Gelagat pencitraan ini bukan semakin memperkuat kubu pengurus PSSI era 2007-2011, tetapi justru gelombang perlawanan semakin menggelora dari berbagai elemen suporter di tanah air.
KEGAGALAN INDONESIAN SUPER LEAGUE (ISL)
Kegagalan Indonesian Super League (ISL) berperan terhadap penurunan kualitas Timnas di era kepengurusan PSSI 2007-2011. Â Kontrak dan gaji pemain yang jorjoran membuat sebagian besar pemain kehilangan passion-nya saat membela tanah air di berbagai ajang. Â Kenapa Ane sebut jorjoran, karena nominal kontrak dan gaji pemain tidak sesuai dengan kontribusi si pemain dan pendapatan dari klub, sehingga yang terlihat adalah seolah-olah liga berjalan megah namun klub yang berpartisipasi justru megap-megap. Â Ibaratnya mengikuti gengsi tapi tidak disesuaikan dengan kantong pribadi, akibatnya adalah nyolong sana-sini, mulai dari menghisap APBD, menyedot dana pengembangan daerah tertinggal dan daerah otonomi khusus, jual-beli pertandingan, sponsor berlabel pemaksaan kepada perusahaan-perusahaan di daerah melalui kepala daerah, penilepan dana pembangunan infrastruktur olahraga di daerah, dsb.
PT LI yang seharusnya adalah badan independen yang menjadi profit center dan back bone bagi kegiatan-kegiatan pengembangan persepakbolaan Indonesia, malah justru menjadi representasi (perpanjangan tangan) dari pengurus PSSI era 2007-2011. Â Hasilnya PTLI gagal melaksanakan tugas-tugas pokoknya untuk industrialisasi sepakbola di Indonesia, menciptakan klub-klub profesional, menciptakan liga yang benar-benar profesional, dan mengawasi klub-klub untuk melaksanakan 5 syarat klub profesional yang ditentukan oleh AFC.
Selama 3 tahun (2008-2011), ISL gagal menciptakan klub benar-benar bebas dari campur tangan politik dan APBD. Â Mungkin para bobotoh protes, bukankah Persib sudah profesional karena lepas dari APBD?. Â Tunggu dulu, Ente yakin Persib bebas dari APBD?. Â Kenapa Persib masih melibatkan pejabat pemerintah di organisasinya, apa itu bukan indikasi Persib masih butuh APBD?. Â Selain itu, selama 2008-2011 tidak ada pembangunan stadion baru ataupun pengembangan fasilitas stadion yang dibuat oleh klub peserta ISL, yang ada justru stadion-stadion yang dibuat oleh pemerintah untuk publik semakin muram dan memprihatinkan. Â Gaji telat di setiap musim, dan tidak pernah adanya indikasi pelunasan terhadap tunggakan-tunggakan gaji tsb, namun klub tetap eksis manggung di musim-musim berikutnya. Â Tidak ada kompetisi berjenjang yang dibuat oleh PSSI, adalah bukti sahih bahwa klub-klub peserta ISL dan PTLI masih gagal menjalankan pengembangan usia muda.
Finansial dan Marketing juga masih menjadi kelemahan mendasar bagi klub-klub peserta liga profesional di Indonesia. Â Bagaimana mungkin klub-klub dengan suporter melimpah seperti Sriwijaya FC, Persebaya 1927, PSIS Semarang, Persija Jakarta, Persiba Balikpapan, Arema Malang, mengalami kesulitan mencari sponsor ataupun kesulitan keuangan?. Â Persebaya 1927 mungkin perkecualian dalam hal menjaring sponsor karena adanya blocking dari La Nyalla sebagai eks ketua Kadin Jatim untuk melarang perusahaan-perusahaan di Jatim mensponsori Persebaya. Â Tapi bagaimana Pak Gede mengaku menggunakan uang pribadinya untuk mendanai operasional Persebaya, sedangkan di setiap pertandingan Home, mereka (Panpel) mengaku mendapatkan keuntungan sampai dengan ratusan juta rupiah. Â Di sisi lain, justru Pak Gede bisa membeli klub baru di provinsi yang sama. Â Menurut Ane, ini hal yang di luar nalar.
Apalagi kalau berbicara soal perkembangan prestasi klub Indonesia. Â Di kancah antar klub Asia, di masa BLAI (belum ada kompetisi profesional) klub Indonesia lebih berprestasi. Â Contoh Persik Kediri yang pernah menahan imbang Urawa Reds (Jepang) 3-3, bahkan Persik Kediri juga mengalahkan klub dari China dan Australia di musim yang sama dalam pertandingan home. Â Hasil pertandingan away pun tidak sampai menjijikan hasilnya. Â Sejak 2008 (ISL), klub-klub Indonesia menjadi bancakan bagi klub-klub dari Asia Timur. Â Bahkan Persipura pun gagal melewati klub dari negara yang belum memiliki lisensi liga profesional dari AFC (Arbil FC (Irak)) di 8 besar AFC Cup 2010. Â Bandingkan dengan Thailand yang di kesempatan keduanya di Liga Champions Asia berhasil meloloskan wakilnya ke 8 Besar (Buriram United).
Rasanya wajar, jika pada akhirnya AFC mencoret Indonesia dari jatah Liga Champions Asia, karena memang kesempatan 3 tahun yang telah diberikan tidak berhasil dimanfaatkan oleh PTLI untuk mendapatkan lisensi Liga Profesional.  Bahkan bisa-bisa kalau PTLI masih belum juga bisa menjadi lembaga yang benar-benar independen (profesional), maka beberapa tahun lagi Indonesia harus berkiprah di ajang President Cup (ajang  bagi negara-negara yang belum memiliki liga profesional, seperti Filipina, Laos, Kamboja, dsb).  Sebenarnya kinerja PTLI sudah cukup baik, tapi karena mereka bisa dimanfaatkan menjadi "jongos" bagi NDB dkk, akhirnya mereka gagal melaksanakan tugas-tugas pokoknya sebagai lembaga yang bertugas mengembangkan liga profesional di Indonesia.  PTLI memang sudah membuat liga "terlihat" meriah, tapi kemeriahan dan kemegahan itu hanya kamuflase yang terlihat di permukaan, bukan benar-benar riil dan mengakar kuat sampai ke setiap element yang menjadi bagiannya.
LAHIRNYA LIGA PRIMER INDONESIA (LPI)
Di tengah berbagai kegagalan dan semakin tidak jelasnya arah persepakbolaan Indonesia, beberapa praktisi dan pengamat sepakbola Indonesia menggulirkan ide untuk menciptakan sebuah liga yang berbeda dan menjadi contoh bagaimana seharusnya liga profesional dikelola. Â Ide ini merupakan kelanjutan dari gagalnya pelaksanaan butir-butir kesepakatan pada KSN di Malang Maret 2010. Â Namun, untuk menggulirkan liga tsb, butuh orang yang kuat untuk menjadi back up berjalannya kompetisi. Â Kumpulan orang yang digawangi tokoh-tokoh sepakbola terkemuka seperti M. Kusnaini, Ian Situmorang, Kesit P., Sihar Sitorus, Darius, dkk, kemudian memilih Arifin Panigoro yang selama ini sukses menggulirkan kompetisi usia muda. Â Arifin Panigoro yang gerah karena pemain-pemain hasil Liga Medco disabotase oleh SAD dan melihat bagusnya konsep LPI yang tertuang dalam proposal pelaksanaannya, menerima pinangan tokoh-tokoh tsb untuk menjadi penanggung jawab bergulirnya liga yang kemudian bernama Liga Primer Indonesia yang memiliki tag line "Change the Game". Â Tapi, saat itu AP memberi syarat bahwa Liga ini nantinya tetap harus bergulir dalam koridor taat hukum dan tanpa harus membayar sogokan kepada pihak manapun untuk perizinannya. Â AP pun bersedia untuk melobi Coca Cola dan Windows untuk menjadi partner dalam pelaksanaan LPI.
Tapi, ternyata tidak mudah untuk melaksanakan LPI sesuai syarat dari AP. Â Panitia terbentur masalah perizinan dari PSSI. Â Ya iyalah, mana mau PSSI era itu yang sedang membangun pencitraan diutak-atik lahannya, plus tanpa uang pelicin. Â No Money No Game!!!. Â Akhirnya mereka mendapatkan ide untuk mengajukan perizinan melalui BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia). Â Setelah berbulan-bulan terkatung-katung menunggu perizinan, LPI akhirnya berhasil bergulir, walaupun ada beberapa klub yang belum siap karena terkatung-katungnya masalah perizinan di atas. Â Kesulitan klub-klub tentunya adalah soal perekrutan pemain, karena bergulir di tengah-tengah musim, di mana banyak pemain yang sudah kontrak dengan klub-klub ISL. Â Akibatnya adalah pertandingan-pertandingan di LPI banyak yang kurang gereget. Â Tercatat hanya pertandingan yang melibatkan Persebaya, PSM, Persema, Persibo, Medan Chiefs, Bintang Medan, Batavia Union, Semarang United dan Bali Devata yang cukup mengundang daya tarik.