Mohon tunggu...
Vivi Widya Susanti
Vivi Widya Susanti Mohon Tunggu... Guru - Khairunnas anfa'uhum linnas

Baru Belajar Nulis - Belajar Baru Nulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mewujudkan Generasi Emas, Tanggung Jawab Siapa?

15 September 2022   02:59 Diperbarui: 25 Maret 2023   08:21 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ketika konseling kelompok di salah satu cafe (Dokumentasi pribadi)

Well.. 

Kita mulai baris pertama dengan sebuah opini bahwa anak Indonesia saat ini sedang 'tidak baik-baik saja'. Jika Anda memiliki seorang anak yang saat ini berusia 13-18 tahun, maka tidak ada ruginya membaca catatan ini. Sebagai seorang Guru BK yang hanya berbekal background sarjana psikologi dan pengalaman 7 tahun di bidang rekrutmen dunia industri, saya mencemaskan Sumber Daya Manusia Indonesia untuk 15 - 25 tahun mendatang.

Ketika saya berada di posisi sebagai seorang praktisi HR (Human Resources), saya yang juga merupakan representatif dari sebuah perusahaan saat itu harus memiliki bekal berbagai kriteria untuk masing-masing jenis profesi yang berbeda-beda. 

Dari sana saya belajar bahwa memang tidak semua orang dilahirkan untuk hebat dalam semua hal dan semua bidang. Semua telah ditakar sesuai kemampuan. Semua akan dibobot berdasarkan tingkat kesulitan. Sesuai porsi. Pada beberapa perusahaan besar, nominal mengikuti 'porsi'.

Lalu beberapa tahun ini ketika saya beralih profesi menjadi seorang guru BK, konselor di sebuah sekolah tingkat pertama. Saya takjub. Saya sedang berada di mana akar permasalahan dari rusak atau tidak berjalannya sebuah sistem terbentuk. 

Anak-anak di fase usia remaja memiliki rentang usia 13-15 tahun. Fase di mana masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Fase di mana gelas-gelas kebutuhan harus terisi penuh. Jika tidak, mereka akan menggerogoti tatanan realita di saat tak terduga.

Anak-anak yang saya jumpai beberapa tahun terakhir adalah generasi yang memiliki rekam jejak lompatan ekstrim dalam lini waktu proses mereka bertumbuh. 

Pandemi, belajar online, generasi rebahan, tiktokers, gamers, netizen maha benar, dan istilah-istilah lain yang sangat baru dan masif. 

Saya tidak akan menggeneralisir apa yang saya jumpai sebagai fenomena umum. Namun harus disadari bahwa populasi yang saya temui juga merupakan bagian dari penggerak gerigi roda kemajuan Indonesia di usia emas di 2045 nanti. 

Anak-anak ini yang saat itu memasuki usia produktif 36 - 38 tahun akan berada di barisan terdepan penggerak perekonomian Indonesia, terlepas apapun profesinya. 

Apa yang dapat mereka lakukan saat itu jika hari ini yang mereka ketahui hanyalah dunia fiksi yang 24/7 ada di genggaman mereka. Oke, saya ralat, bukan fiksi, karena untuk sebagian orang semua itu 'nyata'. Sebutlah fantasi. 

Begitu nikmatnya ketika mendengar mereka bercerita, sepulang sekolah bisa langsung rebahan sambil scrolling FYP Tik Tok, reels Instagram, atau YouTube shorts. 

Melihat sekumpulan orang berjoget, seseorang yang menikmati berbagai jenis makanan dengan suara yang berlebihan atau mereka yang merekam perjalanan wisatanya dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Bersama anak-anak hebat (Dokumentasi pribadi)
Bersama anak-anak hebat (Dokumentasi pribadi)

Hanya dengan menggerakkan ibu jari, anak-anak ini sudah dapat melihat apa yang terjadi di luar sana, mulai dari tren yang muncul, gaya baru, kosakata baru. Lima menit. Satu jam. Setengah hari. Mereka seolah ikut merasakan apa yang mereka saksikan di layar kaca; di genggaman mereka. Tak beranjak. Acuh dengan sekelilingnya. Terbuai dengan visualisasi algoritma.

Sepertinya ada rasa puas akan banyaknya informasi baru yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui. Bahkan beberapa akan berlomba-lomba jadi yang tercepat untuk meneruskan informasi ini ke teman-temannya atau berlomba-lomba menuliskan komentar sesuka hatinya sesuai dengan kemampuannya mengolah kata. Like, dislike, bahkan hate speech. 

Beberapa bulan setelah tatap muka berjalan sebagian, ada laporan beberapa anak yang setibanya di sekolah terlihat kelelahan, mengantuk, lesu, dan mata sayu berkantung. Setelah dilakukan penelusuran, ternyata mereka semalaman begadang untuk mabar game online.

Apa pelajaran yang kita dapatkan dari fenomena ini?

Selain itu di sekolah, peran bapak dan ibu guru baru-baru ini juga kerap dibanding-bandingkan dengan mesin pencari seperti Google. Harus tahu ini. Harus bisa menjawab itu.

"Wong ko ngene kok dibanding-bandingke.. saing-saingke.. yo mesti kalah..", begitu kata Dik Farel.

Guru sekedar dipandang sebagai sumber informasi. Jika tidak tahu maka disebut kudet (kurang update). Jika kurang update biasanya dianggap gaptek (gagap teknologi). Tidak salah. Tapi perlu disadari, mereka adalah pendidik. 

Sejatinya pendidik adalah orang yang secara sadar membantu mengarahkan dan memberi gambaran kepada peserta didik sesuai dengan bidang keilmuannya masing-masing secara berkesinambungan. Tentu saja cara mengarahkannya akan berbeda-beda, tergantung dari kompetensi yang dimiliki setiap guru. 

Namun ternyata tidak sampai di situ, meskipun katakan seorang guru dianggap 'kurang maksimal', saya meyakini mereka akan selalu berusaha menyesuaikan diri dengan karakter peserta didik yang terus berubah setiap tahun ajaran berganti. 

Ini sudah tertulis pada Kode Etik Guru yang ditetapkan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sejak tahun 1971. Maka tugas pendidik tidak hanya menyampaikan informasi, melainkan memvalidasi mana informasi yang benar dan tidak benar atau apa value yang baik dan tidak baik. 

Ketika ada value tidak baik ditemukan pada anak didik, maka termasuk menjadi tugas guru untuk mengarahkan. Memberikan gambaran konsekuensi sebagai akibat dari perbuatan. Mengajari mereka pentingnya membuat keputusan. Melatih mereka memecahkan permasalahannya secara mandiri.

Jika masih ada yang menyebut bahwa Guru itu diGugu dan ditiRu. Maaf, dengan berat hati saya sampaikan bahwa gelar militan itu sudah diambil alih oleh para selebgram, tiktokers atau influencer di Youtube. Namun jika ada yang menyebut, "Guru tidak lebih tahu dari Mbah Google", saya sepakat. 

Guru itu manusia. Bukan mesin penyimpan data. Kita tidak akan mampu mengingat dan menjelaskan secara detail seluruh informasi di muka bumi. Tapi satu yang kita yakini. Googlepun tidak selalu mampu memberikan ketenangan hati ketika anak-anak sedang dalam masa krisis. Atensi. Empati. Pelukan seorang ibu. Hangat nasihat seorang ayah. Semua yang bisa dilakukan manusia. Semua yang bisa dilakukan seorang guru kepada anak didiknya. 

Jadi bagaimana peran guru dalam mempersiapkan generasi emas di tengah gempuran kontrol diri anak yang kebablasan?

You're the clue.

Benar.

Semua usaha yang dilakukan oleh guru disekolah tidak akan dapat berjalan dengan mudah tanpa peran dan dukungan orang tua di rumah. Bahkan peran saudara, paman, bibi, kakek, nenek pada anak yatim piatu sekalipun sangat berpengaruh terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan anak. 

Mereka butuh figur perempuan dewasa sebagai peran pengganti ibu yang bisa memberikan kasih sayang dan perhatian. Figur laki-laki dewasa sebagai peran pengganti ayah yang mampu menjadi bahu tempat mereka bersandar dan belajar bangkit menjadi manusia yang lebih kuat. Mereka membutuhkan itu. 

Awal mula mereka lebih tertarik atau memilih menggenggam smartphone daripada menggenggam tangan ayah dan ibunya adalah ketika 'gelas kebutuhan' mereka belum terpenuhi. Kebutuhan fisik seperti makanan yang sehat meski tidak harus mahal. Kebutuhan rasa aman dari segala perlakuan dan ucapan negatif di lingkungannya. Kebutuhan dicintai dan disayangi oleh orang di sekelilingnya. Serta kebutuhan untuk dihargai atas segala pencapaian-pencapaian kecil baik yang sengaja atau yang tidak sengaja mereka lakukan. 

Jika Anda membaca Teori Kebutuhan Maslow, maka pada puncak hierarki adalah sebuah fase di mana semua kebutuhan mendasar telah terpenuhi. Baru manusia akan mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai wujud pribadi yang siap menghadapi tantangan di luar. 

Seperti menikmati kegiatan yang menambah value diri, belajar hal/ilmu baru, mengimplementasikan ilmu ke dalam bentuk yang lebih nyata seperti karya atau bahkan mampu tampil dan berperan aktif secara positif sebagai bagian dari masyarakat.

ketika konseling kelompok di salah satu cafe (Dokumentasi pribadi)
ketika konseling kelompok di salah satu cafe (Dokumentasi pribadi)

Saya tidak sedang mendiskreditkan para orang tua. Masih banyak orang tua yang dengan sungguh-sungguh meluangkan waktu mereka untuk anak-anak, mendampingi belajar, memenuhi segala kebutuhannya, serta melibatkan mereka dalam diskusi keluarga. Namun anak-anaknya tetap saja ada yang ketagihan gadget. 

Pahami, setidaknya gelas mereka telah terpenuhi. Mereka tidak harus mencari perhatian di sosial media. Mereka tidak harus mencari pengakuan pencapaian dari lawan mabar sampai berhari-hari hingga mempengaruhi motivasi berprestasi mereka di sekolah.

Bagaimanapun juga membangun karakter generasi emas yang positif bukan hanya tanggung jawab guru di sekolah, perlu uluran tangan para orang tua, masyarakat dan juga pemerintah dalam bahu membahu menyelamatkan putra-putri bangsa. Meskipun mereka tidak tumbuh untuk kita. Mereka tumbuh untuk negara ini. Mereka tumbuh untuk peradaban dunia yang lebih baik lagi.

Blitar, 15 September 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun