Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Bertualanglah Sampai ke Ujung Indonesia

7 November 2019   13:35 Diperbarui: 7 November 2019   13:51 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbaur dengan masyarakat, bergoyang bersama | dokpri

Kejarlah ilmu sampai ke negeri China namun bertualanglah sampai ke ujung Indonesia untuk mendapatkan beragam ilmu pengetahuan. Ada berbagai macam ilmu yang bisa kita dapat dari bertualang. Ilmu alam, ilmu peradaban, ilmu komunikasi, ilmu adaptasi, dan lain-lain yang akan menambah wawasan dan memperkaya diri.

Ujung Indonesia salah satunya adalah Papua. Kepingan surga kecil di ujung Timur Indonesia.  

Pulau Papua terbagi menjadi dua, yaitu bagian Barat dikuasai oleh Indonesia dan bagian Timur adalah Negara Papua New Guinea (Papua Nugini). Secara keseluruhan, Pulau Papua adalah pulau kedua terbesar didunia, setelah Greenland yang terletak diantara benua Atlantik dan Arctic.

Beberapa minggu lalu saya berkesempatan untuk membuktikan betapa luasnya Papua Barat, dan itu baru sebagian wilayah Raja Ampatnya saja. Pantaslah sepanjang perjalanan laut, kami melihat betapa luasnya hutan-hutan yang kami lewati dan lautan yang kami arungi. Perjalanan antar pulau yang memakan waktu antara 1-2 jam cukup membuat kami takjub. 

Ternyata Indonesia masih punya hutan-hutan luas nan hijau. Pasti banyak kekayaan alam didalamnya, binatang dan tetumbuhan, burung-burung penghuni hutan, diantaranya burung khas Papua yaitu Cenderawasih yang menurut penduduk setempat akan keluar di pagi atau sore hari untuk menari, seperti gadis-gadis menari balet. Sayangnya kami tidak beruntung menyaksikan 'pertunjukan' itu karena waktu yang kurang pas.

Bukan cuma daratannya tetapi juga lautan dan keunikan budaya penduduknya. Semuanya membuat kami takjub.

Kami memulai perjalanan dari Jakarta menggunakan pesawat menuju Sorong, dengan waktu tempuh kurang lebih 3.5 jam. Zona waktu di Papua adalah GMT+9 yang berarti dua jam lebih dulu dibanding Jakarta (WIB) yang berada di Zona waktu GMT+7. Kami take off jam 00:30 dan sampai di Sorong sekitar jam 6 pagi waktu Sorong. 

Perjalanan menuju Kabupaten Raja Ampat dilanjutkan menggunakan kapal ferry dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Sampai di Ibukota kabupaten Raja Ampat, yaitu Watsai, kami disambut dengan tarian daerah yang diiringi musik. Merasa tersanjung dengan sambutan seperti ini :D. Maklumlah rombongan kami adalah rombongan wisatawan dalam rangka Festival Pesona Bahari Raja Ampat yang mengambil tema from Ridge to Reef yang kira-kira artinya: dari bebukitan sampai ke permukaan laut yang penuh karang.

Kami diantar untuk melihat-lihat daerah sekitar. Tidak terlalu ramai, bahkan terkesan sepi, mungkin saking luasnya daerah ini. Kami juga mengunjungi kebun buah naga yang luas. Ada buah naga yang berwarna merah, putih, dan juga kuning. Dan ada beberapa pohon pepaya dengan bunga yang lebat. Menurut penjaga, ada jenis pepaya yang diambil buahnya, ada juga jenis yang memang hanya berbunga, untuk dibuat sayur.

Setelah itu, kami mengikuti pembukaan festival pesona bahari Raja Ampat 2019, yang dibuka oleh menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yang asli kelahiran Papua, Ibu Yohana Yembise (saat itu masih menjabat). 

Acara dimeriahkan dengan kesenian daerah setempat yang cukup unik. Mulai dari tarian Selamat datang, tari Yospan, tari Pancar, tari Seka, tari Lalayong, dan lagu-lagunya yang enak didengar dan mudah diikuti serta alat musiknya, semacam gendang panjang yang dibunyikan dengan sandal karet sebagai pemukul. 

Secara umum tari-tarian ini bernada gembira, mirip-mirip tari-tarian dari Ambon. Hanya saja mereka menggunakan pakain adat khas Papua lengkap dengan body paintingnya yang membuat mereka nampak eksotik dengan rambut keriting khasnya. 

O ya, ada satu tarian yang, menurut saya, mirip tarian daerah Padang, yaitu tari Lalayong, dengan irama Melayunya. Acara ini juga dimeriahkan oleh Edo Kondolongit yang mengajak semua hadirin menyanyi lagu "Aku Papua" yang menjadi lagi "kebangsaan" kami selama seminggu di Papua, saking bangganya dengan kecantikan pulau ini.

Penginapan kami terletak di kaki sungai yang jauh dari keramaian. Tidak ada pedagang apapun. Pemandangan didepan kami adalah laut lepas dengan air laut yang jernih, sehingga tanpa turun ke laut pun kami dapat melihat aneka ragam ikan seperti di aquarium. Namun untuk melihat karang-karang yang indah, sedikit dibawah laut sana, kami lebih suka snorkeling. Tidak perlu terlalu jauh ke tengah, karena dipinggir-pinggir saja kami sudah dapat meliat kehidupan dibawah laut sana yang begtu indah.

Speed Boat di Raja Ampat (dok pribadi by Ni Wayan Sambreg)
Speed Boat di Raja Ampat (dok pribadi by Ni Wayan Sambreg)
Transportasi yang kami pakai untuk mengunjungi pulau-pulau disekitar adalah speed boat milik rakyat yang terbuka dan ada juga yang sedikit tertutup. 

Speed boat terbuka membuat kami dapat menikmati perjalanan dengan melihat pemandangan sekitar sepuasnya. Namun jika hujan datang atau ombak sedikit bergejolak, penumpang akan basah terciprat air dan angin yang cukup kencang akan mempermainkan rambut kami seolah bintang iklan shampoo. 

Boat tertutup membuat kami bisa tertidur sejenak tanpa khawatir terjatuh ke laut saat ketiduran. Maklum perjalanan antar pulau tergolong jauh sehingga kadang-kadang kami juga kelelahan dan mengantuk. Oh ya, menurut guide lokal kami, ada sekitar dua ribuan pulau yang sudah diberi nama disana dan masih banyak lagi pulau yang baru ditemukan dan belum diberi nama. Bahkan masih banyak pulau tak berpenghuni.

Berbaur dengan masyarakat, bergoyang bersama | dokpri
Berbaur dengan masyarakat, bergoyang bersama | dokpri
Kami mendapat kesempatan berbaur dengan penduduk lokal di dua kampung. Kampung pertama yang kami kunjungi adalah kampung Lopintol. Disini kami disambut musik dan tarian, berasa seperti pejabat negara :D Bahkan anak-anak SD nampak berbaris menggunakan seragam sekolah dan bernyanyi menyambut kami. 

Rupanya stand-stand makanan ala Papua sudah disiapkan untuk kami. Sup ikan, sate ikan, ulat sagu, dan yang paling enak menurut saya, kerang bia kodok. Kerang ini hidup dipinggir-pinggir pantai dibawah pohon bakau. 

Makanan ini cocok di mulut dan perut saya, namun ternyata teman-teman lain tidak semuanya bisa menerima, karena beberapa mengalami diare pada malam harinya. Mungkin mereka masih harus sering-sering "kembali ke alam" agar perut dapat menyesuaikan diri.

Diantara makanan lauk pauk yang disediakan, tersedia juga makanan pokok orang Papua, yaitu sagu. Sagu ini  diolah menjadi berbagai bentuk. Ada yang kering panjang seperti kue, yang dimakan dengan sup ikan, ada yang diolah menjadi papeda yang menyerupai bubur, ada yang dibentuk seperti kerang dan agak lembek.

Ada satu kebiasaan orang Papua yang dilakukan para tua, muda, lelaki, maupun perempuan, yaitu mengunyah pinang. Pinang ini dimakan dengan kapur dan buah sirih yang bentuknya panjang seukuran kelingking  dan berwarna hijau. Cara makannya buah pinang terlebih dahulu masuk mulut, kemudian buah sirih dicolekan sedikit ke kapur lalu dikunyah bersama dengan pinang yang sudah didalam mulut. 

Rupanya pinang ini berfungsi untuk menetralisir kapur yang jika terkena air liur akan berasa panas terbakar. Saya nyaris salah makan, namun untunglah seorang ibu langsung menarik tangan saya yang sudah siap melahap buah sirih yang sudah dilumuri kapur, karena seharusnya pinang duluan yang masuk mulut :D

Mengunyah pinang sudah seperti mengunyah permen saja bagi sebagian besar masyarakat Papua, sampai-sampai di bandara ada larangan meludah pinang. Yeah, satu kebiasaan buruk masyarakat disana, meludah pinang disembarang tempat.

Kampung kedua yang kami kunjungi, adalah kampung Saukabu dimana kami disambut musik rebana, lagu-lagu dan goyang ala Papua, diantaranya "Perambo". Kami pun langsung membaur bersama para penari yang berpakaian dan berdandan eksotik khas Papua. Serasa hidup ini tiada beban saat menari bersama mereka, saking menikmati bergoyang Perambo.

Ajeli, Raja Ampat | dokpri
Ajeli, Raja Ampat | dokpri
Selain makanan dan budaya, kami juga berkesempatan mengexplore alamnya. Bermain dengan air selalu ada dalam jadwal harian kami. Mengunjungi Ajeli, sebuah kali kecil diantara tebing-tebing didalam hutan. 

Tempat ini berada di teluk Mayalibit, satu area dengan kampung Lopintol. Kami perlu memasuki hutan kecil terlebih dahulu dan menyebrangi sungai berbatu-batu, yang untungnya saat itu airnya sedang surut.  

Jalanan menuju ke Ajeli cukup sempit sehingga kami harus berjalan satu persatu untuk sampai di kali yang dikelilingi dinding-dinding tebing dan beratapkan goa. Sungguh indah sekali pemandangan di sini. 

Di kali Ajeli, sudah disediakan rakitan bambu panjang untuk duduk-duduk menikmati air sambil mengayun-ayunkan kaki ke air. Suara air mengalir pun terasa merdu menyejukan hati.

Kali Biru Mayalibit, adalah lokasi lain yang menggoda kami untuk berenang menikmati jernihnya air, yang membuat dasar kali bak dasar kolam renang bermarmer, dengan pepohonan yang secara alami membatasi kali. Siapapun pasti tergoda untuk turun berenang. 

Di Kali Biru ini ada batasan yang tidak boleh kami langgar, yaitu area hulu sungai dimana sumber mata air berada. Hanya penduduk lokal saja yang boleh ke area itu. Mungkin ini untuk menjaga kejernihan air asli. Karena air dari area itu bisa langsung diminum. Dan rasanya segar sekali bahkan lebih segar daripada air mineral di kota besar. Konon pernah ada peneliti dari Jepang yang meneliti kejernihan air, dan menemukan memang air itu sangat jernih dan bersih sehingga bisa diminum langsung.

Kali Biru, Raja Ampat (foto: Rospelita Sinaga)
Kali Biru, Raja Ampat (foto: Rospelita Sinaga)
Menurut keterangan kepala suku yang menyambut kami di pinggir pantai, kali biru ini dulunya adalah tempat berendam para prajurit suku Maya, untuk menentukan apakah mereka boleh pergi berperang atau tidak. Mereka akan berendam sehari semalam dan jika keesokan harinya badan mereka dingin, maka mereka tidak boleh pergi berperang (antar suku) karena sudah pasti akan kalah menurut perhitungan mereka.

Untuk mencapai Kali biru ini, dari tepian pantai didekat kampung, harus berjalan menyusuri sungai ditengah hutan, yang kebetulan saat itu airnya juga sedang surut. Perjalanan yang menyenangkan karena dikiri kanan disuguhi pemandangan alam yang indah.

Ke Raja Ampat tanpa menikmati alam bawah laut, artinya belum ke Raja Ampat. Maka di jadwal kami sudah pasti ada kegiatan snorkeling. Spot snorkeling yang bagus karang-karangnya adalah Friwen Wall. Tidak terlalu banyak ikan yang kami liat, namun tumbuhan karang-karangnya yang begitu memanjakan mata membuat diri sadar bahwa hidup itu indah.  

Spot snorkeling yang lain ada disekitar dermaga Desa Yenbuba. Disini kami menemukan banyak ikan-ikan berukuran besar dan karang-karangnya yang indah. Tidak perlu jauh-jauh berenang ke tengah karena disekitar dermaga saja sudah bagus.

Pemandangan Bawah Laut Raja Ampat (Foto: Ni Wayan Sambreg via kumparan.com)
Pemandangan Bawah Laut Raja Ampat (Foto: Ni Wayan Sambreg via kumparan.com)
Tidak jauh dari Desa Yenbuba ada spot snorkeling yang lain, yaitu Desa Sawandarek, dimana kami menemukan penyu yang menggoda kami untuk bermain dan berenang bersama. Sama seperti pantai-pantai lain, airnya jernih sehingga ikan-ikan dapat kita liat dari atas dengan mata telanjang. Bukan cuma ikan kecil, tapi ikan besar bermacam-macam warna.

Kami juga mengunjungi pantai yang dinamakan Pasir Timbul. Kebetulan, kami satu-satunya rombongan saat tiba disana, sehingga dapat menikmati kejernihan airnya sepuas hati. Jika dibandingkan dengan foto-foto pantai di Maldives yang beredar di Internet, rasanya suasana pantai ini seperti pantai di Maldives.

Pasir Timbul, Raja Ampat | dokpri
Pasir Timbul, Raja Ampat | dokpri
Karena temanya adalah from Ridge to Reef, maka kamipun tidak lupa mengunjungi Piaynemo dan Dore karu, yang juga dikenal sebagai Teluk Manta, yang merupakan ikon Raja Ampat. Jaraknya cukup jauh dari penginapan kami, kira-kira 2 jam dengan speed boat. 

Sepintas, pemandangan dari pantai, tempat ini seperti di Halong Bay namun masih lebih bagus Piaynemo dan Dore Karu. Untuk dapat menikmati eksotisme Piaynemo  kami harus menaiki kurang dari 400 anak tangga. Kelelahan menaiki tangga terbayar dengan pemandangan indah yang terhampar didepan mata. Benar-benar ciptaan Tuhan yang luar biasa.

Hari terakir, rombongan kembali ke pantai Watsai Torang Cinta untuk menghadiri penutupan Festival Pesona Bahari. Kali ini kami diajari beberapa gerakan tari dan menari bersama penari lokal dalam group besar. Kami juga melakukan pembersihan pantai dengan mengumpulkan sampah plastik yang berserakan. 

Rupanya rakyat Papua juga sama dengan kebanyakan orang Indonesia yang kurang peduli lingkungan, mungkin mereka menganggap sudah ada petugas kebersihan (??). Anehnya di pulau-pulau pedalaman, kami nyaris tidak menemukan sampah. 

Hanya di pantai ini saja sampah berserakan. Sebagai jerih payah mengumpulkan sampah plastik kami mendapat sertifikat dan emas murni seberat 1 gr. Namun kami berharap, kesadaran semua pihak untuk menjaga kebersihan. Bagaimana pun tempat yang bersih membuat hidup nyaman. 

dokpri
dokpri
Semoga suatu saat nanti kami bisa kembali kesana mengunjungi kepingan surga yang jatuh dari langit ini dalam kondisi yang lebih baik, mungkin sudah ada infrastruktur yang dibangun tanpa merusak keindahan pulau ini, penduduk pedalaman Papua yang lebih membuka diri namun tetap menjaga keaslian budaya dan alamnya, para wisatawan yang lebih peduli lingkungan, banker yang ikut membantu menyediakan fasilitas kegiatan perekonomian disini dst.  

Namun bagaimanapun situasi dan kondisinya, kami siap bergoyang Perambo bersama saudara-saudara sebangsa setanah air di Papua Barat sana.

Salam Indonesia Satu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun