Setelah hari pernikahan yang penuh kemegahan, kenyataan kehidupan pernikahan dapat berbeda jauh. Meskipun pasangan pengantin dapat merasakan kemewahan dan penghormatan pada hari pernikahan, beban ekonomi yang ditanggung pria sebagai "pembayar cicilan belis" sering kali membayangi kehidupan mereka.
Pernikahan dalam tradisi belis bisa menjadi sangat mahal, terutama jika keluarga wanita menetapkan jumlah belis yang tinggi. Banyak pria yang, setelah menikah, terjebak dalam kewajiban membayar cicilan belis selama bertahun-tahun. Pembayaran ini sering kali harus dipenuhi dengan bekerja keras sebagai buruh, baik di sektor pertanian, konstruksi, atau pekerjaan informal lainnya. Dalam banyak kasus, pria yang telah menikah dengan membayar belis merasa seperti "buruh" yang terperangkap dalam lingkaran utang.
Hal ini berlanjut selama bertahun-tahun, karena sebagian besar pria harus mengumpulkan uang atau barang secara bertahap untuk memenuhi kewajiban mereka. Terkadang, ini membuat mereka merasa tertekan secara ekonomi dan sosial. Bahkan dalam beberapa kasus, keluarga pria harus menggadaikan tanah atau sumber daya lainnya untuk membayar belis, yang bisa menyebabkan penurunan kualitas hidup mereka setelah pernikahan.
4. Ketimpangan Sosial yang Diciptakan oleh Belis
Selain beban ekonomi yang dirasakan oleh pria, budaya belis juga menciptakan ketimpangan sosial antara pria dan wanita, serta antara keluarga yang kaya dan miskin. Keluarga yang mampu memberikan belis tinggi bisa dianggap lebih terhormat dan dihormati dalam masyarakat, sementara keluarga yang tidak mampu bisa merasa terpinggirkan atau dipandang rendah. Fenomena ini menambah tekanan sosial pada pria, terutama jika mereka datang dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang lebih rendah.
Di sisi lain, meskipun wanita dihargai pada hari pernikahan, sering kali mereka tidak memiliki kontrol penuh atas keputusan ekonomi dalam kehidupan setelah pernikahan. Meskipun pernikahan melalui tradisi belis memberikan penghormatan kepada keluarga wanita, hal itu tidak selalu berlanjut ke dalam kehidupan sehari-hari. Banyak wanita, setelah menikah, masih harus bekerja keras untuk membantu suami mereka membayar cicilan belis, yang pada akhirnya berujung pada ketergantungan ekonomi dalam keluarga.
5. Proses Negosiasi dan Dinamika Sosial dalam Budaya Belis
Proses negosiasi belis dalam pernikahan juga melibatkan dinamika sosial yang sangat kompleks. Dalam beberapa kasus, negosiasi belis bisa menjadi ajang tawar-menawar antara keluarga pria dan wanita. Keluarga wanita bisa saja menetapkan jumlah belis yang sangat tinggi untuk menunjukkan prestise atau status sosial mereka. Sementara itu, keluarga pria yang lebih miskin harus berjuang keras untuk memenuhi tuntutan tersebut, yang bisa berujung pada ketegangan dan konflik dalam proses pernikahan.
Namun, meskipun terdapat dinamika yang tidak selalu adil dalam negosiasi belis, ada juga perubahan dalam cara pandang tentang budaya ini. Di beberapa daerah di NTT, mulai ada kesadaran untuk mengurangi ketimpangan sosial yang tercipta akibat tradisi belis. Beberapa keluarga mulai berinovasi dengan mengurangi jumlah belis atau mengubah cara pemberian belis agar tidak membebani kedua belah pihak.
6. Menyikapi Budaya Belis di NTT: Antara Tradisi dan Realitas Sosial
Budaya belis di NTT jelas merupakan bagian dari warisan budaya yang perlu dihargai dan dipertahankan, namun perlu ada kesadaran tentang tantangan sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dari praktik tersebut. Pada satu sisi, belis dapat dianggap sebagai simbol penghormatan dan keseriusan dalam pernikahan. Namun di sisi lain, praktik ini bisa menjadi beban yang sangat berat bagi pasangan pengantin, terutama bagi pria yang harus bekerja keras untuk memenuhi kewajiban finansial tersebut.