Mohon tunggu...
Syinchan Journal
Syinchan Journal Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Pemikir bebas yang punya kendali atas pikirannya

Begitu kau memahami kekuatan kata katamu, kamu tidak akan mengatakan apapun begitu saja. Begitu kau memahami kekuatan pikiranmu, kamu tidak akan memikirkan apapun begitu saja. Ketahuilah Nilaimu

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pecahnya Kemendikbudristek, Gebrakan Maju atau Birokrasi Bertopeng?

25 Oktober 2024   01:05 Diperbarui: 25 Oktober 2024   01:43 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi (freepik.com/rawpixel.com)

Pemecahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi tiga kementerian terpisah lagi ramai dibicarakan. Kalau dipikir-pikir, wajar saja. Pendidikan, kebudayaan, dan riset memang punya tantangan dan kebutuhan yang berbeda, jadi ada yang bilang langkah ini perlu biar semua urusan jadi lebih fokus. Tapi, di sisi lain, banyak juga yang bertanya-tanya, "Ini bakal nambah masalah nggak sih?" Mari kita coba lihat lebih dekat.

Urgensi Pemecahan Kementerian: Kenapa Ini Perlu?
Ada tiga kementerian baru yang rencananya terbentuk: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek), serta Kementerian Kebudayaan. Alasan utamanya adalah supaya masing-masing kementerian bisa fokus pada bidangnya sendiri, tanpa harus ribet ngurus semuanya sekaligus.

Secara teori, ini bisa membantu meningkatkan efisiensi. Misalnya, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah bisa lebih fokus pada kebijakan dan pengembangan program untuk sekolah-sekolah. Sedangkan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset bisa lebih optimal dalam menangani riset ilmiah dan inovasi. Jadi, semua bisa lebih spesifik, lebih cepat mengambil keputusan, dan nggak terbagi-bagi antara urusan yang nggak berhubungan langsung.

Tapi, selain itu, data dari kementerian saat ini menunjukkan betapa luasnya cakupan yang harus ditangani. Jumlah sekolah dasar saja mencapai lebih dari 147.000 institusi di seluruh Indonesia. Bayangkan kalau ini digabungkan dengan urusan riset dan teknologi---tentu sulit untuk memprioritaskan semuanya dengan porsi yang adil. Jadi, memecah kementerian bisa jadi solusi.

Tantangan yang Muncul: Efektif atau Malah Berantakan?
Di sisi lain, pemecahan ini juga membawa tantangan tersendiri. Salah satu risiko utamanya adalah duplikasi tugas dan fungsi antar kementerian. Misalnya, program riset dan inovasi yang dulu di bawah satu atap, sekarang harus dikordinasikan antar dua kementerian yang terpisah. Ada kemungkinan terjadi kebingungan dalam pembagian tugas, yang ujung-ujungnya malah bikin boros sumber daya.

Koordinasi antar kementerian juga bisa jadi lebih rumit. Dengan lebih banyak kementerian, waktu yang dibutuhkan untuk menyamakan visi dan kebijakan pasti akan lebih lama. Data dari berbagai kementerian menunjukkan bahwa birokrasi yang berlapis bisa memperlambat keputusan penting, apalagi kalau melibatkan lebih dari satu kementerian. Jadi, perlu strategi matang supaya pemecahan ini nggak malah memperlambat kerja.

Nasib Kurikulum Merdeka: Tetap Lanjut atau Terbengkalai?
Kurikulum Merdeka menjadi sorotan utama dalam perubahan ini. Kurikulum yang menawarkan fleksibilitas bagi siswa dan guru ini mendapat respons positif dari banyak pihak karena dianggap lebih relevan dengan kebutuhan zaman. Namun, dengan kementerian yang terpecah, ada kekhawatiran soal konsistensi implementasinya.

Apakah dengan kementerian baru, Kurikulum Merdeka tetap bisa dijalankan dengan baik? Jawabannya tergantung pada seberapa baik kementerian baru mampu berkoordinasi. Berdasarkan data evaluasi pendidikan, diperlukan waktu setidaknya 3-5 tahun untuk melihat hasil signifikan dari implementasi kurikulum baru. Artinya, keberhasilan Kurikulum Merdeka bukan hanya soal kebijakan, tapi juga komitmen dan kesinambungan dalam penerapannya, yang bisa terpengaruh oleh pemecahan ini.

Untuk benar-benar mengetahui apakah Kurikulum Merdeka berhasil, dibutuhkan evaluasi yang komprehensif. Melihat hasil belajar siswa, mendengarkan masukan guru, orang tua, dan juga membandingkannya dengan kurikulum sebelumnya adalah langkah penting untuk menilai efektivitasnya. Statistik menunjukkan bahwa kurikulum fleksibel seperti ini berpotensi meningkatkan motivasi belajar siswa hingga 20%, jika diterapkan dengan benar.

Solusi untuk Kemajuan Pendidikan: Masih Ada Harapan?
Memisahkan kementerian mungkin punya risiko, tapi juga membawa harapan baru. Pendidikan, kebudayaan, dan riset adalah tiga bidang yang sama-sama penting untuk masa depan bangsa, dan memisahkannya bisa memberi ruang bagi setiap bidang untuk tumbuh dengan lebih optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun