Mohon tunggu...
Syinchan Journal
Syinchan Journal Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Pemikir bebas yang punya kendali atas pikirannya

Begitu kau memahami kekuatan kata katamu, kamu tidak akan mengatakan apapun begitu saja. Begitu kau memahami kekuatan pikiranmu, kamu tidak akan memikirkan apapun begitu saja. Ketahuilah Nilaimu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kenapa Minat Menikah di Indonesia Semakin Menurun di Kalangan Generasi Muda?

7 November 2024   03:15 Diperbarui: 7 November 2024   07:08 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hubungan tanpa menikah (freepik.com/freepik)

"In the end, we only regret the chances we didn't take."--- Lewis Carroll
"Pada akhirnya, kita hanya menyesali kesempatan yang tidak kita ambil."--- Lewis Carroll

Minat untuk menikah di Indonesia kini semakin menurun, terutama di kalangan generasi muda seperti Gen Z dan milenial. Tak sedikit dari mereka yang memilih untuk menunda atau bahkan menghindari pernikahan. Survei dan data statistik menunjukkan bahwa tren ini dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, dan pribadi yang merubah cara pandang generasi muda terhadap institusi pernikahan.

1. Perubahan Paradigma Sosial

Pergeseran nilai sosial turut memainkan peran dalam penurunan minat menikah. Kini, masyarakat lebih menghargai kebebasan individu dan pengembangan diri. Tidak hanya pria, perempuan kini juga semakin aktif di dunia kerja dan memiliki peran penting dalam keluarga. Karier dan pendidikan menjadi prioritas yang tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan finansial tetapi juga sebagai bentuk pencapaian diri. Hal ini membuat pernikahan, yang dulunya dianggap sebagai keharusan, kini dipandang sebagai pilihan.

Di samping itu, pemahaman akan hubungan yang sehat dan bahagia semakin meningkat. Banyak anak muda yang sadar bahwa kebahagiaan dalam hidup tidak hanya ditentukan oleh pernikahan. Ini membuat mereka lebih selektif dalam memilih pasangan dan lebih siap untuk menunggu hingga menemukan orang yang benar-benar sejalan.

2. Krisis Ekonomi yang Tak Kunjung Usai

Kondisi ekonomi yang tidak stabil dan biaya hidup yang terus meningkat juga menjadi salah satu faktor yang membuat banyak anak muda ragu untuk menikah. Kehidupan di kota besar, misalnya, memerlukan biaya yang tinggi untuk kebutuhan sehari-hari, pendidikan, dan tempat tinggal. Dengan tingginya biaya tersebut, banyak yang merasa bahwa menikah hanya akan menambah beban finansial, terutama bila mempertimbangkan biaya pernikahan, kebutuhan keluarga, dan biaya pendidikan anak di masa depan.

Menurut data, angka pernikahan di Indonesia menurun dari 2,01 juta pasangan pada 2018 menjadi 1,58 juta pasangan pada 2023. Penurunan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara maju, seperti Jepang di mana sekitar 17,3% pria dan 14,69% wanita memilih untuk tidak menikah. Perubahan status sosial perempuan, terutama yang semakin mandiri, turut berkontribusi pada penurunan angka pernikahan. Dan Korea Selatan, yang sudah lebih dahulu mengalami fenomena serupa. 

3. Kekhawatiran Terhadap Komitmen Jangka Panjang

Pernikahan, bagi sebagian orang, masih dianggap sebagai ikatan yang "membatasi." Kekhawatiran tentang komitmen jangka panjang sering kali menjadi pertimbangan utama. Banyak anak muda yang menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang mengekang kebebasan. Pengalaman negatif yang dilihat atau didengar dari orang tua atau lingkungan sekitar mengenai konflik dalam rumah tangga membuat mereka takut dan merasa bahwa menikah bisa menjadi keputusan yang berisiko.

Dari sini muncul istilah-istilah baru yang berperan dalam perubahan pandangan anak muda terhadap pernikahan. Beberapa di antaranya, seperti Lonely Marriage, Situationship Marriage, Serial Monogamy, Marriage Burnout, dan Marriage Sabbatical, mencerminkan perubahan ekspektasi terhadap pernikahan yang dianggap semakin "berat" dan kurang fleksibel. Berikut penjelasan beberapa istilah yang populer:

  • Lonely Marriage: Banyak orang menyadari bahwa pernikahan tidak selalu berarti bahagia. Banyak pasangan yang merasa terjebak dalam pernikahan yang sepi dan kurang memiliki koneksi emosional, membuat anak muda takut mengalami hal serupa.

  • Situationship Marriage: Beberapa anak muda lebih nyaman dengan hubungan tanpa ikatan formal. Mereka merasa bahwa komitmen dalam hubungan tidak perlu diwujudkan melalui pernikahan. Fenomena ini membuat banyak orang tidak lagi memandang pernikahan sebagai tujuan utama dalam hubungan.

  • Serial Monogamy: Gagasan bahwa pernikahan bisa berakhir dan dimulai kembali menjadi pola pikir yang umum di kalangan anak muda. Hal ini membuat pernikahan tidak lagi dipandang sebagai ikatan seumur hidup, melainkan sebagai sesuatu yang bisa dicoba beberapa kali jika tidak berhasil.

4. Prioritas Hidup yang Berubah: Self-Development dan Kebahagiaan Pribadi

Anak muda kini lebih memprioritaskan kebahagiaan pribadi dan self-development dibandingkan memulai hubungan jangka panjang yang kompleks. Pengembangan diri dalam hal karier, hobi, dan kesehatan mental menjadi semakin penting. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa membangun diri terlebih dahulu adalah hal yang bijak sebelum memasuki pernikahan. Gaya hidup ini memudahkan mereka menikmati masa lajang dan kebebasan tanpa merasa "tertinggal" hanya karena belum menikah.

Mengapa Istilah-istilah Baru Ini Mencerminkan Perubahan Nilai?

Secara umum, istilah-istilah seperti Flexitarian Marriage, Marriage Sabbatical, dan Marriage Burnout menunjukkan bahwa generasi muda kini menginginkan pernikahan yang lebih fleksibel dan fokus pada kebahagiaan pribadi. Ketimbang melihat pernikahan sebagai komitmen kaku, banyak anak muda yang mencari bentuk hubungan yang bisa memberikan ruang bagi mereka untuk tetap berkembang secara mandiri. Flexitarian Marriage, misalnya, menggambarkan pernikahan yang memungkinkan kedua pihak tetap memiliki kebebasan pribadi.

Kesimpulan

Minat untuk menikah memang semakin menurun di kalangan anak muda Indonesia. Berbagai faktor seperti perubahan sosial, tekanan ekonomi, kekhawatiran terhadap komitmen, serta prioritas hidup yang berubah, turut mempengaruhi keputusan mereka. Kini, banyak anak muda yang melihat pernikahan sebagai sesuatu yang bisa ditunda atau bahkan dihindari demi kebahagiaan dan pengembangan diri.

Namun, ini bukan berarti pernikahan akan hilang sepenuhnya dari kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak yang percaya bahwa mereka tetap akan menikah ketika benar-benar merasa siap. Fenomena ini menunjukkan bahwa pernikahan telah beralih dari sekadar keharusan sosial menjadi pilihan pribadi yang lebih matang dan penuh pertimbangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun