Mohon tunggu...
Syuhada Surya Wicaksono
Syuhada Surya Wicaksono Mohon Tunggu... -

Apalah yang lebih indah selain dari idea, keseimbangan dan kebahagiaan...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hamil di Luar Nikah, Salah Siapa?

28 Januari 2016   21:16 Diperbarui: 28 Januari 2016   21:38 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kedua, institusi resmi memiliki dewasa ini memiliki fokus yang spesifik. Inilah ciri dari sebuah kota metropolitan. Semakin maju, maka semakin spesifik profesinya. Sekolah relatif hanya mengajarkan ilmu pengetahuan saja. Begitu pula dengan kursus, bimbel, les dsb. Mengajarkan materi yang sangat spesifik. Kecuali, mungkin bila ada sekolah yang khusus mengajarkan pendidikan moral atau manner.

Sepengamatan saya, Guru pun sudah mulai bergeser perannya. Dewasa ini, Berapa banyak Guru yang benar-benar menjadi seorang pendidik? Rata-rata mungkin hanyalah sebatas menjadi pengajar yang baik tapi tidak menjadi pendidik yang baik. Integritas guru dewasa ini dalam berpikir, berperasaan dan berbuat rasanya tidak sekuat dulu. Saat ini, Guru rasanya hanya sebatas profesi dalam mencari nafkah bukan lagi panggilan jiwa. Kalaupun ada mungkin hanya segelintir. Padahal di pundak merekalah terletak tanggungjawab dalam mendidik sebaik-baiknya, sebenar-benarnya dan seutuh-utuhnya manusia Indonesia selama mereka berada di lingkungan sekolah, syukur-syukur pengaruhnya terasa sampai di luar lingkungan sekolah dan di masa depannya.

Ketiga, terkait dengan pergeseran peran Guru yang sebatas profesi tadi. Dewasa ini, rasanya tidak banyak guru yang lahir dari kalangan putra-putri terbaik bangsa. Jikalaupun ada mungkin tidak banyak. Mohon maaf sebelumnya, koreksi jika saya salah, rasanya relatif tidak banyak siswa-siswa terbaik yang setelah lulus memilih menjadi seorang Guru dan Pendidik untuk memenuhi panggilan jiwanya. Realita memang keras, perut istri dan anak harus diisi. Jikalau kesejahteraan Guru tidak memberikan daya tarik maka sudah menjadi hukum alam kalau putra-putri terbaik akan mencari nafkah di profesi lainnya.

Kembali ke topik utama. Dengan pendidikan mental dan moral yang timpang ini, dimana pendidikan di keluarga batih tidak diutamakan, maka dampaknya sampailah ke generasi muda kita.

Dan apa yang dilakukan Orangtua yang anaknya bermasalah? Yup... hanya mengeluh dan menyalahkan pihak ketiga. Menyalahkan institusi pendidikan resmi dan atau pemerintah dengan alasan tidak mampu mengelola tayangan tidak bermutu yang lalu lalang di TV atau dunia maya. Di beberapa media, bahkan beredar berita ada Orangtua justru malah menyerang Guru yang menjalankan tugasnya untuk mendisiplinkan putra-putrinya. Putra-putrinya yang salah dan sedang dididik tapi justru Orangtua membela anaknya dan menyerang Gurunya. Kontras sekali dengan kondisi saat saya bersekolah dulu, kalau ada masalah di sekolah rasanya takut sekali menyampaikan ke Orangtua karena Orangtua justru mendukung apa yang diputuskan oleh Guru di sekolah.

Yup, banyak Orantua yang lupa bahwa merekalah pihak utama yang harus disalahkan dan sudah sepantasnya berbenah diri. Mengapa mereka bisa sampai lalai dalam mendidik, menjaga dan mengayomi putra-putri mereka? Bukankah seharusnya para Orangtua juga mengupgrade pengetahuan dan mengikuti perkembangan zaman agar mereka mampu mendidik putra-putri mereka dengan baik?

Sampai akhirnya nanti ketika mereka sadar bahwa putrinya telah dihamili atau putranya OD akibat narkoba atau terkapar di jalanan akibat tawuran? Histerislah mereka..

Kenapa anak saya bisa begini??!

Ask yourself...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun