Mohon tunggu...
Vanny Narita
Vanny Narita Mohon Tunggu... -

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

SIRKULASI OTAK ANAK-ANAK HABIBIE

8 Oktober 2011   03:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:12 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rounded Rectangle: Brain drain index of IMD (2011): • U.S : 7.15 • Finland : 6.84 • Japan : 5.89 • Indonesia : 5.52 • Korea : 3.68 • China : 3.49 * scale of 0 to 10: 0 indicates a strongest tendency for highly-educated people to leave their countries

Kami menyebut diri kami sebagai anak-anak Habibie karena kami adalah para lulusan SMA sekitar tahun 80-90 an yang dikirim ke luar negeri langsung setelah lulus SMA dengan beasiswa ketika Pak Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi. Saat ini kami telah selesai menamatkan sekolah kami, baik itu S1, S2, atau S3, dan kami tersebar di seantero dunia. Ada yang memutuskan pulang ke tanah air dan melunasi (atau dalam proses)“hutang” ikatan kontrak kerja sebesar 2n+1. Adayang berusaha melunasi “hutang” ikatan kontrak kerja ini, namun akhirnya tidak tahan karena tekanan ekonomi, sosial, dan budaya, lalu memutuskan keluar dari tempat kami bekerja di pemerintahan, dan bekerja di tempat lain di Indonesia (biasanya swasta) atau bahkan kembali lagi ke luar negeri. Ada yang kebingungan (atau bersorak-sorak gembira) karena tidak harus membayar “hutang” ini karena insitusinya “dikerdilkan” seperti PT IPTN (sekarang PT DI) dan PT BBI. Ada juga yang bekerja sebentar membayar hutang, lalu cepat-cepat memburu beasiswa di luar negeri karena tidak betah. Ada yang pulang hanya sekedar berlibur, namun sebenarnya telah menetap di luar negeri, entah sebagai tenaga peneliti atau tenaga ahli lainnya. Ada juga yang sudah menjadi permanent resident, bahkan ada yang sudah berpindah kewarganegaraannya. Sebagian kecil dari kami menghilang, tanpa kabar.

Kami memiliki mailing list yang biasanya sepi. Tidak semua anak-anak Habibie menjadi anggota mailing list ini, namun cukuplah merangkul setengah dari kami. Tidak banyak yang kami bahas, kadang-kadang hanya membahas bagaimana memperpanjang KTP. Namun, ada tiga hal yang membuat mailing list anak-anak Habibie ramai dalam waktu 3 bulan ini. Pertama, iseng-iseng saya mengirim email dengan lampiran soft copy Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). MP3EI ini sebenarnya sudah cukup lama diluncurkan yaitu pada tanggal 27 Mei 2011 di Plenary Hall, Jakarta Convention Center. Masterplan ini mencakup 22 aktivitas ekonomi utama Indonesia dan merupakan adaptasi serta integrasi dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Peluncuran MP3EI juga diwarnai dengan dimulainya proyek-proyek groundbreaking yang pencanangannya dilakukan di 6 koridor ekonomi Indonesia yang akan dipusatkan pada 4 lokasi dengan 17 proyek. Yaitu, Kabupaten Sei Mangku (Sumatera Utara), Kabupaten Cilegon (Banten), Kabupaten Lombok Timur (NTB), dan Kabupaten Timika (Papua). Total dana untuk 17 proyek ini adalah Rp 190 triliun, bersumber dari berbagai sumber diantaranya APBN, investasi langsung, swasta, dan BUMN.

Kedua, pernyataan Pak Habibie, “Ilmuwan nggak usah pulang ke Indonesia” sewaktu memberikan kuliah umum di Aachen, Jerman. Pak Habibie memaklumi adanya orang pintar Indonesia yang memilih tidak pulang ke tanah airnya. Meski memilih tinggal di luar negeri, Habibie yakin orang-orang itu tetap cinta Indonesia. “Dari zaman saya di Eropa, isunya sama: brain drain. Tapi, kita realistis saja. Bagaimana orang pintar mau pulang ke Indonesia kalau tidak ada lapangan pekerjaan di sana,” kata Pak Habibie. Kuliah umum inidiselenggarakanoleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Aachen dengan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) pada tanggal 30 Juli 2011 dan mengangkat tema 'Sinergisasi dan reorganisasi ilmuwan Indonesia di luar negeri untuk berkontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam negeri'.

Ketiga, adanya surat terbuka dari Surat Terbuka Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Patti Djalal kepada Masyarakat Indonesia di Amerika Serikat di Washington, D.C., 15 Agustus 2011, terkait dengan Hari Ulang Tahun RI ke 66. Pak Dino menyatakan,” Dengan demikian, pada tanggal 17 Agustus nanti kita bukan saja merayakan kemerdekaan Indonesia secara nostalgik, namun juga merenungkan serta membulatkan tekad bagaimana masyarakat Indonesia di AS dapat mengambil bagian dalam arus perubahan besar yang kini sedang melanda Indonesia.” Dan dalam salah satu programnya sudah mulai dibentuk komunitas on-line The Indonesian Network (www.theindonesianetwork.com) yang bertujuan untuk mempertemukan berbagai stake-holders yang berkecimpung dalam hubungan Indonesia-AS, baik warga Amerika maupun warga Indonesia dari berbagai kalangan (pengusaha, profesional, diplomat, pejabat, akademisi, seniman, wartawan, LSM, alumnus, dll) baik yang berdomisili di Amerika maupun di Indonesia.

Maka ramailah mailing list kami.

Benar kata Pak Habibie, bahwa issue brain drain ini adalah masalah lama.Kami pun anak-anak Habibie bosan membicarakannya, antara ingin berbakti kepada negeri dan keinginan untuk menggapai masa depan yang lebih baik lahir dan batin. Namun dengan adanya MP3EI, dengan target menjadi negara maju di tahun 2025, kelihatannya Indonesia harus mengerahkan segala potensi yang dimilikinya termasuk anak-anak bangsa di luar negeri, terutama yang memiliki keahlian khusus. Jika kita menengok Korea Selatan yang berhasil memutarbalikkan krisis ekonomi 1997/1998 menjadi titik tolaknya menjadi negara maju yang inovatif dalam waktu kurang dari lima tahun serta China yang menjadi salah satu ekonomi yang tumbuh tercepat di dunia dengan pertumbuhan stabil sebesar 5-30% pada 30 tahun terakhir ini sehingga menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia setelah US pada tahun 2010, kedua negara ini pun mengalami brain drain yang hebat. Namun, pemerintah kedua negara ini melakukan tindakan-tindakan cerdas untuk menahan arus brain drain, bahkan memutarnya menjadi brain gain dan/atau mengarahkan sirkulasi brain ini ke negara mereka.

Cina secara sistematis telah mendorong para ahli ternama China di luar negeri dan membujuk mereka untuk kembali ke Cina untuk meng-set up bisnis atau bekerja di posisi atas pemerintahan. Terlepas dari insentif langsung, Cina telah berhasil menciptakan lingkungan ekonomi makro yang dinamis dan menarik para lulusan luar negeri Cina untuk kembali ke Cina. Para peneliti yang mereguk pendidikan di luar Cina memerankan peran sangat dominan di berbagai proyek saintifik ternama di Cina seperti program luar angkasa dan pemetaan genom manusia. Para peneliti ini bahkan telah mendirikan hampir semua perusahaan Cina yang bergerak di bidang teknologi tinggi yang terdaftar di NASDAQ. Di antara mereka adalah Charles Zhang, founder and CEO of Sohu.com, China’s premier online brand and Internet portal; Edward Tian, head of China Netcom, the country’s second-largest fixed-line carrier; Robin Li, CEO of Baidu, the leading Chinese language search engine.

Pada awal tahun 80an, Cina tetap menekankan kebijakan‘‘store brain power overseas’’ dan pada akhir 80an kota-kota di Cina mulai bersaing untuk menarik lulusan-lulusan luar negri yang berbakat dengan menawarkan insentif pajak, pinjaman lunak bisnis, ruang kantor gratis, perumahan yang nyaman dan promosi yang cepat. Saat ini lebih dari 110 zona spesial dan industrial parks untuk para “pemudik” ini telah berdiri. Lebih dari 6000 enterprise terletak pada industrial parks ini dan mempekerjakan lebih dari 15000 “pemudik”.

Tidak tanggung-tanggung the Chinese Academy of Sciences (CAS) menawarkan dana riset bagi para lulusan luar negri yang berprestasi, yang tidak saja besar, tapi dijanjikan bahkan lebih besar daripada dana riset mereka di luar Cina. Cina menargetkan setiap tahun, sekitar 600 ilmuwan Cina yang berada di luar negeri diharapkan untuk kembali bekerja ke Cina. Ilmuwan yang sebagian besar adalah para peneliti dan teknisi ini menerima dana riset lebih dari $397,058/tahun atau sekitar Rp 3M/tahun.

Cina memiliki 2 program menarik, yaitu menyewa 1) para peneliti asing khususnya associate professors (Lektor Kepala) dan 2) para peneliti muda asing khususnya yang baru saja mendapatkan gelar PhD. Para professor muda dapat melakukan kolaborasi riset selama 3-6 bulan, sementara para peneliti muda dapat melakukan riset di Cina selama 2 tahun. CAS menargetkan untuk “merayu” 200 peneliti asing per tahun dan total sekitar 1500 peneliti asing plus peneliti Cina yang berdomilisi di luar Cina. Walaupun CAS tidak menjanjikan dana riset secara jelas, strategi ini cukup gemilang. CAS bahkan mengklaim bahwa dengan proyek pencarian bakat baru ini, Cina mengharapkan dapat melakukan debottlenecking teknologi dan membuat loncatan dalam kemampuan riset dan level sains dan teknologi dalam waktu singkat dengan mengarahkan sirkulasi “otak-otak” brilian baik itu peneliti Cina lulusan luar negeri Cina maupun peneliti asing ke Cina.

Korea Selatan memiliki cara-cara mirip seperti yang dilakukan oleh Cina untuk memutar arus brain drain. Walaupun demikian strategi Korea Selatan agak berbeda karena strategi reverse brain drain di Korea Selatan berdasarkan usaha pemerintah yang sangat terorganisir dengan berbagai kebijakan dan dukungan politis dari President Park Chung Hee. Ciri utama kebijakan reverse brain drain Korea adalah penciptaan lingkungan domestik Korea yang kondusif (seperti gedung-gedung institusi R&D strategis yang dibiayai pemerintah dan reformasi administrasi) dan pendayagunaan para lulusan luar negeri yang berbakat (seperti keberpihakan bagi para peneliti wanita yang memiliki anak dan jaminan hak otonomi riset).

President Park memainkan fungsi layaknya seorang kardinal dengan mendayagunakan para “pemudik” ini dengan taruhan sistem birokrasinya, dan kapasitasnya untuk mengatur secara langsung didapatkan dari sistem politiknya yang birokratis berotoritas tinggi. Para saintis dan teknisi diuntungkan oleh sistem politik ini dan juga oleh pemonitoran pribadi Presiden Park. Bagi Presiden Park, pendayagunaan “otak-otak” yang kembali ke tanah air dibutuhkan bagi penyuksesan rencana industrialisasi Korea, dan karenanya mengokohkan legitimasi politiknya di ranah politik domestik Korea. Keterikatan dengan para pelaku R & D diperlukan untuk mengkonsolidasi kekuatan presidensialnya, dan secara politik tidak mengancam karena struktur kekuasaan Korea pada saat itu memiliki struktur "pact of domination". Strategi reverse brain drain di Korea telah dibuktikan berhasil dengan melesatnya Korea di bidang teknologi dan pengembangan pesat sektor industri dan pendidikan.

Menariknya sebenarnya Korea mengalami brain drain yang lebih buruk dibandingkan dengan Indonesia sejak ekonomi krisis pada tahun 1998 (lihat gambar Brain Drain Index 2011). Walaupun demikian, dengan gebrakan restrukturisasi sistem administrasi sains dan teknologi yang secara berkala dievaluasi (terdapat 3 kali restrukturisasi, yaitu pada tahun 2004, 2008, dan 2011), sejumlah kecil “otak-otak” Korea yang kembali atau bersirkulasi di Korea dapat menghidupkan inisiatif inovasi yang terkenal dengan sebutan Initiative 577 di bawah kepemimpinan LeeMyungBak. Inisiatif ini menargetkan Korea menjadi satu dari 7 kekuatan sains dan teknologi di dunia pada tahun 2012, dan hasilnya sudah semakin jelas menjelang 2012 ini, yaitu Korea berhasil mencapai targetnya.

Untuk Indonesia sendiri, khususnya dalam rangka menyukseskan MP3EI, umumnya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia pada jangka panjang, maka strategi Cina dan Korea dapat diadaptasikan dengan keadaan Indonesia saat ini. Pemerintah dapat mempertemukan kebutuhan dan pasokan sumber daya manusia dalam MP3EI. Sains, teknologi, dan inovasi apa yang dibutuhkan, keahlian apa yang diperlukan, dan berapa manusia Indonesia (di dalam dan di luar negeri) yang memiliki keahlian ini? Otak-otak dan tenaga-tenaga ahli apa yang dibutuhkan para pelaku industri khususnya sektor swasta dan BUMN dalam proyek-proyek mega raksasa MP3EI ini? Karenanya berbagai investasi, khususnya Foreign Direct Investment, akan menghasilkan hasil-hasil karya anak negeri.

Di lain pihak, program Cina dan Korea dalam menarik para peneliti mereka kembali ke Indonesia juga dapat dicontoh. Jika dirasakan pemberian insentif terlalu berat saat ini, maka menarik para ilmuwan dan tenaga ahli Indonesia di luar negeri untuk bersirkulasi di Indonesia dengan cara kolaborasi sangatlah tepat. Akan lebih menguntungkan lagi, jika dibuat semacam koneksi langsung dengan para peneliti unggulan di Indonesia sebagai champion-champion di dalam negeri. Keterhubungan persaudaraan secara pribadi akan meningkatkan tingkat keberhasilan kolaborasi yang lebih tinggi. Kemudian, sudah merupakan hal biasa bagi universitas-universitas di Cina dan Korea untuk memberikan status adjunct professor atau emeritus professor bagi para ilmuwan mereka yang memilih untuk tetap tinggal di luar negeri sehingga ada semacam keterikatan untuk membagikan keilmuan mereka. Akan lebih bermanfaat lagi, jika para ilmuwan ini pun terhubungkan langsung dengan industri nasional, khususnya BUMN.

Sebagaimana di Cina dan Korea, biasanya masalah penarikan otak-otak luar negeri ini menimbulkan kecemburuan. Cina dan Korea menyiasatinya dengan menempatkan para lulusan luar negeri ini dalam lingkungan industrial parks atau universitas dengan jumlah komunitas lulusan luar negeri yang cukup banyak sehingga diharapkan ada rasa satu nasib sepenganggungan dan mindset yang kurang lebih serupa. Dalam beberapa forum penarikan otak-otak luar negeri pun, hal ini dibahas di Indonesia. Mulai dari jajaran staf biasa hingga pimpinan. Banyak dipertanyakan, bagaimana dengan kesetiaan dan nasionalisme para pemilik brain ini? Khususnya untuk anak-anak beasiswa seperti anak-anak Habibie, bukankah mereka yang menetap di luar negeri tidak bertanggung-jawab dengan tidak membayar hutang-hutang ikatan dinas mereka? Saya kira, mudah saja, targetkan berapa jumlah pubilkasi internasional, paten, dan keuntungan industri/swasta dengan adanya mereka. Intangible outcome lainnya akan terlihat dengan sendirinya. Selain itu, bagi mereka yang berminat untuk membayar hutang, dapat melakukan kolaborasi dengan beban atas biaya dana penelitian mereka di luar negeri. Dan sebenarnya, hanya dengan berbagi ilmu pun, kualitas sumber daya manusia sudah dengan sendirinya ter-upgrade.

Kementerian Pendidikan Nasional menargetkan akan menelurkan ribuan Doktor/PhD pada tahun 2025, namun MP3EI membutuhkan otak-otak dan tenaga ahli saat ini juga. Oleh karenanya, cara pembayaran hutang secara tunai seperti yang beberapaanak-anak Habibie tanyakan kepada saya tidak akan terlalu menguntungkan rakyat. Mensirkulasikan brain mereka akan jauh memiliki efek berantai yang menguntungkan.

Diskusi anak-anak Habibie berlanjut, mulai dari bagaimana kami menyumbangkan pemikiran otak-otak kami pada percepatan pembangunan Indonesia, bagaimana kami berkiprah dari tempat kami di luar negeri, bahkan perlukah kami pulang? Semangat itu bahkan berlanjut dengan keinginan untuk melakukan kerjasama di antara kami dan berniat bertemu kopi darat di Indonesia. Ada juga yang skeptis dan berpendapat semua diskusi ini hanyalah debat kusir. Ada yang saking semangatnya menyebabkan anak-anak Habibie lain menjadi curiga, apakah ada udang di balik batu ingin memanfaatkan proyek-proyek MP3EI yang menggiurkan. Terlepas dari itu, akhirnya beberapa dari kami bertemu di Indonesia (saya sendiri telat mendapat informasinya). Hasilnya adalah beberapa foto anak-anak Habibie yang sudah sangat berbeda dengan sewaktu kami berangkat dulu, yang sangat culun di umur belasan tahun. Sekarang kami sudah berumur di ujung 30 tahunan, hampir mencapai 40 tahun, dan sebagian besar saya prediksi takut untuk mengorbankan keluarganya untuk sebuah idealisme berbakti kepada negara dengan konsep yang tidak jelas.

Mailing list kami akhir-akhir ini sepi kembali, email terakhir hanya memberitakan bahwa salah satu teman kami yang kelihatannya belum berminat segera lulus S3 di luar negeri menikah di Indonesia dan sudah kembali merantau mensirkulasikan otaknya di luar negeri. Salah satu anak Habibie akhirnya selesai melunasi hutangnya dan memutuskan pindah dari sebuah lembaga penelitian.Kami bertemu sebentar dan membicarakan “perkembangan” anak-anak Habibie lainnya. Seorang anak Habibie menghilang setelah clash dengan atasannya walaupun telah cukup lama berada di sebuah lembaga penelitian. Sepasang suami istri, sama-sama anak-anak Habibie, memutuskan untuk berpisah secara lokasi. Sang istri tetap menetap di salah satu BUMN walaupun sudah lunas hutangnya, dan sang suami tidak melunasi hutangnya namun hijrah ke negeri jiran dengan alasan ekonomi dan ketidakbetahan karena tidak bisa berkembang di salah satu lembaga penelitian. Saya juga baru sadar beberapa anak-anak Habibie yang dibebaskan dari kewajiban hutang ikatan dinas ternyata dibebaskan karena ketika mereka kembali ke Indonesia, beberapa Industri Strategis seperti PT IPTN dan PT BBI menyatakan tidak sanggup menerima mereka akibat tidak adanya lagi dana untuk menggaji pegawai. Sekilas kami mendiskusikan juga, seorang anak Habibie berprestasi di luar negeri dan di Indonesia yang hingga kini konsisten melakukan riset, akhirnya tekuk lutut juga dan berpikir untuk melakukan postdoctoral di Eropa akibat kecemburuan rekan-rekan sekerja yang berakibat pemotongan dana-dana risetnya.

Bercampur aduk rasanya setiap kali anak-anak Habibie bertemu. Lalu saya melihat status facebook senior saya, sesama anak-anak Habibie: "Di mana pun engkau berada selalulah menjadi yang terbaik dan berikan yang terbaik dari yang bisa kita berikan..." (B.J.Habibie). Aah, rasanya ada beban terangkat. Betul Pak Habibie, akan saya lakukan itu. Dan di manapun kami berada, saya harap anak-anak Habibie sedang melakukan itu.

Salam hangat untuk semua anak-anak Habibie yang sedang membaca artikel ini.

Vanny Narita

Anak Habibie, angkatan Science and Technology for Industrial Development (STAID) III

Source: IMD WORLD COMPETITIVENESS YEARBOOK 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun