Mohon tunggu...
Vivus Vici
Vivus Vici Mohon Tunggu... -

Damnant quod non intellegunt.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanggapan Tulisan "Indonesia Tidak Melulu Ahok atau Bahkan Jokowi"

29 November 2016   11:58 Diperbarui: 29 November 2016   12:17 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tertarik menanggapi beberapa pernyataan mas Imam Prasetyo (selanjutnya disingkat IP) dalam tulisannya dengan judul di atas (link http://www.kompasiana.com/imamprasetyo8/indonesia-tidak-melulu-ahok-atau-bahkan-jokowi_583cdc3c9a93734c05cbbfbc):

IP menulis:

"Sebuah bilangan yang luar biasa banyak untuk negara yang per hari ini masih tergeletak mendiskusikan hal-hal yang tidak relevan lagi."

Tanggapan:

Setuju. Dengan ditetapkannya Ahok sebagai tersangka, harusnya masalah sudah clear. Tinggal tunggu proses pengadilan, dan ini akan jadi pengadilan terbuka sehingga semua transparan. Jika terbukti bersalah, toh akan dipenjara. Jadi seharusnya tidak perlu lagi ada demo-demo, yang akan mengganggu stabilitas politik dan ekonomi. Dengan kondisi ekonomi negara yang seperti ini, harusnya hal-hal yang bisa memperburuk ekonomi dihindari. Memang dibutuhkan kebijaksanaan dari masyarakat. Janganlah agama dicitrakan sebagai sesuatu yang keras, kaku, tanpa ampun. Sebab itu justru akan merugikan agama sendiri. Bukankah petinggi-petinggi agama/ulama sedari awal juga mengajak untuk mengalihkan tuntutan dari lapangan hijau ke meja hijau? Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid "Perjuangan harus dialihkan dari jalanan ke persidangan, dari lapangan hijau ke meja hijau". Adanya demo-demo lanjutan yang membuat masalah terkesan berlarut-larut. Andai tidak ada demo, masyarakat akan tenang kembali. Sebab keadilan dituntut bukan melulu melalui demo, itu sebabnya ada wadah bernama "pengadilan".

IP menulis:

"Misalnya, jika seorang Ahok telah ditersangkakan maka ada baiknya langsung saja di tahan karena yang kita bicarakan adalah sebuah provinsi yang berisi jutaan manusia yang membutuhkan kepastian pengelolaan pemerintahan daerah"

Tanggapan:

Menurut saya mas IP mengabaikan dasar-dasar yang telah disampaikan Kapolri. Seorang yang menuntut penegakan hukum (jika memang murni menuntut penegakan hukum) harusnya juga menghormati si penegak hukum. Kalau abai dan mau menang sendiri, ya repot. Kapolri telah menjelaskan alasan kenapa Ahok tidak ditahan. Dua diantaranya, dan ini sangat solid, (1) tidak adanya suara bulat diantara para penyidik dan para ahli, dan (2) Ahok tidak akan melarikan diri.  Kenapa orang-orang lain yang menista agama ditahan, sedangkan Ahok tidak? Karena soal kasus orang-orang lain itu, penyidik dan ahli memutuskan dengan suara bulat. Juga karena orang-orang lain itu cuma orang biasa yang dengan mudah bisa melarikan diri, sedangkan Ahok masih gubernur, bagaimana mungkin ia melarikan diri! Lagi pula, sebagaimana diungkap Kapolri, ada aturan bahwa seharusnya seorang yang jadi calon kepala daerah tidak boleh ditersangkakan sebelum pilkada berlangsung.  Jadi apa yang dilakukan Polri jauh melebihi yang dilakukan Polri di jaman pemerintahan sebelumnya.

Disamping itu ada ketidakkonsisten dari mas IP: giliran soal Ahok dituntut penahanan, tapi giliran soal Buni Yani yang jadi tersangka ataupun Choel Mallarangeng yang sejak Desember 2015 ditetapkan sebagai tersangka namun hingga hari ini tidak ditahan, mas IP tidak bersuara. Tampak seperti standar ganda, bukan?

IP menulis:

"Bagi rakyat kebanyakan AHok adalah bencana sosial yang sebaiknya segera diselesaikan. Mumpung dalam masa pilkada maka ada baiknya "barang" satu ini disimpan saja sebagai cinderamata bahwa ke-bhinneka-an pernah dan telah menghasilkan ribut-ribut yang tidak perlu"

Tanggapan:

Pengertian 'rakyat kebanyakan' seperti apa? Apakah sudah ada survey yang akurat? Bahwa tidak ada demo yang menuntut Ahok tidak ditahan, tidak berarti bahwa tidak ada yang mendukung agar Ahok tidak ditahan. Justru menurut saya biarkan saja Ahok tidak ditahan, agar dia bisa mendapatkan haknya berkampanye, sehingga publik bisa menilai dengan jujur, jika benar rakyat DKI tidak menyukai Ahok, toh dia tidak akan terpilih.

IP menulis:

"Lalu sebaiknya pula mata kita sorongkan pandangannya kepada Jokowi, seseorang yang pernah sebuah majalah ternama diluar sana membuat sindiran halus dengan menyebutnya sebagai harapan"

Tanggapan:

Apakah mas IP punya bukti bahwa judul majalah Times itu adalah "sindiran"? Misalnya, bisakah tampilkan satu kalimat dari majalah itu yang menunjukkan demikian? Jika tidak, berarti mas IP hanya berimajinasi. Silakan berimajinasi, tetapi imajinasi bukanlah fakta di dunia nyata.

IP menulis:

"....karena dalam kurun dua tahunan Jokowi hanya menghasilkan begitu banyak seremonial yang nyaris tidak jelas juntrungannya"

Tanggapan:

Silakan mas IP menilai demikian. Tapi saya, dan sebagian besar rakyat, masih melihat Pak Jokowi pada koridor yang benar, beliau senantiasa mengontrol proyek-proyek di berbagai pelosok negeri; suatu pekerjaan yang tidak mudah jika tidak didasari niat tulus bekerja untuk rakyat. Adanya proyek triliunan yang mangkrak, seperti Hambalang misalnya, menurut saya karena tidak adanya kontrol yang ketat dari atas. Proyek terkesan asal gol saja.

IP menulis:

"Tuduhan makar dan seterusnya adalah output bagi seseorang yang gamang dengan prestasi yang pernah dia persembahkan untuk rakyat yang jumlahnya ratusan juta"

Tanggapan:

Itu bukan tuduhan, upaya itu benar adanya. Terlalu naif kalau tidak bisa melihat itu. Bukankah demo 411 kemarin berhasil disusupi sehingga ada kericuhan? Jadi mengapa hal sama tidak mungkin terjadi pada demo 212? Polisi menyatakan sesuatu tentu karena ada bukti. Tapi tipikal orang sakit hati memang akan begitu, selalu menilai negatif pihak lain, menganggap pihak lain hanya merekayasa (dan hanya mereka yang benar). Persis seperti Jonru yang dulu menilai peristiwa bom Sarinah hanya rekayasa polisi. :)

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun