Beberapa tahun tinggal dan mencari nafkah di negara tetangga yang dekat dengan Indonesia, yaitu Singapura, sempat membuat saya terlena oleh kenyamanan yang diberikan oleh negara tersebut. Kehidupan sehari-hari yang nyaman, aman, modern, dan serba teratur. Kehidupan yang, menurut saya, sebenarnya sederhana saja karena tanpa ribet.Â
Saya membandingkan dengan kehidupan di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta. Macet, polusi, orang-orang yang tidak disiplin dan cenderung semau gue karena mungkin merasa yang punya negara adalah garis keturunan nenek moyangnya yang priyayi. Menurut saya, semua itu membuat hidup menjadi ribet dan tidak sederhana.
Singapura, kota kecil yang bersih, jauh lebih nyaman dan tenang, udaranya bersih, orang-orangnya tidak usil, relatif aman bagi semua orang, dan rasanya semua orang mempunyai hak yang sama yang dijamin dan benar-benar dijalankan oleh pemerintahnya.Â
Sungguh tempat yang cocok untuk saya, apalagi disana jenis pekerjaan yang saya geluti, termasuk yang dihargai cukup tinggi, dan secara skill pribadi pun rasanya lebih berkembang dan lebih maju.Â
Kalau dulu mau ikut training saja harus naik pesawat dan harus menunggu dapat giliran, karena biayanya dibayar oleh perusahaan tempat bekerja, maka setelah tinggal di Singapura, hanya tinggal minta ijin boss saja, kemudian naik bis atau MRT untuk sampai ke tempat training atau seminar. Lingkungan pekerjaan pun cukup kompetitif sehingga merangsang kita untuk terus mengembangkan diri.
Mengapa saya katakan kehidupan orang-orang disana sebenarnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan kehidupan orang Indonesia pada umumnya?
Di Singapura, semua pekerjaan rumah, umumnya dikerjakan sendiri. Hanya keluarga-keluarga kaya saja yang memiliki pembantu rumah tangga. Setahu saya, ada aturannya untuk bisa mempekerjakan pembantu rumah tangga, yang ditentukan oleh total penghasilan satu keluarga.Â
Ada skemanya, jika penghasilan sekian maka boleh mempekerjakan pembantu rumah tangga, dibawah itu, tidak dapat mempekerjakan pembantu rumah tangga yang sering disebut domestic worker atau helper.
Dan untuk yang berpenghasilan lebih tinggi dapat mempekerjan lebih dari satu orang, misal satu orang untuk melayani orang tua yang sudah lansia, satu orang lagi untuk menjaga balita, satu orang lagi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, dst.
Yang tidak memenuhi syarat untuk mempekerjakan pembantu rumah tangga, bisa saja membayar orang untuk membersihkan rumah dengan hitungan jam dan bayarannya pun dihitung dari total jam terpakai.Â
Ada banyak agen-agen yang menyediakan tenaga kerja seperti ini. Umumnya tenaga kerja yang tersedia adalah orang lokal. Tenaga kerja asing dari negara lain, seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, Philippine, dsb, biasanya mereka menjadi pekerja tetap pada keluarga-keluarga. Beberapa teman, sesama orang Indonesia, malah mengaku sudah tinggal belasan tahun disebuah keluarga.
Para pekerja professional dari Indonesia, biasanya kontrak rumah dan sharing dengan beberapa orang. Dan ada giliran bersih-bersih rumah. Kalaupun mau membayar orang untuk membersihkan rumah, biasanya mereka akan bergantian 'nungguin' di hari Sabtu.Â
Ini biasanya menjadi salah satu alasan, jika mencari teman untuk tinggal bersama, tidak mencari yang baru lulus sekolah, karena katanya yang baru lulus itu manja dan terbiasa dilayani dirumahnya di Indonesia, sehingga kurang bisa kerja sama.
Transportasi umum disana sangat nyaman, dan menurut saya cukup murah dibandingkan dengan pelayanan yang kita dapat. Saat naik bus, kita tidak bisa naik atau berhenti disembarang tempat, semua sudah ada tempatnya. Keteraturan seperti ini, membuat hidup menjadi lebih enteng.Â
Tidak perlu mendengar teriakan-teriakan kondektur bis seperti di blok M, atau kesal karena bis yang ngetem kelamaan. Hanya saja disana tidak ada pengamen didalam bis yang menyanyikan lagu Batak dengan suaranya yang merdu :D
Kami menggunakan MRT dan bus untuk sehari-hari. Jika kepepet atau bawa bawaan banyak, barulah naik taxi. Tarif taxi cukup mahal, dan akan lebih mahal pada malam hari sampai subuh. Â Tetapi, supir taxi disana akan mengulang meterannya dari nol jika ternyata dia salah jalan. Sehingga penumpang tidak merasa dirugikan.Â
Di Singapore, cukup jarang orang menggunakan kendaraan pribadi. Konon katanya harga mobil di Singapura adalah yang termahal didunia, belum pajaknya, uang parkirnya yang juga mahal, dan biaya-biaya lainnya.Â
Bos-bos pun lebih sering menggunakan MRT dan bis untuk sehari-hari. Dan kalau telat, katakanlah alasan yang sejujurnya, karena disana tidak ada istilah macet, busnya lama, dsb. Disana waktu tiba kendaraan umum dari satu tempat ke tempat lain pun sudah ada prediksinya. Jadi jangan bilang sudah di stasiun X kalau ternyata baru keluar dari rumah :D
Tinggal di Singapura memang enak, gak perlu ribet beli kendaraan pribadi, karena transportasi umum sangat memadai. Gak perlu beli buku, karena disana perpustakaannya koleksi bukunya bagus-bagus, ruangannya juga nyaman untuk membaca berlama-lama, gak perlu langganan koran, karena sudah ada di perpustakaan umum yang tersebar dimana-mana.
Bekerja di Singapura? Jelas gajinya lebih tinggi, yang diikuti dengan tuntutan yang juga sama tingginya. Aturan umum yang saya rasa berlaku untuk semua expat dinegara mana pun. Disiplin, professional, menghargai waktu dan bertanggung jawab.Â
Sejujurnya inilah beberapa hal yang membuat saya kesulitan ketika kembali ke tanah air. Ritme kerja yang berbeda, kurang disiplin dan kurang menghargai waktu sempat membuat saya stress karena apa yang sudah saya rencanakan setiap hari, lebih sering tidak jalan, karena teman-teman satu team tidak dapat mengikuti.Â
Datang terlambat padahal sudah janjian internal meeting pagi hari jam sekian, sampai kantor malah sibuk telpon sana-sini dan baru mulai serius bekerja pada malam hari, sementara saya sendiri punya kegiatan lain diluar jam kerja resmi.
Di Singapura, aturan ketenaga kerjaan cukup jelas dan transparan. Untuk pekerja asing seperti saya, sudah ada aturan tentang minimal gaji, kualifikasi, dan hak-hak serta kewajibannya. Semua itu sangat jelas dan dapat diakses di website department ketenaga kerjaan. Dan perusahaan-perusahaan pun tidak bisa seenaknya merekrut orang asing.Â
Jika perusahaan sudah menerima kita untuk bekerja pada mereka, masih ada tahapan yang harus dilewati dan belum tentu kita bisa langsung bekerja. Karena department ketenaga kerjaan harus memeriksa dulu kualifikasi kita dan juga kemampuan perusahaan yang akan memakai jasa kita.Â
Apakah dari sisi keuangan mereka akan dapat memenuhi kewajibannya terhadap karyawan atau tidak. Jika dinilai tidak bisa, maka sekalipun mereka sudah menerima kita sebagai karyawan, namun ijin kerja tidak dapat keluar.Â
Demikian pula jika ternyata kualifikasi kita tidak sesuai dengan peraturan yang ada, kita tidak akan mendapat ijin kerja dan ijin tinggal. Namun biasanya kalau memang perusahaanya membutuhkan kita, mereka akan tetap berusaha supaya kita bisa mendapat ijin tinggal dan ijin kerja. Berusaha yang saya maksud, tetap sesuai aturan yang berlaku.
Semua itu membuat para pekerja asing seperti saya, merasa lebih aman karena dilindungi oleh peraturan yang berlaku. Namun, ada juga lho perusahaan yang memberlakukan, detik ini dipecat, maka detik itu juga kamu harus melakukan 'clearance' alias menyerahkan semua inventaris perusahaan, akses pintu masuk ruangan dihapus, akses ke jaringan komputer dihapus, dan jam itu juga harus keluar karena sudah bukan karyawan.Â
Dalam hal ini, dunia memang kejam, tetapi itulah resiko yang sudah disekapati bersama dan harus diterima dengan tetap tersenyum penuh harapan bahwa diluar sana masih ada yang mau membayar lebih tinggi! Dipecat bukan karena kesalahan melakukan tindakan-tindakan tidak terhormat atau kriminal, bukan akhir segalanya!Â
Berdasarkan pengalaman saya, jika di Indonesia sebuah project IT bisa tertunda berbulan-bulan karena belum selesai atau karena satu dan lain hal, maka di Singapura, jika project yang kita kerjakan telat deadline seminggu saja, sudah dianggap project gagal.Â
Pengerjaannya bisa jadi tetap berlanjut, tetapi bukan kita lagi yang mengerjakan, karena sudah dipecat. Gaji tinggi memang beresiko tinggi pula :D Memang tidak semua perusahaan seperti itu, tetapi praktek seperti itu masih sesuai aturan pemerintah. Jadi tidak ada yang boleh merasa dirugikan.
Kenyamanan hidup, gaji tinggi, apalagi kalau dibelanjakan di Indonesia rasanya jadi lebih banyak lagi, lingkungan kerja yang professional namun menantang, dan kesempatan untuk mengembangkan diri yang lebih banyak, jaminan hari depan yang lebih pasti, dan semua fasilitas-fasilitas yang disediakan pemerintah untuk warga negaranya, apakah membuat saya sanggup untuk pindah kewarganegaraan?Â
Kebanyakan teman-teman saya sudah berganti kewarganeraan, dan ada beberapa yang saya tahu, katanya awalnya rasanya sakit hati terlepas dari Indonesia karena ada yang hilang dari batin, namun akhirnya biasa saja.Â
Ada yang bilang, lebih mudah pergi liburan ke negara-negara lain kalau pegang passport Singapura, ada juga yang bilang, lebih bangga punya negara yang menjamin kehidupan warga negaranya, bisa beli rumah di Singapura dengan harga lebih murah kalau sudah jadi warga negara, lebih mudah cari kerja, dan berbagai kemudahan dan kenyamanan lain yang saya dengar dari teman-teman yang memutuskan berganti kewarga negaraan.Â
Namun sampai detik ini, rasanya saya tidak sanggup membayangkan berganti kewarga negaraan. Meski Singapura cukup dekat, dan bisa pulang ke Indonesia kapan saja, namun tetap saja hati ini memilih Indonesia :D Â Meski masih ada keinginan untuk merantau ke tempat yang lebih jauh, namun rasanya saya tetap akan memilih Indonesia sebagai tempat pulang saya.Â
Kalau Koes Plus bilang, ke Jakarta aku kan kembali, karena disana rumahku, maka kemana pun saya pergi, ke Indonesia saya akan pulang, karena Indonesia adalah tanah airku. Surganya makanan enak, alamnya yang indah, budayanya yang kaya, dan masih banyak lagi. Berganti kewarganegaraan? No way!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H