Salam Sepakbola Bangkit!!!
Liga Primer Indonesia (LPI), seringkali dikait-kaitkan dengan Arifin Panigoro dan dianggap sebagian orang merusak tatanan sepakbola Indonesia.  Bagaimana runut ceritanya, Ane akan coba sampaikan dalam artikel "LPI, REVOLUSI YANG TERLALU SINGKAT DI WAKTU YANG BELUM TEPAT", yang Ane angkat dalam 3 seri,dan  Ane dapatkan dengan menyarikan informasi dari berbagai sumber.  Pada seri pertama ini, Ane akan memaparkan sejarah dan latar belakang lahirnya LPI.
KEGAGALAN PENGURUS PSSI ERA 2007-2011
Kegagalan Indonesia Super League dalam menaikkan mutu sepakbola Indonesia, serta kegagalan pengurus PSSI di bawah nahkoda Nurdin Halid dalam memberikan prestasi bagi sepakbola Indonesia, dan masih ditambah dengan berbagai masalah, kasus dan kebobrokan yang terjadi di sana-sini, membuat sebagian besar pihak menginginkan adanya perubahan di persepakbolaan Indonesia.
Kegagalan pertama pengurus periode 2007-2011 adalah gagalnya kepengurusan Nurdin Halid diakui oleh FIFA. Â Meskipun Indonesia tidak dibekukan, tapi keberadaan Nurdin Halid sebagai ketum PSSI sempat tidak diakui FIFA selama 2 tahun, yaitu 2007-2009. Â Kegagalan berikutnya adalah hancurnya Indonesia di SEA GAMES dan AFF 2007, di mana Indonesia untuk pertama kalinya gagal lolos dari fase grup. Â Kegagalan berlanjut ketika kualifikasi Piala Asia 2011, Indonesia gagal lolos untuk pertama kalinya setelah sebelumnya 4 periode berturut-turut selalu tampil di putaran final Asian Cup 1996, 2000, 2004, 2007, tanpa sekalipun meraih kemenangan. Â Generasi Timnas Piala Asia 2007 yang digadang-gadang sebagai skuad yang terbaik yang pernah dimiliki di era modern, di antaranya ada Bambang Pamungkas, Firman Utina, Ponaryo Astaman, M. Ridwan, cs, kembali menanggung malu ketika di kualifikasi Piala Dunia 2010 babak 2, Timnas babak belur dihajar negara yang sepakbolanya kerap dibanned oleh FIFA akibat konflik politik di negaranya, Suriah dengan aggregat 11-1.
SEA GAMES 2009, prestasi Timnas tidak kunjung membaik, bahkan lebih buruk dari SEA GAMES 2007. Â Indonesia tidak hanya gagal lolos dari fase grup, tapi menjadi juru kunci grup tanpa satupun kemenangan di bawah Laos, Singapura dan Myanmar. Â Parahnya lagi Piala Suratin yang dianggap sebagai ajang menyaring bakat pemain muda dibubarkan demi project ambisius pribadi Nirwan Bakrie yang berlabel SAD di Uruguay. Â Project pribadi ini sebenarnya dibiayai oleh PSSI melalui sumbangan FIFA yang diselewengkan, dan sebagian besar pemainnya dibajak dari Liga Medco yang diinisiasi oleh Arifin Panigoro. Â Hadiah bagi juara Piala Suratin terakhir tahun 2009 sampai sekarang belum dibayarkan oleh pengurus PSSI kala itu.
Melihat gelagat yang semakin minor, pemerintah menggandeng beberapa pengamat dan praktisi sepakbola nasional berusaha memperbaiki situasi dengan mengadakan Kongres Sepakbola Nasional di akhir Maret 2010. Â Tapi, KSN dianggap angin lalu oleh pengurus PSSI era itu. Â Melihat semakin besarnya tekanan terhadap mereka, apalagi ternyata ISL mengalami kerugian besar pada musim 2008/2009 dan 2009/2010 akibat penalti dari pihak sponsor karena banyaknya pertandingan yang gagal digelar, plus project SAD yang tidak memperlihatkan hasil apapun, PSSI kala itu membidik AFF 2010 sebagai umpan untuk mengembalikan citra mereka.
Pertandingan pertama melawan Malaysia yang krusial dibeli, dengan janji Malaysia akan tetap lolos mendampingi Indonesia di fase grup. Â Skenario pertama berjalan mulus, Malaysia turun dengan sebagian besar pemain cadangan dan dihempaskan Timnas dengan skor 1-5, apalagi Thailand ternyata hanya mampu bermain imbang 2-2 dengan Laos di pertandingan sebelum Indonesia vs Malaysia dilaksanakan. Â Gelagat bahwa Indonesia membeli pertandingan melawan Malaysia adalah dari skuad yang mengisi line up Malaysia di pertandingan pertama dengan pertandingan-pertandingan berikutnya sangat jauh berbeda. Â Ini tidak terjadi di AFF 2012, di mana Malaysia bertekuk lutut lawan Singapura 0-3, skuad yang diturunkan pada pertandingan-pertandingan berikutnya sama.
Semifinal menghadapi Filipina, pengurus PSSI mencoba memanfaatkan konflik internal kepengurusan Filipina. Â Ya, saat bergulirnya AFF 2010, Filipina dilanda konflik dualisme kepengurusan, sehingga tidak mungkin menggelar pertandingan di kandang mereka. Â PSSI mengiming-imingi pengurus PFA dengan pembagian keuntungan penjualan tiket dan match fee, agar pertandingan bisa digelar di Indonesia dua-duanya. Â Sebelumnya Filipina mengumumkan akan menggunakan Hanoi, Vietnam, sebagai laga home mereka. Â Pengurus PSSI belum pede dengan kemampuan skuad Timnas jika bermain away, sehingga harapannya dengan menjadi tuan rumah, peluang Indonesia lebih besar untuk masuk ke final.
Sepanjang pelaksanaan AFF 2010 dijadikan ajang politisasi untuk partai politik dan pencalonan kembali Nurdin Halid, terbukti dengan banyaknya spanduk misterius bertemakan dukungan kepada Nurdin Halid dan kepengurusan era 2007-2011 serta statement-statement support tokoh dan partai tertentu. Â Disebut spanduk misterius karena tidak ada satupun kelompok suporter yang merasa membawa spanduk tsb. Â Selain itu, spanduk-spanduk berisi kritikan terhadap pengurus PSSI disweeping oleh pihak Panpel.
Selain itu, pencitraan terhadap pengurus PSSI era 2007-2011 adalah dengan adanya aksi penonton-penonton liar yang dibayar untuk mengantri tiket. Â Dengan adanya antrian yang mengular sampai ratusan meter, otomatis menggairahkan publik tanah air untuk ikut berpartisipasi memerahkan stadion GBK. Â Hasilnya memang mujarab, fanatisme penonton naik ratusan persen dari hari ke hari. Â Hal inilah yang kembali dilakukan oleh pengurus PSSI baru cap lama, sebagai ajang pembuktian (gengsi) bahwa mereka lebih diterima oleh publik tanah air daripada pengurus PSSI era 2011-2014. Â Padahal kalau melihat tim yang datang, seperti Belanda, Arsenal, Liverpool dan Chelsea, tidak perlu pengurus PSSI era baru cap lama, pengurus PSSI era 2011-2014 pun bisa mendatangkan jumlah penonton yang melimpah. Â Terbukti penonton yang datang adalah didominasi oleh suporter dari tim tamu.