A. PENGEMBANGAN DIRI
Perkembangan kognitif selama usia pertengahan ini, termasuk masa anak yang memungkinkan untuk mengembangkan konsep diri mereka dengan lebih kompleks dan mencapai pemahaman serta kontrol emosi diri.
1. Pengembangan Konsep Diri: Sistem Representasi
Sistem Representasi ini dalam istilah neo-Piagetin, tahap ketiga dari pengembangan definisi diri dikarakteristikkan dengan perluasan, keseimbangan, dan penilaian beragam aspek dari diri.
Anak pada masa akan mengetahui perubahan gambar pada dirinya artinya konsep diri mulai berkembang. Pada saat ini penilaian terhadap diri sendiri menjadi lebih penting, realistis dan seimbang anak usia ini menyadari bahwa dia bisa menjadi pintar di mata pelajaran tertentu dan bodoh pada pelajaran tertentu. Dia dapat membandingkan dirinya yang nyata dengan dirinya yang idealserta dapat menilai sebera baik dia menukur standar sosialnya dibandingkan dengan yang lain. Semua perubahan tersebut memeberikan konstribusi pada perkembangan harga dirinya, penilaiannya mengenal nilai dirinya secara keseluruhan.
2. Harga Diri
Menurut Erikson (1982), faktor utama yang menentukan harga diri adalah pandangan anak-anak terhadap kapasitas nya untuk kerja produktif. Tahap keempat dari perkembangan psikososial adalah pada industry v inferiority (kera keras lawan harga diri) yakni anak harus belajar menghasilkan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan di budaya mereka atau menghadapi perasaan rendah diri.
Kebaikan yang mengikuti hasil keputusan yang baik pada tingkat ini. Pandangan diri terhadap kemampuan untuk menguasai ketrampila dan menyelesaikan tugas.
Orang tua dalam hal ini sangat berpengaruh, yakni meyakinkan seorang anak terhadap kompetensi. Dalam studi longitudinal sebanyak 514 anak dari keluarga anak kelas menengah di Amerika serikat orang tua meyakini akan kompetensi yang dimiliki sang anak pada bidang matematika dan olahraga berasosiasi dengan sangat kuat dengan keyakinan anak (Fredricks & Eccles, 2002).
3. Perkembangan Emosional Dan Perilaku Prososial
Pada anak usia ini dapat dengan mudah mengenali dan lebih sadar terhadap apa yang dimilikinya, dan perasaan individu lain. Mereka dapat mengatur dan mengontrol dengan baik emosi dan dapat merespon emosi distres pada orang lain.
Diusia 7-8 tahun anak secara khusus peka terhadap perasaan malu dan bangga dan mereka memilki pandangan yang jelas tentang perbedaan antara rasa bersalah dan malu (Harris, Olthof, Meerum, Terwogt Hardman, 1987; Olthof, Schouten, Kuiper, Stegge, & Jennekens-Schinkel, 2000).
Di pertengahan masa anak-anak mulai menyadari aturan-aturan budaya mereka tentang ekspres yang diterima (Cole dkk, 2002) dimasa ini anak belajar tentang apa yang membuat mereka marah, malu, takut dan sedih. Anak juga mempelajari bagaimana orang lain mengekspresikan emosi tersebut seta mereka belajar berlaku sesuai budaya.
Regulasi diri melibatkan usaha penuh mengontrol emosi, atensi, dan perilaku. Anak dengan usaha kontrol yang rendah cenderung gampang emosi dan frustasi ketika di cegah melakukan hal-hal yang mereka lakukan. Sebaliknya, anak dengan usaha yang tinggi dapat dengan mudah meredam dorongan yang menunjukkan emosi negatif pada waktu yang tidak tepat. Semua itu dipenagruhi oleh temperamen yang dimillki seorang anak (Eisenberg, dkk, 2004).
Anak cenderung lebih berempati dan cenderung lebih bisa berperilaku prososial di pertengahan masa anak ini. Simpati empati memeperlihatkan “program” dalam otak normal sama dengan orang ewasa. Semua itu dihubungkan dengan pengaktifan prefontal pada anak berusia 6 tahun (Light dkk., 2009). Studi terbaru menyatakan tentang aktivitas otak anak pada usia 7-12 tahun ini menemukan bagian otak yang aktif ketika ditunjukkan gambar orang yang kesakitan (Decety, Akitsuki, & Lahey, 2009).
Anak-anak yang mempunyai harga diri tinggi cenderung menjadi lebih ingin menjadi relawan untuk orang lain. Sedangkan anak yang memiliki perilaku prososial cdenderung bertindak sesuai dengan situasi sosial, membebaskan diri dai emosi-emosi negatif dan mengatasi masalah secara konstruktif (Eisenberg, Fabers & Murphy, 1996).
B. ANAK DALAM KELUARGA
Anak pada usia lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk berkunjung dan bersosialisasi dengan sebayanya dari pada ketika mereka lebih muda.
1. Suasana Keluarga
Untuk memahami dalam keluarga, kita perlu melihat lingkungan keluarga yang merupakan atmosfer dan struktur. Hal ini berasal dari suasana dalam rumah. Faktor konstribusi lainnya adalah bagaimana orang tua mengatasi apa yang dibutuhkan anak usia sekolah dan kemampuan untuk membuat keputusan mereka sendiri. Maka aspek lain yang juga memengaruhi ialah situasi ekonomi keluarga mereka. Hal ini berdampak pada beberapa masalah orang tua yakni:
a. Pekerjaan Orang Tua
Hubungan pekerjaan orang tua pada kesejahteraan anak kebanyakan faktornya dari pekerjaan seorang ibu. Pekerjaan ibu akan mengganggu perkembanga psikososialnya seorang anak juga dikerenakan dari beberapa faktor. Diantaranya ialah:
- Faktor usia anak
- Jenis kelamin
- Temperamen dan kepribadian pada anak
Bagaimana pekerjaaan seorang akan berpengaruh pada anak-anak nya karena bergantung pada seberapa banyak orang tua atau ibu tersebut dapat memberikan waktu dan energinya untuk mengawasi dan mengasuh anaknya. Faktanya saat ini banyak orang tua yang menitipkan anaknya pada pengasuhan luar atau kerabat dekatnya dari pada meninggalkan pekerjaan demi sang anak. Namun tidak dapat dipungkiri lagi masalah ekonomi lah yang membuat seperti itu.
b. Kemiskinan dan pengasuhan
Kemiskinan dapat membahayakan perkembangan anak melalui dampak dari kondisi ekonomi orang tua dan gaya pengasuhan yang diberikan oleh keluarga.
Orang tua yang hidup dalam kemiskinan menjadi cemas, depresi, dan mudah tersinggung serta akhirnya kurang menunjukkan kasih sayang dan responsif pada anak.
2. Struktur Keluarga
Keluarga yang tidak stabil mungkin lebih membahayakan bagi anak dibandingkan tipe keluarga tertentu tempat mereka hidup. Dalam sebuah studi dengan menggunakan sampel nasional, anak yang berusia 4-14 tahun, yang memilki pengalaman beberapa kali dalam keluarga peralihan (contohnya, pindah rumah, orang tua yang bercerai) cenderung lebih memiliki masalah perilaku dan terjebak dalam kenakalan perilaku daripada anak dalam keluarga yang stabil (Fomby & Cherlin, 2007).
a. Ketika orang tua bercerai
Menyesuaikan diri pada perceraian sangat membuat stres pada anak. Pertama tentang stres pernikahan kemudian perpisahan orang tua dengan kepergian salah satu orang tua, biasaya ayah. Anak bisa jadi tidak sepenuhnya memahami permasalahan apa yang terjadi.
Standar keluarga menjadi turun, dan jika orang tua pergi, hubungan anak dengan orang tua asuh akan membuat derita (Kelly & Emery,2003).
Hak asuh, kunjungan dan pengasuhan bersama anak mnjadi lebih baik setelah perceraian jika orang tua memiliki hak asuh hangat, penuh dukungan, otoritatif, mengawasi aktivitas anak, dan memilki harapan seseuai usia.
Hak asuh bersama, pengasuhan dibagi untuk kedua orang tua, bisa menjadi untung ketika orang tua dapat bekerja sama. Dan kenyataannya, anak dalam pengasuhan bersama memiliki penyesuaian yang baik sama seperti anak dari keluarga yang tidak bercerai. memiliki harga diri yang tinggi serta hubungan keluarga yang jauh lebih baik dari pada pengasuhan seorang diri.
b. Tinggal dalam keluarga dengan salah satu orang tua
Anak dalam keluarga orang tua tunggal melakukan semua hal dengan baik, namun cenderung tidak lancar dalam urusan sosial dan pendidikan dibidang kelompoknya yang tinggal dengan orang tua (Amato, 2005).
c. Tinggal dengan keluarga tanpa pernikahan
Keluarga tanpa pernikahan memiliki cara-cara yang sama dengan keluarga yang menikah, tapi orang tua cenderung lebih memilki banyak kekurangan (Mather, 2010). Secara tradisional mereka cenderung kurang pemasukan dan pendidikan, hubungan keluarga yang sangat kurang, dan lebih banyak memiliki masalah kesehatan mental.
d. Tinggal dengan keluarga tiri
Penyesuaian dengan orang tua tiri yang baru mungkin situasi yang penuh tekanan. Bagaimanapun, sebuah studi telah menemukan bahwa anak laki-laki yang sering kali terlibat dalam masalah dibandingkan anak perempuan untuk penyesuaian diri setelah perceraian dan tinggal dengan ibu tunggal.
e. Tinggal dengan keluarga gay tau lesbian
Anak yang tinggal dengan keluarga yang seperti ini dalam hal fisik, emosional, penyeuaian, kecerdasan, kepekaan diri, penilaian moral dan sosial, serta fungsi-fungsi seksual tidak ditemukan kekhawatiran apapun (APA, 2004b). Tidak ada perbedaan yang konsisten antara orang tua homoseksual dan heteroseksual dalam kesehatan emosi atau kemampuan pengasuhan, serta sikap. Dan kalaupun ada perbedaaan, mereka cenderung menyukai orang tua gay atau lesbian Brewaeys, Ponjaert, Van Hall, & Golombok, 1997).
3. Hubungan Dengan Saudara kandung
Hal ini terjadi pada anak usia 7 dan 9 tahun. Hubungan saudara kandung dapat menjadi laboratorium untuk revolusi konflik. Saudara kandung termotivasi untuk baikan kembali setelah bertengkar.
Saudara kandung akan memengaruhi satu sama lain, tidak hanya secara langsung melalui interaksi tapi juga, secara tidak langsung. Yakni melalui dampak hubugan mereka masing-masing dengan orang tua.
C. ANAK DALAM KELOMPOK SEBAYA
Dimasa pertengahan anak, teman sebaya menjadi identitasnya. Anak-anak bermain bersama serta sering kali terdiri dari ras atau etnis serta kondisi sosial yang sama.
1. Dampak Positif Dan Negatif Dengan Teman Sebaya
Mereka mengembangkan ketrampilan yang diperlukan dalam hubungan sosial dan intimasi. Serta memupuk rasa memiliki. Mereka termotivasi untuk saling mencapai dan memperoleh identitasnya. Mereka belajar kepemimpinan dan ketrampilan berkomunikasi, bekerja sama, beragam peranan dan aturan.
Disisi negatifnya, kelompok sebaya bisa jadi memperkuat prasangka, sikap kuran baik terhadap kelompok diluar dirinya. Prasangka dan diskriminasi dapat mengahancurkan. Kelompok juga dapat menumbuhkan kecenderungan antisoasial.
2. Popularitas
Sangat penting dalam masa pertengahan anak. Popularitas dapat diukur dengan menggunakan dua cara dan hasilnya dapat berbeda. Peneliti mengukur popularitas sosiometrik dengan bertanya pada anak-anak teman sebaya yang mana paling mereka sukai atau tidak. Berikut ini status kelompok sebaya yaitu populer, diabaikan, diterima, kontroversial serta rata-rata.
3. Persahabatan
Persahabatan yang kuat memiliki komitmen yang saling memberi dan menerima, meskipun anak-anak cenderung memilih teman dengan latar belakang etnis yang sama. Memiliki teman sebaya sangatlah penting karena penolakan sebaya dan tidak memiliki teman dimasa pertengahan akan memberikan efek negatif jangka panjang.
4. Agresi dan penindasan
Agresi menurun dan berubah bantuknya selama masa awal sekolah. Setelah anak usia 6-7 tahun kebanyakan anak menjadi kurang agresif, tidak agrosentris, lebih berempati, lebih kooperatif dan lebih baik dalam hal berkomunikasi. Mereka dapat menyesuaikan dengan lingkungan mereka dengan baik.
KESEHATAN MENTAL
gangguan mental pada anak adalah penting karena gangguan ini dapat mengarahkan pada gangguan mental yang cukup parah.
1. Masalah-masalah emosional yang umum terjadi
Gangguan tingkah laku yang yang mengganggu ini merupakan temperamen tantrum (pemarah) dan penyimpangan, argumentatif yang terjadi pada usia 4-5 tahun. Untuk masa pertengahan anak akan sedikit terkontrol emosinya. Ketika pengontrolan tersebut tertahan diusia 8 tahunan anak laki-laki biasanya disiagnosis dengan bentuk-bentuk dari pertentangan, ketidakpatuhan, dan permusuhan terhadap otoritas orang dewasa.
2. Depresi masa anak ialah gangguan suasana hati yang terjadi melebihi kenormalan, kesedihan sementara
3. Teknik penanganan
Dapat dibentuk melalui
a. psikoterapi individual yakni perawatan psikologis yang terapis nya melihat individu yang bermasalah satu demi satu.
b. Terapi keluarga yakni terapis melihat seluruh anggota keluarga untuk mengumpulkan untuk menganalisa bentuk-bentuk fungsi keluarga.
c. Terapi perilaku yakni pemdekatan terapis yang menggunakan primsip-prinsip teori belajar untuk mendorong perilaku yang diinginkan, atau mengeliminasi perilaku yang tidak diinginkan disebut juga modifikasi perilaku.
d. Terapi seni yakni pemdekatan terapi yang mengizinkan individu mengekspresikan perasaan yang bermasalah tanpa kata-kata, menggunakan beragam bahan seni dan media.
e. Terapi bermain yakni pendekatan terapi menggunakan permainan untuk membantu anak-anak mengatasi kesukaran emosi akibat stres.
f. Terapi obat-obatan yakni penggunaan obat-obatan untuk mengobati gangguan emosi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H