Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Desa Fiktif dan Data Penduduk Tidak Sinkron?

11 November 2019   18:06 Diperbarui: 11 November 2019   18:08 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://dukcapil.padangpariamankab.go.id/

Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan dana desa dalam APBN yang jumlahnya triliunan. Mendengar kata triliunan untuk dana desa, mungkin tidak sekaget mendengar dana usulan pembelian Aibon, bolpen, yang jumlahnya miliaran.

Kepulauan Indonesia yang sangat luas dengan 34 provinsi yang masing-masing provinsi memiliki beberapa kabupaten dan desa. Jumlah triliunan masih masuk akal. 

Masalahnya dengan adanya alokasi dana desa, maka muncullah desa fiktif. Logikanya desa fiktif diciptakan agar mendapatkan dana desa tersebut. Pertanyaannya, koq bisa? 

Kata Pak Jokowi dalam debat capres dengan Sandiaga Uno dulu, mengelola negara tidak sama dengan mengelola perusahaan. Setuju. Tapi cara pengelolaan datanya mestinya kurang lebih sama. 

Bagaimana caranya menciptakan desa fiktif?

Jika data masih dikelola secara manual, pendaftaran desa fiktif masih bisa diterima sebagai kesalahan yang dapat dimengerti, karena kontrolnya pasti susah, walaupun secara pemerintahan strukturnya sudah jelas, dari tingkat desa, kecamatan, kelurahan, ...sampai tingkat nasional. 

Bagaimana mekanisme pembentukan desa secara data digital? 

Segala sesuatunya datang dari 'proses manual' terlebih dahulu. System digital tidak dapat lebih smart daripada manusia, dengan langsung menolak inputan registrasi desa baru tanpa validasi yang sudah ditentukan sebelumnya.

Logika saya mengatakan, mesti ada proses registrasi dulu sebelum ada aktifitas lain terkait desa baru itu. Dan ternyata orang tidak bisa sembarangan mendaftarkan suatu tempat menjadi sebuah desa. 

Hal yang paling dasar, sebuah desa pasti ada penduduk dan wilayahnya. Data penduduk ini mestinya sudah terekam lebih dulu, minimal jumlah orang dan KK nya. Tidak mungkin ada sebuah desa tak berpenduduk. Syarat-syarat mutlak lainnya tentu harus diinput untuk kemudian dipakai untuk memvalidasi apakah desa itu layak mendapatkan alokasi dana desa.

Kali ini saya setuju dengan Pak Gubernur Anies, systemnya harus dibuat smart agar dapat memvalidasi data dengan benar. Jika salah satu data yang menjadi syarat mutlak pembentukan desa tidak ditemukan, system seharusnya langsung menolak alokasi dana tersebut. 

Dan mengingat saat ini negara kita sudah menerapkan satu data untuk Semua yang diimplementasikan dalam bentuk E-KTP dengan database online seluruh Indonesia, maka seharusnya data penduduk sudah bisa tinggal pindah alamat atau ganti alamat saja dengan tambahan data surat pindah, tanpa harus input ulang seluruh data. Tidak mungkin desa baru dibentuk dengan penduduk tidak ada yang berusia diatas 17 tahun, alias tidak punya KTP. 

Beberapa desa menerima aliran dana desa setiap tahun, dan kemudian diketahui bahwa desa-desa tersebut adalah fiktif. Berarti tidak ada kontrol dari aktivitas alokasi dana desa ini, padahal mestinya ada laporan aktivitas yang dilakukan dengan dana tersebut, entah itu pembangunan MCK, dibagikan kepada penduduk, atau aktivitas lainnya sebagai pertanggung jawaban dari dana tersebut. 

Dengan adanya kejadian desa fiktif ini, berarti database E-KTP belum terintegrasi dengan system kependudukan yang lain.

Mudah-mudahan system digital dalam pemerintahan dapat diimplementasikan pada semua level untuk mengurangi kejadian-kejadian seperti desa fiktif penerima aliran dana desa ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun