Mohon tunggu...
Vivus Vici
Vivus Vici Mohon Tunggu... -

Damnant quod non intellegunt.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Benarkah Telfon SBY Disadap?

2 Februari 2017   22:30 Diperbarui: 3 Februari 2017   00:12 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini publik kembali heboh oleh karena pernyataan tim pengacara Basuki Tjahya Purnama di persidangan ke 8 kasus dugaan penistaan agama bahwa mereka mengetahui adanya percakapan via telpon antara SBY dengan ketua MUI Kyai Ma'ruf Amin. Banyak pihak segera bersuara, khususnya dari orang-orang Demokrat dan lawan politik Basuki Tcahya Purnama, dan menyimpulkan bahwa info itu diperoleh dari sadapan telpon.

Ketika pertama kali mendengar berita ini, saya mencoba bernalar, "apakah karena si A tahu bahwa si B pernah nelpon pada si C, lantas disimpulkan si A memperoleh info itu dari sadapan?" Orang-orang yang mengerti ilmu logika tentu tidak akan menyimpulkan demikian. Sebagai contoh, jika ada pernyataan, "jika hujan tanah basah", lalu ada pernyataan kedua bahwa "tanah basah", apakah boleh disimpulkan bahwa "tanah itu basah karena "hujan"? Belum tentu. Bisa saja tanah basah karena hal lain, misalnya karena pipa air bocor dll. 

Begitu juga, "penyadapan memingkinkan seseorang mengetahui isi telpon orang lain", dan "tim pengacara BTP mengetahui adanya telpon antara SBY dan Kyai Ma'ruf Amin", apakah lantas boleh disimpulkan "tim pengacara BTP mengetahui karena penyadapan"? Ya tidak demikian, cara kerja logika tidak begitu. Sesuatu tidak boleh disimpulkan mutlak jika belum ada bukti mutlak ke arah itu. Namun anehnya masyarakat digiring oleh berita-berita seolah itulah yang mutlak terjadi, bahwa penyadapan itu terjadi.

Namun, membaca salah satu berita online berjudul "SBY Akui Ada Pembicaraan Telpon dengan Ketua MUI", semakin menguatkan dugaan saya bahwa kesimpulannya bukanlah mutlak karena penyadapan. Di salah satu paragraf dikatakan:

"Dalam jumpa pers di Wisma Proklamasi, Jakarta, Rabu (1/2), SBY mengatakan pembicaraan telepon itu dilakukan tidak secara langsung, melainkan menggunakan telepon seluler milik seorang staf yang berada di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pembicaraan yang dilakukan hanya seputar pertemuan PBNU dengan pasangan calon gubernur/wakil gubernur Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung SBY, dengan Sylviana Murni tanggal 7 Oktober 2016. "Ada staf yang di sana dengan handphone yang bersangkutan menyambungkan percakapan saya dengan Pak Ma'ruf Amin yang kaitannya seputar pertemuan itu," kata SBY." (Sumber)

Kutipan ini memberi kita dua informasi menarik:

1. Bahwa telpon yang digunakan adalah milik seorang staf, sehingga ini sudah menggugurkan pernyataan/kesimpulan sebagian orang bahwa telpon SBY disadap, sebab jelas bahwa yang dipakai bukan telpon SBY.

2. Bahwa yang hadir dan mengetahui pembicaraan itu bukan hanya SBY seorang, melainkan ada staf yang memiliki handpone tadi, dan sangat mungkin ada staf/orang lain di sana, mengingat pembicaraan ini terjadi bukan di rumah privasi SBY, melainkan di "kantor PBNU".

Berdasarkan informasi di atas, harusnya kita tidak perlu lagi memperdebatkan apakah telpon SBY disadap, sebab berdasarkan poin 1 kesimpulannya sudah jelas bukan ke arah itu. Lantas bagaimana dengan poin 2? Analisa sementara saya, mengingat yang hadir dan mengetahui pembicaraan itu bukan hanya SBY, maka ada kemungkinan bahwa salah satu dari yang hadir di kantor PBNU itulah yang mengiformasikan ke pihak pengacara BTP bahwasanya ada percakapan via telpon antara SBY dan Kyai Ma'ruf Amin. Namun masih terbuka kemungkinan lain.

Tentu, yang paling bertanggung jawab meluruskan hal ini adalah pihak BTP sebagai pihak yang pertama kali menyinggung hal ini.

Tetapi yang penting, kita hendaknya selalu mengedepankan logika dalam menganalisa agar tidak langsung menyimpulkan secara mutlak pada satu hal (penyadapan), sementara masih terbuka kemungkinan lain. Apalagi tanpa bukti konkrit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun