Ingat kasus Samuel Paty? Ia adalah seorang guru di Prancis yang dibunuh secara tragis pada bulan Oktober 2020, karena disebut menunjukkan karikatur nabi Muhammad dalam pelajaran mengenai kebebasan beragama. Setelah proses penyelidikan secara mendalam, ada fakta yang mengejutkan bahwa pelajar perempuan berusia 13 tahun yang menyatakan bahwa Samuel Paty meminta murid-murid yang beragama Islam untuk keluar kelas ketika mata pelajaran itu berlangsung, ternyata berbohong.
Proses investigasi menghasilkan sebuah temuan bahwa ia tidak berada di kelas saat pelajaran tersebut berlangsung. Temuan ini sangatlah mengejutkan karena kebohongan yang dilakukan oleh anak ini mengakibatkan ayahnya murka sehingga melakukan gugatan hukum, menyulut kampanye kebencian di media sosial dan bertukar pesan dengan teroris yang mengakhiri hidup Samuel Paty.
Pertanyaan yang menggeliat adalah mengapa anak perempuan ini berbohong? The Guardian menuliskan bahwa penyebab ia berbohong adalah karena menderita “Inferiority complex” dan merupakan anak yang sangat patuh terhadap ayahnya. Selain itu, ia merasa ditekan oleh teman-teman sekelasnya untuk menjadi juru bicara.
Nampak bahwa anak perempuan ini berusaha melindungi dirinya dan menghindari masalah yang lebih besar bagi dirinya. Anak perempuan ini tampak ketakutan dengan tekanan dari kawan-kawannya sehingga ia memilih mengikuti keinginan mereka dengan berbohong. Mungkin pada saat itu, ia berpikir, “Ketimbang aku memperoleh sesuatu yang buruk karena tidak menuruti keinginan mereka, maka tak apalah aku berbohong.”
Ketakutan dan keinginan untuk tidak celaka menjadi dasar pengambilan keputusannya untuk berbohong dan meneruskan kebohongannya. Namun, nasi sudah menjadi bubur, sudah ada korban jiwa atas kebohongan yang anak perempuan ini semburkan. Nasibnya saat ini ditentukan oleh persidangan demi persidangan.
Kisah ini memberikan pelajaran yang berharga. Anak perempuan ini, bisa jadi adalah kita. Kita bisa saja mengutuki tindakan anak perempuan ini, tetapi sebelum itu berlanjut kita perlu introspeksi dahulu sebab kita juga memiliki kecenderungan untuk berbohong. Minimal pernyataan saya didukung oleh riset yang ditulis oleh Robert Feldman. Dalam penelitiannya ia menuliskan bahwa setiap sepuluh menit pembicaraan ada 3.3 kebohongan yang terucap.
Tulisan James Bryan Smith tampaknya bisa memberikan penjelasan dibalik hasil riset yang Feldman. Menurutnya, hal tersebut dilatar belakangi oleh konsep yang ada dalam diri kita. Tanpa sadar kita adalah penganut konsep utilitarian. Kira-kira konsep ini menyatakan demikian, “Saya ini penting, dan apa yang baik bagi saya adalah yang utama. Ada kalanya saya harus berbohong untuk mendapatkan apa yang saya inginkan atau terhindar dari sesuatu yang buruk. “
Di dasarkan pada pendapat Smith, kita adalah penganut utilirianisme, yang mencari kebaikan untuk diri sendiri, sehingga bohongpun tidak apa, yang terpenting kebaikan kita rasakan.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Balik ke dalam cerita kebohongan yang dilakukan oleh perempuan berusia 13 tahun yang menyebabkan kematian Samuel Patty. Kisah ini menunjukkan bahwa kebohongan itu berbahaya. Jadi, kita harus mengganti konsep kita dengan pernyataan demikian,”Kebohongan tidak akan membawa kebaikan bagi diri kita. Kalaupun membawa kebaikan itu hanyalah bersifat sementara.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H