jadi berantakan, merasa kehilangan kesempatan ini dan itu karena waktu 24 jam terasa kurang akibat kebanyakan yang harus diperhatikan dan diurus. Apalagi jika orangtua yang sudah lanjut usia dalam keadaan sakit pula.
Tetapi ketika kita "melarikan diri" dari tugas itu, apakah hati kita menjadi lebih tenang dan damai atau malah merasa bersalah dan kepikiran?
Sebaiknya ikuti saja kata hati. Mungkin kita terpaksa mengorbankan banyak hal. Tetapi pada akhirnya, kita akan tahu, itu semua adalah sebuah kesempatan. Ketika orangtua masih hidup, kita temani dan layani, ketika sudah tiada, kita doakan. Â
Dalam keadaan lelah dan merasa terbebani karena harus mengurus orangtua dan pada saat bersamaan harus mengurus banyak hal lain juga termasuk keluarga sendiri, curhat kepada Tuhan akan membuat hati lebih tenang.Â
Sebaiknya tetap alokasikan waktu untuk olahraga agar energi negatif tidak mengendap di kepala. Lebih baik lagi jika seluruh keluarga diberikan pengertian dan ikut ambil bagian dalam memperhatikan dan menemani orangtua di masa tuanya.Â
Hidup ini adalah kesempatan. Mengurus dan menemani orangtua di masa tuanya adalah sebuah kesempatan. Mengurus keluarga sendiri juga adalah kesempatan. Mengurus diri sendiri juga kesempatan. Manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk menjalani semua kesempatan itu.Â
Pada akhirnya semuanya akan memperkaya diri kita sendiri baik dari sisi pengalaman hidup maupun kepuasan batin. Menjadi generasi sandwich adalah sebuah kesempatan berharga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H