Selembar sertifikat biasanya diberikan kepada seseorang yang sudah mengikuti suatu pelatihan dalam waktu yang telah ditentukan. Dalam bahasa Inggris, kata sertifikat atau certificate ini juga mengacu pada ijasah sekolah. Sekolah memang pelatihan yang harus diikuti siswa dalam jangka waktu tertentu. Sertifikat juga mengacu pada bukti keahlian seseorang dalam bidang tertentu.
Lantas mengapa sebelum menikah harus memiliki sertifikat terlebih dahulu? Dan apakah yang tidak punya sertifikat berarti tidak berhak menikah atau kalau ternyata sudah menikah, maka pernikahan itu dianggap tidak sah? Terkesan menakutkan sekali.
Jika ditelaah lagi masalah sertifikasi pranikah yang dimaksudkan oleh Menko PMK, itu adalah tentang pembekalan sebelum menikah dengan harapan pasangan yang akan menikah benar-benar siap menapaki kehidupan berumah tangga yang kenyataannya, menurut kebanyakan orang, tidak mudah. Yah namanya hidup, pasti tidak mudah. Apalagi hidup bersama dengan orang yang mungkin didikan keluarganya berbeda dengan kita, beda budaya, bahkan ada yang beda bangsa, dan beda agama.Â
Bagaimanapun juga, tiap individu memiliki keunikannya sendiri yang harus diterima oleh pasangannya. Kita tidak saja hanya mengharapkan orang yang mau mengerti dan menerima diri kita apa adanya, tetapi kita sendiri dituntut untuk mengerti dan menerima pasangan apa adanya.
Sertifikasi Pranikah, atau saya  lebih suka menyebutnya sebagai pembekalan pranikah, yang dicanangkan oleh Menko PMK ini, akan memastikan calon pengantin telah cukup pengetahuan dan pemahaman tentang berumah tangga, termasuk pengetahuan soal reproduksi, dan kondisi yang berbahaya buat anak, seperti stunting. Ternyata berumah tangga juga bukan hanya tentang saling menerima pasangan apa adanya. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan.
Walau materi bukan segalanya, kenyataanya kita tidak bisa hanya melulu makan cinta. Calon pengantin harus tahu tentang ekonomi keluarga. Ekonomi keluarga bukan hanya asal dapur ngebul, tetapi juga harus mengatur pengeluaran yang sesuai dengan pemasukan. Bagaimana dapur mau ngebul terus, kalau menteri keuangan rumah tangga tidak bisa menghitung budget bulanan masing-masing pos kebutuhan hidup yang sesuai dengan pemasukan.Â
Kalaupun defisit, setidaknya ada cara untuk mempersiapkan anggota keluarga dengan keadaan defisit tersebut. Ekonomi rumah tangga juga bukan tentang banyak atau sedikit uang yang tersedia. Ada banyak rumah tangga yang hancur gara-gara masing-masing pasangan tidak punya kesepakatan bersama dalam mengatur keuangan yang kebetulan berlebih. Misal saking banyaknya uang, malah menjadikan suami dan istri sibuk dengan urusan masing-masing.
Masalah mengurus dan mendidik anak? Banyak juga rumah tangga yang bubar gara-gara ini. Ada yang saling menyalahkan antara pasangan. Padahal mungkin saja kedua pasangan kurang pengetahuan tentang tentang merawat anak, tentang hak dan tanggung jawab masing-masing terhadap anak, dsb.
Tentang gender juga dapat menjadi masalah dalam perkawinan. Walaupun ibu Kartini sudah merintis emansipasi wanita sejak puluhan tahun lalu, namun masih banyak kasus-kasus wanita menjadi korban dalam rumah tangga, yang bisa jadi terus berlanjut karena kurang pengetahuan tentang hak-hak perempuan dan masing-masing tidak tahu bagaimana mengatasinya walaupun masih ada cinta diantara mereka. Selama ada kekerasan pasti ada pihak yang merasa tidak aman, yang akan berlanjut pada hubungan yang tidak harmonis.
Dan masih banyak lagi urusan menyangkut hidup berumah tangga yang perlu dipersiapkan sebelum menikah. Dan ternyata pembekalan ini sudah berjalan dibeberapa kelompok berbasis agama, termasuk NU dan Muhamadiyah, seperti yang disebutkan di link berita Kompas. Kalau di Katolik namanya Kursus Persiapan Pernikahan.Â