"Dek, kak, kalau bunda mau kasih hadiah buat kalian, kira-kira kalian pengen dibelikan apa?" pertanyaan itu terlontar begitu saja setelah membaca tema event petasan kompasiana hari ketiga.
Si sulung, perempuan, 13 tahun
"Kakak mau paket skincare lengkap."
Si bungsu, perempuan, 10 tahun
"Oven listrik."
Saya tertawa, jawabannya mantap. Beda dari anak kebanyakan. Yang diminta bukan baju, sepatu apalagi alat tulis.
Kami (dan kita) masih menghadapi pandemi corona yang membuat kami stuck di rumah. Semua kegiatan di luar rumah stop sepanjang tahun 2020. Dari awalnya sangat ingin jalan -jalan di mall, makan di luar, bertemu teman hingga kemudian masuk saat new normal kami sudah merasa betah di rumah saja. Buat kami sekeluarga nge-mall itu belum boleh. Lah wong sekolah saja ditutup, kegiatan keagamaan diminimalkan mosok kami harus jalan - jalan. Keluar rumah hanya untuk keadaan darurat.
Si sulung yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan online 'teracuni' dengan iklan Instagram dan tik tok. Iming - iming punya wajah glowing bikin si sulung banyak merengek minta dibelikan serum wajah.
"Kulit kakak masih terlalu muda jangan dibiasakan pakai produk perawatan wajah. Kalau cuma muncul jerawat kecil itu wajar apalagi kalau lagi haid, hormonal saja."
"Ah, bunda gak ngerti."
Bagaimana mungkin si sulung bisa bilang saya tidak mengerti soal kulit remaja? Si sulung itu mudah tergiur dengan tren skincare padahal kulitnya termasuk normal, bersih. Cukup pakai pembersih wajah, pelembab dan bedak sudah menonjol kok cantiknya.
"Coba - coba skincare dikhawatirkan bisa mengakibatkan kulit jadi masalah, kak."
Si sulung belum mau menerima bantahan saya.
Oven listrik? Keinginan si bungsu ini sama seperti keluhan saya sewaktu mengeluarkan bolu yang dirasa kurang matang padahal waktu memasaknya sudah sesuai resep. Maklum saya sedang senang bikin cemilan, si bungsu asistennya. Oven tangkring yang ada dinilai kurang mumpuni memanggang roti dan bolu yang sedang gandrung kami lakukan. Si bungsu kelihatan senang membantu saya di dapur, masak, bikin camilan dan hasilnya pun dihabiskan meski bentuk dan rasa kurang sempurna. Mungkin besok si bungsu mau jadi chef? Mudah-mudahan saja. Berharap bakat memasak eyangnya menurun padanya. Eyang yang hasil masakannya selalu enak dan sempurna. Persis chef-chef di tivi. Yummy. Saya? Kalau dinilai masakan saya cuma dapat nilai tujuh, cukup (enak).
Tidak ada yang salah dengan pemberian hadiah. Memberi hadiah itu menyenangkan, pun dengan yang menerima. Ada kesan dan kenangan tersendiri. Memunculkan rasa cinta dan penghargaan. Pemberian hadiah tidak musti juga dilakukan di hari -- hari spesial seperti hari lahir, berbagi hadiah itu berbagi kebahagiaan. Tapi jangan sekali-kali menilai pemberian hadiah dari nilai materinya (harganya) tapi lihat kebaikannya. Dan catatan bagi pemberi hadiah adalah menyesuaikan pemberian dengan karakter penerima agar hadiah menjadi lebih manfaat. Syukur -- syukur hadiah itu memang betul - betul dibutuhkan.
Hmm..kalau saya yang ditanya hadiah apa yang saya mau saat ini, bingung jawabnya. Ah..iya berharap banyak teman berbagi tanamannya bisa menjadi hadiah hebat untuk saya. Hadiah yang akan jadi obat stress, pengisi waktu, menambah ilmu dan pengalaman karena harus mengurus tanaman itu baik-baik, mulai dari cara merawat sampai menambah media tanamnya secara berkala.
"Trus kapan bunda beliinnya?" tanya anak - anak lagi.
"Lah, kan bunda cuma tanya buat ide bikin tulisan."
"Aahh..," protes mereka.
Hihihi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H