"Opportunity is missed by most people because it is dressed in overalls and looks like work."-- Thomas Edison
(Kesempatan sering terlewat karena ia terlihat seperti pekerjaan berat.)
Job fair atau pameran kerja kerap dianggap sebagai jembatan emas bagi pencari kerja dan perusahaan. Di satu sisi, mereka yang sedang menganggur berharap bisa langsung bertemu dengan perusahaan impian. Di sisi lain, perusahaan melihatnya sebagai ajang menemukan talenta baru. Namun, ketika wacana mengadakan job fair setiap minggu mencuat, pertanyaan besar muncul: apakah langkah ini benar-benar efektif, atau justru akan menjadi rutinitas yang kurang berdampak?
Mari kita bahas dengan gaya santai tapi serius. Topik ini penting karena melibatkan harapan ribuan bahkan jutaan pencari kerja, juga tantangan besar yang dihadapi oleh perusahaan di Indonesia.
Memahami Konsep Job Fair
Sebelum terlalu jauh, yuk kita bahas apa sebenarnya job fair.
Bayangkan sebuah aula besar dengan puluhan bahkan ratusan meja yang dihias banner perusahaan. Para pencari kerja, dari yang lulusan baru hingga profesional, mondar-mandir membawa CV dan memakai pakaian formal. Perusahaan membuka kesempatan di berbagai posisi, sementara para kandidat berusaha membuat kesan terbaik dalam waktu singkat.
Dalam beberapa tahun terakhir, format job fair juga mulai beralih ke digital. Pendaftaran online, sesi wawancara daring, hingga pengiriman CV melalui platform tertentu semakin lazim. Tujuan utamanya tetap sama: mempertemukan kebutuhan perusahaan dengan tenaga kerja yang sesuai.
Namun, dengan jumlah pengangguran yang terus bertambah, terutama pasca pandemi, muncul ide: bagaimana kalau job fair diadakan lebih sering, bahkan setiap minggu?
Pengalaman Nyata di Balik Job Fair
Bagi pencari kerja, pengalaman menghadiri job fair sering kali bercampur aduk. Ada yang pulang membawa kabar bahagia karena diterima kerja, tetapi lebih banyak yang hanya meninggalkan CV tanpa tahu apakah akan ditindaklanjuti.
Masalah utamanya sering kali bukan pada jumlah job fair, tetapi ketidaksesuaian antara apa yang dimiliki pencari kerja dengan apa yang dibutuhkan perusahaan. Bayangkan seorang lulusan baru yang hanya punya pengalaman magang mencoba melamar posisi manajerial di perusahaan besar. Peluangnya tentu tipis.