"Veronika, what do you want to drink?", tanya bos saya dulu ketika kami mengadakan semacam welcome party karena saya baru bergabung bekerja diperusahaanya. Saya menjawab dengan gugup dan seadanya,"Mineral water!"
"Are you sure?", tanya boss saya. Dan saya hanya menjawab,"Yes, mineral water"
Sementara teman-teman lain dan si boss bule, yang keturunan Iran, memesan bir dan minuman beralkohol lainnya.
Pertama kali kerja dengan bule, baru pindah ke Jakarta dari kampung di Bandung sana, dan baru pertama kali diundang makan malam dalam suasana tidak formal oleh boss.
Hanya satu-satunya perempuan dan ditambah lagi bahasa Inggris yang belepotan karena sebelumnya cuma terbiasa membaca textbook berbahasa Inggris di dalam hati saja, tetapi tidak pernah bercakap-cakap atau setidaknya membaca buku berbahasa Inggris keras-keras.Â
Kondisi yang membuat saya gugup dan merasa kuper. Apalagi memang saya orang rumahan dan saat itu, yang saya tahu, perempuan tidak pantas minum bir atau minuman beralkohol (minol) lainnya. Kalau minuman keras... saya minum es batu... minuman keras yang suka iseng digigit saking kerasnya.
Seiring waktu dan pergaulan, wawasan saya mulai terbuka. Ternyata teman-teman wanita pun banyak yang suka minum-minuman beralkohol sampai mabuk.Â
Biasanya mereka pergi ke diskotik dan pulang dini hari dalam keadaan mabuk. Kalau saya diajak, saya jawab, "Bukan dunia saya". Padahal saya tahu suasana diskotik itu hanya dari buku dan film saja.
Untungnya kami tetap saling menghormati. Teman-teman tidak mengucilkan saya dan saya juga merasa tidak perlu menjauh dari mereka. Biasanya saya hanya jadi pendengar kalau mereka bercerita tentang pengalaman mereka semalam, tentang si A, si B yang kalau mabuk tingkah lakunya begini dan begitu.
Sebenarnya sih yang membuat saya kaget (diam-diam di dalam hati) ketika mendengar ibu anu, menceritakan sendiri pengalamannya ketika mabuk.Â
Bukan mabuknya yang bikin saya kaget diam-diam, tetapi cuma bertanya-tanya dalam hati, ibu ini tidak muda lagi, anaknya sudah besar-besar, tetapi koq bisa keluar malam-malam dan minum-minum bersama teman-temannya sampai dini hari? Apa keluarganya tidak mencari? Â
Tetapi mungkin itulah gaya hidup mereka, di luar itu, mereka biasa saja, bekerja professional, berteman dengan siapa saja, ramah, baik hati, dan tidak sombong.
Ketika saya tinggal di Singapura, teman-teman Indonesia banyak juga yang peminum, laki-laki maupun perempuan. Saya tidak terlalu kaget lagi, namun tetap pada prinsip saya sendiri.Â
Saling menghormati baik yang suka minum sampai mabuk, yang minum tidak sampai mabuk, maupun yang tidak minum-minuman beralkohol sama sekali. Kadang saya ikut nongkrong, dan lagi-lagi saya cuma pesan kopi atau orange jus ketika teman-teman lain pesan minum-minuman beralkohol.Â
Kalau mereka mentertawakan saya, saya cuma bilang, "Teman yang muslim dan vegetarian saja kita perhatikan kalau kita makan bareng. Mengapa kalian mentertawakan saya karena saya tidak minum-minuman beralkohol?".
Kadang malah sesama orang Indonesia yang justru minum untuk gaya-gayaan dan memanas-manasi orang yang tidak ikut minum. Namun saya pikir semuanya tergantung diri sendiri. Orang lain tidak berhak mendikte kita untuk melakukan hal-hal yang dianggap trend.
Kalau teman-teman bule, mereka malah biasa-biasa saja, menawari tetapi tetap menghormati jika kita katakan bahwa kita tidak minum. Tidak ada keharusan untuk ikut minum ketika kita nongkrong bersama mereka.
Dikemudian hari, saya tahu, ada bir yang tidak beralkohol, dan ada juga minuman beralkohol rasa coklat, dan agar alkoholnya tidak berasa terlalu panas ditenggorokan, lebih baik diminum dengan cairan minuman keras tadi, yaitu es batu.
Terlepas dari apakah minuman beralkohol itu baik atau tidak, sebaiknya pasang rambu-rambu masing-masing. Segala sesuatu yang berlebihan adalah tidak baik. Makan kebanyakan juga bisa jadi masalah. Olahraga yang katanya bagus untuk kesehatan juga bisa menimbulkan penyakit kalau terlalu berlebihan.
Jika dilarang oleh agama, maka sudah seharusnya sebagai umat mengikuti aturan agamanya dan tidak usah kompromi dengan alasan cuma menghormati tamu, social drinker, cuma mencicipi, dsb. Sebaliknya mereka yang tidak dilarang pun tidak perlu memanas-manasi.
Bagaimana jika sudah ketagihan atau ketergantungan? Apakah RUU minuman beralkohol bisa menghilangkan ketagihan (addiction) itu?
Jangan-jangan malah mereka membuat sendiri minolnya secara sembunyi-sembunyi tanpa mengetahui apakah bahan-bahan yang dipakai berbahaya atau tidak.
Jika seseorang sudah sampai di level addiction atau ketagihan, saya rasa yang paling dirugikan adalah orang itu sendiri dan mereka harus ditangani secara khusus untuk menghilangkan ketergantungannya pada minol. Undang-undang yang melarang mungkin hanya akan dipatuhi oleh orang-orang yang memang bukan peminum.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H