Berbagi kesibukan yang harus dilakukan terkadang membuat kita sulit membagi waktu dengan tetangga. beruntung ada Pertemuan angota kerukunan masyarakat (RT/RW) yang mengharuskan berkumpul dengan berbagai kalangan, bercerita dari berbagai sudut pandang dan berdebat dengan berbagai kelas masyarakat. Layaknya sebuah simposium di hotel berbintang, terdapat pembicara dadakan dengan mengungkit separuh info mengenai topik yang ngetop, bahasan seputar warga bahkan menyentil gosip prostitusi artis yang tengah marak.
Bisa ditebak hasilnya sangat cair, atau dalam bahasa kaum intelektual “tidak intelek, asal njeplak, tanpa teori matang dan tanpa pemahaman komprehensif” tanpa topik utama dan tanpa konklusi yang jelas, kesepakatannya pun sebatas hisapan rokok, bertahan sebentar, saling mentertawakan dan dilupakan saat pulang, tapi tetap asyik dan menghibur.
Tidak tahu kenapa di tengah pembicaraan yang tanpa juntrungan tiba tiba menyeruak topik koperasi, berawal dari keruwetan mengurusi koperasi RT sampai berkembang menggunjingkan koperasi tingkat daerah (kasus di beberapa institusi kapubaten) sampai membicarakan teori asal tentang koperasi masa depan. Intinya tetap sesuai kelas pemikiran mereka ingin koperasi yang pengurusnya jujur, lalu lintas keuangan transparan dan yang paling urgent mereka ingin ada koperasi besar, profesional layaknya mart mart tetangga yang berdiri megah di sekitar perumahan.
Saya berfikir mungkin sesederhana itu juga keinginan dan harapan masyarakat terhadap Koperasi, tidak neko neko, ingin yang biasa saja, familier, tidak mengenal istilah yang sulit apalagi sampai tingkat pertumbuhan ekonomi, ekonomi makro ataupun hal lain yang susah dimengerti.
Di titik ini saya teringat konsep tokoh koperasi p Sularso yang berkedudukan sebagai Ketua Dewan Pakar Dekopin Pusat (kalau saya cerita di tingkat warga pasti mereka bingung lagi dengan istilah Dekopin) bahwa koperasi itu jangan mempersulit anggota, konsep sederhana dan bisa dipahami semua orang (dari berbagai kalangan). Jadi semua orang nyaman berbicara koperasi seperti asyiknya bergosip tentang kenaikan sembako, naiknya listrik, BBM dan isu masyarakat lain. Sehingga bagaimana rakyat kecil merasa memiliki koperasi sebagai bagian dari keterpihakan sistem ekonomi koperasi (yang terus bermimpi menjadi soko guru perekonomian rakyat).
Berkaca dari membicarakan gosip koperasi di tingkat “warga kelas biasa” dengan konsepsi berbagai pemikiran, kepentingan dan kelas masyarakat, ternyata hanya sekedar pembicaraan santai pun akan sangat merepotkan, di satu sisi A meninjau dari sudut pemikiran sederhana sedangkan yang lain membidik sudut lain yang sangat berbeda. Diperlukan kearifan dari pemikir cerdas untuk menghormati dan memahami pemikiran lainnya. Pemikiran, kepentingan dan keselarasan sungguh diperlukan supaya semua merasa dihargai dan terjadi diskursus sehat yang mencerdaskan.
Untung ini hanya pertemuan sebentar, Saya tidak bisa membayangkan sebuah keruwetan intelektual dari sisi ngawur bercampur aduknya berbagai kalangan dan teori dalam sebuah wadah dalam waktu yang lama.
Mungkin itulah alasan kenapa om DN Aidit ketika berbicara koperasi tidakmenyarankan adanya perbedaan berbagai kepentingan dan kelas dalam sebuah perkumpulan koperasi....“koperasi harus dibangun di atas kesamaan kepentingan. Koperasi tidak bisa dibangun di atas himpunan kelas-kelas yang bertolak-belakang kepentingannya. Tuan tanah, tani kaya, tani sedang, dan tani miskin tidak bisa dihimpun dalam koperasi bersama. Kepentingan mereka jelas berlawanan. Begitu pula antara penguasa dan kaum buruh.
Mencoba menghimpun kelas-kelas yang berbeda kepentingan itu ke dalam sebuah koperasi, bukan saja menyebabkan kehancuran koperasi, tetapi membuka peluang bagi si kuat menindas yang lemah. (Peranan Koperasi Dewasa Ini ; 1963).
Saya tidak tahu apakah perlu dikaji ulang mengenai koperasi yang berisi kesamaan kepentingan atau kesetaraan. Pun Kalau isu ini dilemparkan ke komunitas koperasi yang ada tetap susah karena dalam bahasa orang cerdas banyak variabel yang bisa dibuat rumit dalam menentukan kesetaraan tersebut.
Karena kesetaraan berarti memperbandingkan dengan orang lain dengan pengayaan berbagai fokus variabel yang dalam bahasa Amartya Kumar Sen (tokoh yang sedang latah di kalangan intelektual) diistilahkan focal variabel yang katanya bisa digunakan untuk melihat kesamarataan sehingga evaluasi atas kesetaraan menjadi mungkin untuk dilakukan yang ujung2nya kita harus mulai dari pertanyaan kesetaraan atas apa (equality of what)
Kelumit sederhana ini hanya gambaran ilusi yang membayangkan sebuah institusi koperasi yang benar benar menjadi sebuah solusi dan familier di masyarakat, mengajak masyarakat melupakan trauma masa lalu atas suramnya cerita koperasi dengan kentalnya hegemoni pemerintah.
Bahwa sumber kekuatan koperasi adalah orang, anggota, masyarakat sederhana yang mungkin secara sosial hidup di desa sering dinilai sebagai kehidupan yang tenteram, damai, selaras, jauh dari perubahan yang dapat menimbulkan konflik. Basis kekuatan yang notabene masyarakat desa dan lekat dengan imaginasi : bodoh, lambat dalam berpikir dan bertindak, sulit menerima pembaharuan, mudah ditipu dan sebagainya. (Kesan semacam ini timbul karena sebagian masyarakat (kota) hanya mengamati kehidupan desa secara sepintas dan kurang mengetahui tentang kehidupan mereka sebenarnya. Redfield (Ifzanul, 2010:1).
Kenyataannya koperasi saat ini belum menjadi sederhana yang membuat nyaman kebanyakan orang, belum menjadi milik "kita" baru menjadi milik "mereka" yang penuh dengan teori berbasis keruwetan ilmu. Mungkin suatu saat koperasi benar benar menjadi milik berbagai kalangan sehingga koperasi menjadi keren karena "gue banget", Indonesia banget, soko guru yang tidak hanya menggurui tapi benar benar menjadi sistem perekonomian yang cair, bijaksana dan diterima bagi semua kalangan....semoga....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H