Mohon tunggu...
Syinchan Journal
Syinchan Journal Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Pemikir bebas yang punya kendali atas pikirannya

Begitu kau memahami kekuatan kata katamu, kamu tidak akan mengatakan apapun begitu saja. Begitu kau memahami kekuatan pikiranmu, kamu tidak akan memikirkan apapun begitu saja. Ketahuilah Nilaimu

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena #Desparate di LinkedIn: Kenapa Pekerja Makin Frustasi?

15 Oktober 2024   13:32 Diperbarui: 15 Oktober 2024   13:35 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah lautan informasi yang mengalir di dunia maya, muncul satu tagar yang membuat banyak orang berpikir: #Desperate. Tagar ini, yang mulai ramai di LinkedIn, menjadi simbol dari keputusasaan para pencari kerja, terutama di kalangan generasi muda. Namun, mari kita tanyakan pada diri kita sendiri: Apakah fenomena ini mencerminkan kondisi yang sebenarnya, dan apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah situasi ini?

Munculnya Tagar #Desperate: Kenapa dan Bagaimana?

Sejak beberapa tahun terakhir, terutama setelah dampak besar dari pandemi COVID-19, banyak orang merasakan tekanan yang semakin besar dalam mencari pekerjaan. Perusahaan mengurangi pegawai, peluang kerja semakin menipis, dan banyak lulusan baru merasa terjebak tanpa arah. Dalam situasi seperti ini, tagar #Desperate muncul sebagai bentuk ungkapan perasaan dari para pencari kerja.

Mereka tidak lagi ragu untuk mengungkapkan perasaan putus asa dan frustrasi mereka secara terbuka. Ini bukan sekadar simbol, melainkan panggilan untuk didengar. Namun, di balik keputusasaan ini, ada cerita-cerita individu yang perlu kita renungkan. Setiap tagar #Desperate mencerminkan harapan dan impian yang terpendam, serta usaha yang belum membuahkan hasil.

Mencari Makna di Balik Keputusasaan

Mari kita lihat lebih dalam. Keputusasaan tidak hanya muncul begitu saja; ada faktor-faktor yang menyebabkannya. Misalnya, banyak pencari kerja yang telah mengirimkan puluhan bahkan ratusan lamaran, hanya untuk mendapatkan satu atau dua balasan. Ketidakpastian dalam proses perekrutan menambah beban psikologis yang dirasakan.

Dalam narasi ini, penting bagi kita untuk merenungkan makna di balik rasa putus asa ini. Apakah keputusasaan ini hanya merupakan refleksi dari ketidakmampuan, atau mungkin lebih tepatnya, cerminan dari tuntutan dan ekspektasi yang tinggi terhadap diri sendiri? Mungkin kita terlalu terburu-buru mengejar karier yang diimpikan, tanpa menyadari bahwa perjalanan karier itu adalah proses yang penuh dengan liku-liku.

Perubahan Cara Pandang: Dari Desperasi Menuju Kesempatan

Kita harus berani bertanya: Apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah keputusasaan menjadi peluang? Pertama-tama, mari kita beralih dari mindset negatif menjadi yang lebih positif. Menggunakan tagar #Desperate bisa menjadi langkah awal, tetapi mari kita lanjutkan dengan tindakan yang konkret.

1. Fokus pada Peningkatan Diri: Daripada berlarut-larut dalam rasa putus asa, kenapa tidak mencoba untuk memperbaiki diri? Mengambil kursus online, mengikuti webinar, atau bahkan bergabung dengan komunitas yang relevan bisa membuka pintu kesempatan baru. Kita harus ingat bahwa dunia kerja terus berubah; keterampilan yang relevan hari ini mungkin tidak relevan besok.

2. Jadilah Fleksibel: Kadang, jalur yang kita pilih tidak selalu berjalan mulus. Bersikap terbuka terhadap pekerjaan yang mungkin tidak sesuai dengan latar belakang kita bisa menjadi kunci. Banyak orang sukses memulai karier dari posisi yang jauh dari cita-cita awal mereka. Fleksibilitas adalah kunci untuk menemukan jalan menuju tujuan kita.

3. Bangun Jaringan: Networking adalah salah satu cara efektif untuk mendapatkan informasi dan peluang yang mungkin tidak terdaftar secara umum. Mari kita ingat bahwa banyak pekerjaan ditemukan melalui relasi. Jadi, jangan ragu untuk berbicara, berbagi, dan menjalin hubungan dengan orang-orang di industri yang kita minati.

Mengapa Perusahaan Perlu Mendengarkan

Dalam konteks ini, penting untuk menyadari bahwa bukan hanya pencari kerja yang perlu beradaptasi, tetapi juga perusahaan. Melihat tagar #Desperate, perusahaan seharusnya tidak hanya melihat angka dan statistik, tetapi juga memahami konteks di balik keputusasaan ini. Mengapa banyak pencari kerja merasa terjebak? Apa yang bisa perusahaan lakukan untuk menarik bakat terbaik?

Perusahaan perlu menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesempatan dan membina lingkungan kerja yang inklusif. Dengan memberikan pelatihan, program magang, dan kesempatan bagi para pencari kerja untuk belajar, mereka bisa membantu menciptakan generasi tenaga kerja yang lebih kompetitif.

Saatnya Beraksi

Fenomena tagar #Desperate di LinkedIn adalah sinyal bahwa keputusasaan dalam mencari kerja semakin nyata. Namun, di balik keputusasaan ini ada harapan dan potensi yang bisa kita eksplorasi. Kita tidak perlu terjebak dalam rasa putus asa, melainkan berusaha untuk menemukan solusi. Mari kita tingkatkan keterampilan, bersikap fleksibel, dan menjalin jaringan yang lebih kuat.

Pada akhirnya, kita semua berjuang dalam perjalanan ini. Keputusasaan adalah bagian dari proses, tetapi kita tidak perlu membiarkannya mendefinisikan siapa kita. Sebaliknya, mari kita jadikan keputusasaan ini sebagai titik awal untuk mengubah hidup kita menjadi lebih baik. Sudah saatnya kita bergerak dari #Desperate menjadi #Empowered.

Apa pendapat kamu tentang fenomena ini? Apakah kamu merasakannya juga? Mari berbagi pandangan dan pengalaman kita, karena dalam kebersamaan, kita bisa menemukan jalan keluar dari ketidakpastian ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun