"Disini adalah tempat dimana kita boleh bercanda tentang bangsanya si A si B tanpa perlu takut-takut", kata si boss yang berasal dari Afrika Selatan ketika itu. Saya baru saja bergabung dengan teamnya, bekerja sebagai seorang konsultan IT. Â Kami makan siang bersama sebagai ucapan "selamat datang, selamat bergabung" untuk saya yang baru bergabung.Â
Pikir saya ketika itu, rupanya orang bule pun ada rasa sensitif kalau sudah menyangkut kebiasaan-kebiasaan bangsa A, bangsa B, bangsa C, sehingga si boss merasa perlu mengatakan kalimat diatas.Â
Dalam teamnya, memang setiap orang mewakili satu negara alias tidak ada yang berasal dari negara yang sama. Ada yang dari Jerman, Australia, India, Thailand, Rusia, Amerika, Belanda, dan saya sendiri dari Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika atau dalam istilah bahasa Inggrisnya Unity in Diversity.
Setelah sekian lama setiap hari bertemu, bekerja bersama, makan siang bersama, dan bergaul bersama, kami bisa saling mengerti satu sama lain. Si boss memang selalu mengingatkan untuk saling peduli karena kami semua adalah orang asing yang datang ke Singapura untuk bekerja, jadi keluarga pertamanya, selain keluarga inti, pasti teman-teman kerja.Â
Tidak jarang kami menghabiskan waktu akhir pekan bersama. Dari situ, saya mengalami, ternyata pada umumnya semua orang, mau orang apapun, sama saja. Meskipun budayanya berbeda-beda, yang beda paling tata caranya. Seperti ketika seorang teman dari India menikah, dia juga mengundang kami, dan kami saling bertanya, kasih angpau berapa?Â
Karena tidak mengerti umumnya berapa, maka kami mencari tahu dari teman-teman India lain. Rupanya kalau orang India biasanya dikasih emas. Tapi katanya karena kami bukan orang India, jadi tidak apa-apa kasih angpau saja, jumlahnya terserah. Karena kami tidak dapat menghadiri pestanya yang diadakan di India, kami hanya melihat foto-fotonya saja dan mendengar dari cerita si boss yang mewakili kami menghadiri pesta. Wah ternyata meriah, dan pestanya diadakan berhari-hari. Si boss sampai kaget melihat orang berdatangan silih berganti dalam jumlah banyak. Yah itulah orang India, sekalipun teman ini sudah tinggal di Singapura, dia tetap orang India.
Sementara kalau orang Singapura, jangan sakit hati kalau ada teman menikah, meskipun teman dekat, tetapi kita tidak diundang, sementara teman yang lain diundang. Karena ternyata, undangan mereka biasanya tidak banyak, dan orang-orang yang diundang harus konfirmasi dulu apakah akan datang atau tidak. Jika ada yang tidak bisa datang, maka slotnya akan diberikan kepada orang lain yang ada didaftar cadangan. Jangan juga ngotot datang kalau tidak diundang, karena tempat duduknya sudah pas sesuai jumlah orang yang sudah mengkonfirmasi akan datang. Namanya budayanya memang seperti itu, ya hargai saja. Mereka tetap orang Singapura meski bergaul dengan orang Indonesia yang, rasanya, tidak punya budaya seperti itu. Dan saya tetap orang Indonesia walau harus menerima perbedaan-perbedaan seperti ini. Â
Kalau si boss bule, ternyata dia sangat peduli dengan salam/greeting. Meskipun setiap hari bertemu, penting buat dia (dan sepertinya pada umumnya orang Barat seperti itu), untuk mengatakan salam seperti good morning, good afternoon, dan good good yang lain. Dan penting juga untuk saling menanyakan kabar seperti how are you, how's your weekend, dsj. Dia pernah menegur saya, karena saya tidak pernah menanyakan kabar dia.Â
Tadinya saya pikir, "Ngapain?!" Dia memang atasan langsung saya tetapi pekerjaan kami berbeda, dan saya juga rajin memberikan laporan tentang pekerjaan via email. Memang dia juga sering tiba-tiba menelepon untuk menanyakan kabar. Saya pikir wajar, karena dia atasan saya, mungkin sekalian ngecek, apakah saya ada ditempat kerja atau tidak.Â
Ternyata sudut pandangnya berbeda. Buat dia, hubungan atasan bawahan seharusnya tidak kaku, dan saling menanyakan kabar adalah tanda kepedulian, dan secara tidak langsung dia bisa menilai apakah saya bahagia bekerja bersama teamnya atau tidak. Dipikir-pikir iya juga ya...masa saya memperlakukan dia hanya sebagai orang yang mentransfer gaji setiap bulan, yang kalau lupa mentransfer atau gaji gak naik-naik, baru dihubungi :D
Bukan cuma masalah budaya dan kebiasaan-kebiasaan saja, masalah makanan pun bisa berbeda. Yang paling jelas adalah teman kami yang dari India dan vegetarian. Kami sudah mengerti dan membiarkan saja. Membiarkan dalam arti memberikan kebebasan karena menghargai. Kalau ada acara makan bersama, kami pastikan harus ada makanan vegetarian. Â Kalau sehari-hari dia lebih sering membawa sendiri dari rumah tetapi makannya bersama-sama satu meja dengan kami. Tidak ada masalah.Â
Masalah cara berpakaian pun bisa berbeda. Orang India, biasanya pakai baju sari sekalipun itu sedang acara di pantai. Sementara orang Barat, rata-rata pakai pakai tank top kalau ke pantai. Teman yang orang Thailand, mungkin sama seperti kebanyakan orang Indonesia, dimana pun gaya berpakaiannya sama :D
Kalau masalah bahasa?
Karena ketika itu saya tinggal di Singapura, saya juga mencoba bergaul dengan orang lokal. Di Singapura, ada etnik China, Melayu, dan India. Jika mereka bertemu, biasanya bahasa aslinya keluar dan lupa kalau ada orang lain yang tidak berbahasa seperti mereka.Â
Ya maafkan saja, mungkin juga saat mereka berbicara dalam bahasa mereka, mereka memang sedang membicarakan sesuatu yang tidak penting buat orang lain yang tidak berbahasa seperti mereka. Tetapi biasanya ada yang sadar dan mengingatkan agar menggunakan bahasa yang dimengerti semua orang.
Namun demikian, ternyata ada juga hal-hal yang tidak bisa diterima. Jadi bagaimana?
Sebagai contoh, dibeberapa tempat masih ada budaya yang cenderung menganggap derajat pria lebih tinggi daripada wanita. Mungkin karena itulah yang mereka praktekan dalam kehidupan sehari-hari ditempat asalnya, jadi sedikit banyak terbawa ketika mereka bergaul diluar kelompok mereka.Â
Tetapi orang lain yang budayanya berbeda bahkan mungkin bertentangan, tentu tidak akan bisa menerima. Untuk hal-hal seperti ini, sebaiknya dibicarakan terus terang, untuk mendapat jalan tengah. Mungkin orang bersangkutan tidak bisa otomatis besok berubah, sebaiknya diberikan waktu dan diingatkan lagi dan lagi.Â
Apalagi biasanya untuk hal-hal seperti ini, diberbagai organisasi, sudah banyak yang menerapkan aturan yang intinya tidak ada diskriminasi antara pria dan wanita, diskriminasi karena perbedaan warna kulit dan agama. Jadi budaya 'lokal' nya mau tidak mau harus dilepaskan untuk mengikuti budaya dan aturan yang berlaku umum.
Ternyata Bhinneka Tunggal Ika itu bukan cuma untuk orang Indonesia, dan prakteknya susah-susah gampang. Â Kuncinya adalah mengakui dan menghargai perbedaan. Lagipula, bukankah secara individu, setiap orang itu berbeda? Saya dan saudara saya yang dibesarkan bersama-sama juga berbeda. Saya suka singkong, saudara saya suka keju. Sepatu dia beli di Cibaduyut, sepatu saya beli di mall, parfum saya wanginya begini, parfum dia wanginya begono...tidak masalah. Aku begini, engkau begitu, it's ok. Saling menghargai saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H