Secara umum tari-tarian ini bernada gembira, mirip-mirip tari-tarian dari Ambon. Hanya saja mereka menggunakan pakain adat khas Papua lengkap dengan body paintingnya yang membuat mereka nampak eksotik dengan rambut keriting khasnya.Â
O ya, ada satu tarian yang, menurut saya, mirip tarian daerah Padang, yaitu tari Lalayong, dengan irama Melayunya. Acara ini juga dimeriahkan oleh Edo Kondolongit yang mengajak semua hadirin menyanyi lagu "Aku Papua" yang menjadi lagi "kebangsaan" kami selama seminggu di Papua, saking bangganya dengan kecantikan pulau ini.
Penginapan kami terletak di kaki sungai yang jauh dari keramaian. Tidak ada pedagang apapun. Pemandangan didepan kami adalah laut lepas dengan air laut yang jernih, sehingga tanpa turun ke laut pun kami dapat melihat aneka ragam ikan seperti di aquarium. Namun untuk melihat karang-karang yang indah, sedikit dibawah laut sana, kami lebih suka snorkeling. Tidak perlu terlalu jauh ke tengah, karena dipinggir-pinggir saja kami sudah dapat meliat kehidupan dibawah laut sana yang begtu indah.
Speed boat terbuka membuat kami dapat menikmati perjalanan dengan melihat pemandangan sekitar sepuasnya. Namun jika hujan datang atau ombak sedikit bergejolak, penumpang akan basah terciprat air dan angin yang cukup kencang akan mempermainkan rambut kami seolah bintang iklan shampoo.Â
Boat tertutup membuat kami bisa tertidur sejenak tanpa khawatir terjatuh ke laut saat ketiduran. Maklum perjalanan antar pulau tergolong jauh sehingga kadang-kadang kami juga kelelahan dan mengantuk. Oh ya, menurut guide lokal kami, ada sekitar dua ribuan pulau yang sudah diberi nama disana dan masih banyak lagi pulau yang baru ditemukan dan belum diberi nama. Bahkan masih banyak pulau tak berpenghuni.
Rupanya stand-stand makanan ala Papua sudah disiapkan untuk kami. Sup ikan, sate ikan, ulat sagu, dan yang paling enak menurut saya, kerang bia kodok. Kerang ini hidup dipinggir-pinggir pantai dibawah pohon bakau.Â
Makanan ini cocok di mulut dan perut saya, namun ternyata teman-teman lain tidak semuanya bisa menerima, karena beberapa mengalami diare pada malam harinya. Mungkin mereka masih harus sering-sering "kembali ke alam" agar perut dapat menyesuaikan diri.
Diantara makanan lauk pauk yang disediakan, tersedia juga makanan pokok orang Papua, yaitu sagu. Sagu ini  diolah menjadi berbagai bentuk. Ada yang kering panjang seperti kue, yang dimakan dengan sup ikan, ada yang diolah menjadi papeda yang menyerupai bubur, ada yang dibentuk seperti kerang dan agak lembek.
Ada satu kebiasaan orang Papua yang dilakukan para tua, muda, lelaki, maupun perempuan, yaitu mengunyah pinang. Pinang ini dimakan dengan kapur dan buah sirih yang bentuknya panjang seukuran kelingking  dan berwarna hijau. Cara makannya buah pinang terlebih dahulu masuk mulut, kemudian buah sirih dicolekan sedikit ke kapur lalu dikunyah bersama dengan pinang yang sudah didalam mulut.Â