Membaca tentang prestasi para milenial yang diangkat menjadi staf khusus Presiden, begitu banyak prestasi mereka. Jadi melihat ke diri sendiri dan masa lalu, mestinya saya juga bisa berprestasi seperti mereka, cuma kurang semangat 45 he..he...
Saya yakin saya tidak bodoh, hanya pemalas dan pembosan :D
Saya malas bersaing untuk sesuatu hal yang sudah biasa. Biasanya saya akan berada di urutan nyaris paling bawah. Kalau ada 50 orang, saya akan berada di peringkat antara 45-49, walau pernah juga mendapat nilai tertinggi dari seluruh sekolah. Namun, saya memang lebih suka berkutat dengan sesuatu yang orang lain belum ada yang bisa. Jika orang lain rata-rata tidak bisa, maka saya malah akan berada di urutan atas tanpa ada niat awal untuk bersaing. Cuma karena senang saja mengerjakan sesuatu yang menantang :D
Dosen wali saya dulu sampai tertawa-tawa karena dua kali saya tidak lulus mata kuliah yang sebenarnya cuma hapalan. Sementara saya mengambil mata kuliah dia yang seharusnya belum diperbolehkan, tetapi karena saya meyakinkan dia bahwa saya bisa, akhirnya diijinkan dan malah mendapatkan nilai A. Saya lebih suka berpikir daripada menghapal :D
Seberapa pentingkah nilai prestasi yang ditunjukan angka-angka di sekolah? Antara penting dan tidak. Penting karena untuk banyak hal ada persyaratan nilai yang harus dipenuhi. Jadi artinya nilai tetap harus dikejar. Entah bagaimana caranya. Belajar mati-matian, bikin contekan, nyontek dari teman yang yang dianggap lebih pintar, dst
Tanpa bermaksud menyarankan untuk menyontek, tetapi dari jaman nabi entah siapa sampai sekarang jaman milenial, kenyataanya ada saja pelajar dan mahasiswa yang berbuat curang saat ujian demi mendapatkan nilai yang baik. Mungkin dia pikir, belajar benar-benarnya nanti saja, karena waktu ujian sudah mepet.
Sebenarnya mencontek juga adalah sebuah usaha, ditambah ada unsur untung-untunganya. Jika yang diconteki jawabannya benar, yang mencontek pun jadi benar. Jika buat contekan sendiri, belum tentu jawaban soal ujian ada dalam contekan yang sudah dibuat.
Tetapi untuk bertahan hidup rasanya tidak cukup hanya nilai tinggi. Tetap perlu benar-benar mengusai ilmu itu, dan juga ilmu-ilmu kehidupan lain, misalnya ilmu komunikasi, ilmu management, minimal management waktu. Ada banyak orang yang berprestasi di sekolah tetapi tidak dapat bertahan di dunia kerja. Ada yang kurang berprestasi di sekolah, tetapi malah lebih maju dalam pekerjaannya.Â
Jadi nyontek juga tetap harus mempertanggung jawabkannya di kehidupan masa depan.
Dalam naskah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, yang beredar di dunia maya, entah itu naskah resmi atau bukan, tetapi isinya cukup menarik, dimana Nadiem menghimbau para guru, untuk melalukan perubahan-perubahan kecil dalam proses belajar mengajar, diantaranya: menemukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri.
Tidak ada murid yang bodoh memang. Yang ada murid yang, mungkin, beda sendiri karena punya bakat lebih namun  belum ditemukan. Karena beda sendiri itu, maka murid itu jadi kurang percaya diri. Sementara guru dan orang tua juga belum tahu keistimewaan si anak. Jika dibiarkan, prestasi anak akan menurun dan bisa jadi dia dianggap tidak ada istimewanya, kurang pintar, atau bahkan dianggap bodoh hanya karena nilai prestasi yang kurang memuaskan. Syukur-syukur jika dikemudian hari si anak dapat menemukan sendiri kelebihannya dan lebih percaya diri dengan kemampuannya itu. Tetapi sebaiknya memang guru dapat membantu murid-murid seperti itu sejak dini. Pekerjaan mengajar mungkin mudah, tetapi mendidik ternyata tidak mudah. Ada tanggung jawab masa depan dalam mendidik.
Selamat Hari Guru, pahlawan tanpa tanda jasa! Terima kasih untuk jasa-jasamu!
(VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H