Mohon tunggu...
Nurfitrah T
Nurfitrah T Mohon Tunggu... lainnya -

The author of novel: WAJAH KEDUA (Feb, 2013), FALLEN (Oct, 2013)\r\n\r\nemail: lepas.penulis@yahoo.co.id\r\ntwitter: @Vivit_2703

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Laralova (4)

5 Juli 2013   20:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:57 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERMAINAN HIDUP

Aku duduk di depan jendela kamar, memandang keluar tanpa berpikir apapun. Beberapa kali aku menarik napas dalam-dalam sekadar melegakan beban hatiku. Sudah satu minggu berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu. Aku masih nggak percaya semua itu menimpaku.

Rumah ini sekarang sepi. Cuma aku dan Bianca, juga dua orang pengurus lainnya. Aku nggak tahu langkah apa yang harus kulakuan selanjutnya? Pulang ke Mainz? Ikut paman Mark? Nggak bisa. Aku nggak mau. Aku nggak begitu mengenal mereka. Lagipula terkendala bahasa yang nggak aku kuasai. Kurasa aku bakal merepotkan keluarga paman di sana. Tapi kalau nggak ke sana, mau ke mana lagi?

“Nona Isabell.”

Aku dengar panggilan lembut Bianca tapi aku nggak ingin menjawabnya.

“Nona?” ulang Bianca.

Kali ini Bianca menyentuh pundakku. Aku mendongak dan mendapati wajah sendu Bianca sedang menatapnya.

“Non, ayo makan.”

Aku menggeleng, “Aku nggak lapar.”

“Ayolah, Non. Kalau nggak Nona bisa sakit.”

Aku memalingkan wajah ke jendela. “Sudah satu minggu aku nggak sekolah ya, Bi? Padahal seminggu lagi aku ujian.”

“Non, jangan mikir itu dulu. Yang penting Non Isabell makan.”

Aku nggak lapar. Benar-benar nggak lapar. Kalau boleh dibilang, aku depresi. Ya, walaupun aku nggak pernah periksa ke Psikiater, tapi aku tahu aku lagi depresi, stress, atau apapun itu yang menyedihkan dan menyakitkan.

“Bianca,” pandanganku tetap menerawang jauh keluar jendela.

“Ya, Non?”

“Bianca nggak meninggalkanku juga?”

Bianca menghela napas, “Tentu tidak, Non. Selama Non Isabell masih memerlukan saya, saya pasti ada kok.”

Aku tertunduk. “Aku masih memerlukan mereka, tapi kenapa mereka pergi gitu aja?”

Tubuhku mulai terguncang. Airmata mulai mengalir lagi di pipiku. Buru-buru Bianca berlutut di depanku, menyapu airmata yang mengalir. Wajahnya ikut sedih dan mata tuanya juga terlihat berair.

“Nona, jangan begini terus. Saya masih ada dan siap membantu kapanpun.”

Aku nggak menjawab, hanya merentangkan tangan lalu memeluk Bianca. Di dalam pelukannya, Bianca mengelus punggungku dengan lembut.

“Jangan terus-terusan bersedih, Non. Nona Isabell masih punya saya, masih punya Tuan Weber yang menyayangi Nona seperti anak sendiri.”

Keluarga Weber? Aku menarik tubuhku dari pelukan Bianca. Aku  menatap nanar wajahnya. “Keluarga Weber sejak pemakaman nggak pernah ke sini lagi, Bianca. Gimana kamu bisa bilang dia menyayangiku?”

Bianca hanya diam. Aku pandangi dia dan teringat akan nasibnya dan beberapa pengurus rumah lainnya. Gimana aku bisa menggaji mereka sekarang? Aku nggak ngerti segala urusan tentang uang yang dikelola Papah dan Mamah. Ya Tuhan, ternyata aku benar-benar sendirian sekarang.

“Bi….”

“Iya, Non?”

“Kayaknya Bianca dan pengurus lainnya nggak usah kerja di sini lagi deh. Aku nggak bisa menggaji kalian semua. Aku….”

“Non, bukankah tadi saya bilang, saya tidak akan meninggalkan Non Isabell. Mau digaji atau tidak saya tetap di sini,” potong Bianca.

Aku terharu sama ucapannya. “Itu Bianca. Tapi gimana dengan yang lainnya? Aku terpaksa memecat mereka. Kasihan mereka. Kalau nggak ada kerjaan mereka bisa…,”

“Sstt, sudah jangan dipikirkan, Non. Yang penting Nona makan dulu,” Bianca mengelus punggungku beberapa kali.

“Nggak ah, Bi. Aku pengen keluar sebentar. Makan di luar. Mungkin suasana di luar bisa meringankan pikiranku.”

Aku berdiri mendekati lemari pakaianku. Mencari baju ganti buat keluar rumah.

“Perlu saya temani, Non?”

Aku berhenti sebentar dan menoleh ke arah Bianca, lalu mencoba tersenyum padanya.

“Nggak, Bianca. Aku pengen sendirian.”

“Nona yakin?”

Aku mengangguk. Lalu mengalihkan perhatian ke dalam lemari lagi dan mulai memilih pakaian.

“Baiklah. Saya keluar dulu. Jika berubah pikiran, Nona bisa memanggil saya.”

Bianca beranjak keluar dari kamarku. Sementara itu, aku juga sudah dapat pakaian yang aku pengen. Aku buru-buru mengganti pakaian yang kukenakan dengan t-shirt dan jeans hitam. Nggak ngerti juga sebenarnya aku keluar mau makan apa. Aku cuma pengen cari udara segar di luar setelah semingguan mengurung diri di rumah.

Kemudian aku ingat Nayla. Sudah lama nggak ketemu dia sejak duka itu datang. Kuputuskan buat nelepon dia dan pergi ke rumahnya aja. Aku mengangkat telepon yang ada di sebelah tempat tidurku dan memutar nomor hape Nayla.

“Halo, Nay....”

“Isabell? Lo baik-baik aja kan?”

“Iya, gue nggak apa-apa. Gimana kabar sekolah?”

“Ih, lo pikir gue Mang Dudung.”

Aku ketawa pas denger lelucon Nayla. Dia pun ikut ketawa di seberang sana. Aku ngerti, dia lagi menghiburku.

“Bell, lo kudu sekolah. Bentar lagi ujian. Sayang kan kalau nggak ikut.”

“Siapa juga yang nggak pengen ikut? Gue bakalan ikut kok. Makanya ini gue mau ke rumah lo buat pinjem semua catatan pelajaran lo. Besok hari Minggu, sempet aja aku catetin semua.”

“Set dah! Lo mau catetin semua? Terus apa kabarnya tukang fotokopi?”

Aku terkekeh. “Pokoknya gue mau ke rumah lo. Lo ada di rumah kan sekarang?”

“Ada, ada. Mau gue jemput?”

“Nggak usah. Gue naik taksi aja.”

“OK dah. Gue tunggu. Jangan sedih lagi lo.”

“Iya, iya. Gue ke sana sekarang.”

“Oke sip.”

****

“Kayaknya gue ngungsi aja ke Mainz.”

“Mainz? Jerman?” tanya Nayla.

Aku buka halaman per halaman buku catatan bahasa Indonesia punya Nayla. Lalu kurebahkan badanku menatap langit kamar Nayla.

“Iya. Ke sana. Di sana ada adenya Papah,” jelasku.

“Yakin lo?”

Aku mengangguk. “Tadinya sih ragu-ragu, apa mereka bakal nerima gue padahal gue sendiri ke sana cuma sekali. Tapi setelah dipikir-pikir, mereka kan keluarga gue juga.”

Nayla menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya kayak nggak setuju gitu dengan omonganku barusan.

“Nggak segampang itu kali, Bell. Terlalu banyak nggak pasnya kalau lo ke sana.”

Tuh, kan. Aku bilang juga apa. Dia nggak sependapat denganku.

“Ya abis gimana lagi, Nay?’

Nayla mendekatiku dan ikut rebahan di sebelahku. Dia ikut menerawang ke atas. Duh, seandainya ada tulisan jawaban yang tepat di plafon kamar Nayla ini.

“Kenapa lo nggak ngungsi ke keluarga nyokap lo?”

Eh, keluarga Mamah ya? Sebentar, kupikirkan dulu. Mamah anak tunggal. Kakek nenek sudah nggak ada. Keluarga kakek kakeknya kakek dan nenek neneknya nenek aku nggak tau! Emang Mamah ada keluarga lain? Seingatku kami nggak pernah berlibur ke rumah keluarga Mamah. Akhirnya aku menggeleng dan itu bikin Nayla terbelalak.

“Nggak ada?!”

“Nggak ada, Nay....”

Nayla mulai berkaca-kaca sambil menatapku. “Duuh, sobat gue. Kenapa nasib lo begini sih?”

Aku bangkit dan menarik kursi yang ada di dekat meja belajar Nayla. Aku nggak boleh nangis lagi. Jadi sekuat tenaga kutahan airmata yang mau keluar ini gara-gara Nayla.

“Udah dong, Nay. Jangan bikin gue sedih lagi. Mana banyolan lo yang bikin gue ketawa mulu?”

“Hiks... Sorry, Bell. Gue nggak bisa bayangin gimana lo tanpa keluarga,” Nayla mengusap-usap matanya.

Aku menghela napas. Otakku kayak sudah kepenuhan sama pikiran itu. Apa aku ke panti asuhan aja ya? Tapi mana ada yang mau ngangkat anak umur hampir tujuh belas tahun? Jangan-jangan yang ada malah dijadikan pembantu di panti itu.

“Lo tinggal sama gue aja!” cetus Nayla.

Hah? Aku bengong. Sama Nayla? Iya dia sobatku. Soulmate dalam berbagai masalah sekolah. Mau sih jadi saudara dia, tapi....

“Gimana?”

Aku garuk-garuk kepala. “Nggak ah, Nay.”

“Lho, kenapa? Kita kan soulmate, Bell. Apa-apa selalu sama-sama. Lo nggak bisa tinggal di rumah sederhana kayak gini?”

Denger pertanyaan kayak gitu aku jadi kaget. Nggak nyangka Nayla mikir sampe ke sana.

“Bukan.... Bukan gitu. Gue nggak mau ngerepotin keluarga lo, Nay. Tanggungan keluarga lo banyak. Ada lo dan tiga ade lo. Masa harus tambah gue? Enggak bakal tega gue,” jelasku.

Nayla manggut-manggut. Kayaknya nggak jadi marah. Dia malah tertunduk. Nah lho, mau marah atau apa nih? Baru juga mikir gitu, tiba-tiba Nayla mendongak dan menatapku.

“Keluarganya Armand!”

Sontak aku kaget dan refleks melempar buku catatannya Nayla. Untung nggak pas mendarat di wajahnya. Nayla sempat mengelak.

“Gila lo ye? Denger nama Armand langsung kesurupan gitu,” omel Nayla sambil melempar bantal di dekatnya.

“Aduh, sorry. Gue kaget pas lo teriak gitu. Lagian aneh juga ide lo.”

Nayla bangkit dari tempat tidur dan duduk di atas meja belajarnya, tepat di sebelahku.

“Lo kali yang aneh. Coba lo pikir. Papah lo mendirikan perusahaan itu bareng sama bokapnya Armand. Jadi gede sampe sekarang. Lo kan anaknya, jadi lo juga punya hak dong atas perusahaan itu.”

Ooo, gitu maksud Nayla. Iya juga sih, tapi Nayla nggak tahu yang sebenarnya kayak apa. Kujelaskan aja deh.

“Gue nggak bakal ngungkit-ngungkit itu. Gue nggak ngerti, gue juga nggak mau bikin ribut sama hal yang berbau harta gono-gini. Gue paham situasi dan posisi gue di perusahaan itu.”

“Maksud lo?” tanya Nayla.

“Biar kata gue anak salah satu pemilik perusahaan itu, gue tahu diri. Andil Papah di sana cuma empat puluh persen, sedangkan sisanya punya Om Adolf. Nggak akan ungkit-ungkit deh pokoknya,” jelasku.

“Tapi kan tetep aja ada hak lo di sana!”

Aku tercenung sebentar lalu senyum kepada Nayla. “Iya gue punya hak. Tapi apa juga yang bisa gue perbuat? Gue nggak punya skill buat ikut ngelola perusahaan otomotif itu. F1, motoGP, atau apapun yang berbau balapan aja nggak pernah gue tonton. Jadi, gue percayakan aja deh sama Om Adolf.”

Ekspresi Nayla nggak berubah, tetap berkerut nggak setuju. “Ya minimal lo tanyain tuh Om Bule masalah harta peninggalan Papah lo.”

Ngotot juga ini anak. Aku aja yang punya masalah malah pasrah. Iya, iya, dia khawatir sama aku.

“Eh, btw, Dante ada nyamperin lo nggak waktu di sekolah?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Jiaah, malah nanyain Dante. Pan dia tetangga lo,” cibir Nayla.

Aku monyongin bibir. Tetangga sih, tapi nggak pernah kelihatan. Eh, bukannya aku yang nggak pernah kelihatan ya?

“Enggak sih. Cuma mau minta maaf aja soal kata-kata kasar gue waktu itu. Ya kali aja gue kena karmanya ngehina dina anak orang. Jadi ketimpa azab sengsara sekarang.”

Nayla menyipitkan matanya, “Lo pikir Dante tukang kutuk, gitu?”

“Ya kali, secara dia nyumpah Hitler di muka gue. Yang ada juga iler yang muncrat ke muka gue waktu itu.”

Lalu terurailah tawa Nayla, aku hanya menyungging senyum. Jujur aja, aku lega bisa kayak gini. Melupakan semua kesedihanku, walaupun aku tahu setelah balik dari sini, aku pasti bakal kembali sedih.

Tulalit tulalit oow tulalit tulalit oow….

Hape Nayla yang berada di atas meja belajar berbunyi. Ih, nggak nyangka Nayla ngefans sama aku. Eh, bukan. Dia ngefans sama Cinta Laura. Tapi kan dia mirip aku. Ups,cukup narsisnya.

Aku perhatikan dia mengangkat telepon. Pengen tahu juga siapa yang nelepon. Cowoknya? Nggak! Nayla nggak punya cowok. Dia jomblo sejati kayak aku. Bakal cari pacar kalau lulus sekolah.

“Perlu ngomong sama orangnya, Bi?” kata Nayla menanggapi penelepon di sana.

Aku memicingkan mata. Ngomong sama siapa ya? Aku memberi isyarat bertanya siapa yang ada di ujung telepon. Nayla membalas isyarat dengan gerakan bibirnya. Aku nggak paham. Yang kelihatan dia komat-kamit kayak baca mantra.

“Nih,” Nayla menyodorkan hapenya ke telingaku.

Aku sambut hape itu. “Halo? Ini siapa?”

“Bibi Anca, Non. Bibi khawatir, Nona Isabell belum pulang-pulang jam segini. Jadi bibi iseng saja nelepon Nona Nayla. Syukurlah Non beneran ada di situ.”

“Aku baik-baik aja kok, Bi. Nggak apa-apa. Cuma pengen main aja ke rumah Nayla.”

“Nona Isabell masih lama di situ?”

“Kayaknya masih, Bi.”

“Aduh, Non. Bukannya melarang ya. Tapi ini sudah sore gini. Sebentar lagi gelap lho. Bibi khawatir ada apa-apa di jalan nanti kalau sudah gelap.”

Haah? Benarkah? Aku palingkan wajahku melihat ke jendela. Beneran! Sudah senja! Terlalu larut ngobrol sama Nayla emang bikin lupa waktu.

“Iya, Bi. Aku pulang sekarang. Sudah tutup aja teleponnya.”

“Bibi juga mau ngabarin….”

Tuut… tuut…. Aku keburu menutup telepon, nggak sempat denger Bianca mau bilang apa lagi. Biarin deh. Entar juga ketemu di rumah.

“Apa katanya?” tanya Nayla penasaran.

“Cuma nyuruh aku pulang aja. Sini, aku pinjem buku-buku catetannya.”

Nayla mempersiapkan semua buku yang mau aku pinjam. “Aneh juga sih lo. Udah gede gitu nggak punya hape. Giliran ada apa-apa kan repot sendiri.”

“Gue bakal dikasih hape kalau sudah umur tujuh belas,” jelasku.

“Ya tapi kan itu peraturan waktu Papahmu ada! Eh…,” Nayla berhenti nyerocos. “Sorry, Bell. Nih, bawa semua. Pulang gih sana.”

Aku cemberut. “Ngusir lo?”

“Hahaha. Emang iya.”

“Ya udah. Gue pulang dulu.”

Aku pamit pulang membawa semua buku-buku catatan Nayla. Beraaat!

****

Taksi berhenti tepat di depan gerbang rumahku. Ketika keluar dari taksi, aku melihat ada mobil Jazz merah nangkring dengan bling-blingnya di halaman rumah. Mobil Armand bukan? GR deh. Ngapain juga Armand ke sini?

Buru-buru aku buka pintu masuk dan…. Tarraaa! Tiga orang bule sedang duduk manis di atas sofa. Bianca berdiri di samping seorang wanita. Yup, satu paket keluarga Weber. Mereka kenapa kemari ya? Jangan-jangan mau ngomongin harta gono-gini Papah. Sumpah, nggak ngerti yang begitu-begitu dan nggak mau tahu.

“Nona Isabell, sudah pulang?” tanya Bianca.

Aku mengangguk. Dengan kikuk aku duduk di sofa kosong. Ini sofa siapa yang ngatur sih jadi bentuk L begini? Dapat di ujung dan sialnya di dekat dengan Armand. Pfftt! Nggak ada yang bisa disalahin karena emang dari dulu posisinya begitu.

“Dari mana?” tanya Om Adolf.

“Da-dari rumah teman pinjam buku, Om,” sahutku gagap.

Kenapa aku jadi ketakutan gini sih? Ini kan Om Adolf! Bukan kumpulan vampire penghisap darah. Ini juga rumahku.

Om Adolf mengangguk-angguk. “Susah sekali menghubungimu tadi. Kamu lupa bawa handphone?”

“Nggak punya handphone,” jawabku sambil menggeleng dan pasang wajah ironis.

“Bwahahahaha!”

Baiklah, ngakak itu tadi dipersembahkan oleh Armand dan aku tahu dia sedang mengejekku. Ugh! Dendam! Biar tampangmu macam pendiri Facebook, tapi kamu tetap manusia paling nyebelin yang pernah aku temui.

“Armand!” tegur Om Adolf.

Mampus lo!

“Sorry, Pah,” sahut Armand lalu memandangku, “Kamu nggak punya hape? Nggak bisa menggunakan?”

Aku menyipitkan mata ke arahnya. Aku nggak mau kalah. ”Nggak tuh. Emang Papah dulu yang melarang aku pake hape sebelum sampai di umur tujuh belas.”

“Oh….” Cuma itu tanggapan Armand.

Aku lirik Armand. Penampakan wajah bersalah tergurat di wajahnya. Puas deh gue. 2-0 kali ini.

“Sudah. Tidak perlu berlama-lama. ada hal serius yang akan kami bicarakan,” potong Om Adolf.

Deg. Mulai serius dan ini yang nggak aku suka. Tapi penasaran juga, mau ngobrol tentang apa. Jadi, aku mengangguk saja ketika Om Adolf mengucapkan itu.

“Kami minta maaf karena baru sekarang menengokmu,” Tante Valeria angkat bicara.

Om Adolf mengangguk tanda setuju.”Semuanya karena kami harus mengurus segala sesuatu yang ditinggalkan Klaus, termasuk kamu.”

“Saya?”

“Ya. Bukankah kamu peninggalan yang paling berharga dari Klaus?” tegas Om Adolf.

Aduh, ini bule sudah tinggal puluhan tahun masih nggak pas milih kata. Peninggalan katanya? Dikira aku ini fosil, gitu? Terkubur ratusan ribu tahun. Kemudian digali dan ditambang kembali oleh manusia-manusia modern, para arkeolog, juga wartawan. Aih, ngelantur. Fokus, Isabell! Ini serius!

“Maksud Om apa ya?” tanyaku penasaran.

“Hari ini kami akan membawamu ke rumah kami,” kata Tante Valeria dengan cepat.

Haaah?? Maksudnya? Diundang makan lagi? Takut selama seminggu ini nggak makan? Iya sih, aku jarang makan. Tapi masa disuruh ke rumah mereka buat makan aja. Kesannya aku kaum pinggiran gitu.

“Nggak mengerti maksudnya?” cetus Armand menatapku nanar.

Wajahku terlihat bego ya? Kelihatan banget ya, sampe Armand bisa baca ketidakmengertianku soal kalimat Tante Valeria barusan.

Aku menggeleng. Senyum seringai terlukis di wajah Armand. Aku pandang Om Adolf dan Tante Valeria bergantian. Tolong dong jelasin lebih detail.

“Saya sudah siapkan seluruh barang Nona Isabell,” Bianca ikut bicara.

Tatapanku beralih padanya. Bianca tersenyum tulus, sementara aku masih juga nggak mengerti apa yang sedang terjadi.

“Itu barang-barangnya, Non,” Bianca menunjuk sudut ruang tamu tepat di belakangku. Aku menoleh. Iya ya, ada koper dan beberapa bukuku di situ. Kenapa tadi waktu masuk nggak lihat ada barang-barang di situ?

“Maaf, saya minta penjelasan, Om.”

Om Adolf menarik napas panjang. “Tinggallah bersama kami.”

Oh-my-God. Kalimat Om Adolf seperti membenturkan kepalaku ke dinding. Tinggal sama mereka? Serumah dengan makhluk pengganggu itu? Yang ada entar aku tertindas. Ini Bianca juga kenapa setuju-setuju aja? Pake acara beresin barang-barangku. Aku diusir dari rumahku sendiri!

Aku melotot pada Bianca. Dia menunduk sebentar lalu mendongak dan menatapku dengan airmata yang mengembang. Aku melemah dengan sikapnya itu.

“Saya kasihan sama Nona Isabell. Tidak punya siapa-siapa lagi. Ini ada Tuan Weber, sahabat Papahnya Nona Isabell. Saya percaya, Non bisa bahagia nanti di sana,” jelas Bianca.

Aku tertunduk lesu. “Ini terlalu mendadak buatku, Bi.”

Tante Valeria berdiri dan berjalan mendekatiku. “Isabell, ikutlah bersama kami sekarang.”

“Tapi, Tante….”

“Selama ini, saya menginginkan anak perempuan untuk menemani saya. Armand, anak saya, dari kecil selama ini bersekolah di Mainz. Baru sekarang memutuskan untuk berhenti kuliah di sana dan pulang membantu Papahnya di perusahaan yang dikembangkan Meier dan Weber,” jelas Tante Valeria.

Oh ya? Jadi dia pulang itu buat kerja di perusahaan Papah dan Om Adolf. Apa dia bakal mengambil alih bagianku di perusahaan itu? Ups, positive thinking, Isabell!

“Kalau kamu keberatan tinggal di sana karena aku, mungkin kita bisa bertukar tempat. Kamu tinggal di sana, dan aku tinggal di sini,” tawar Armand.

Maksud lo? Tukeran jadi anak keluarga Weber dan kamu dengan seenaknya menggunakan fasilitas di sini. Jawabannya, TIDAK. Kalau barang-barang kesayanganku dan peninggalan Mamah rusak atau pecah, biarpun diganti dengan yang mirip, nggak akan sama nilainya. Lagipula aku juga belum tahu gimana tipe seorang Armand ini. Gimana kalau dia sukanya pesta mabuk-mabukkan di rumah? Party-is-in-the-house, Yo!

“Ehm,” Om Adolf berdehem. “Ini semua berdasarkan tanggung jawab saya kepada Klaus. Jadi, saya mohon, kamu bisa memenuhi permintaan kami.”

Aku bingung. Kok malah jadi begini? Terngiang kata-kata Nayla tadi kalau dia menyuruhku untuk ke keluarga Weber saja, juga masalah harta peninggalan Papah di perusahaan. Jangan-jangan Nayla peramal, jadi tahu semua yang bakal terjadi padaku. Ah, kesimpulan fiktif!

“Nona Isabell sebentar lagi mau ujian lho. Perlu tempat tenang dan tidak bikin Non teringat-ingat peristiwa itu. Kalau di sini, Bibi yakin Nona Isabell tidak akan bisa berkonsentrasi,” kata Bianca mengingatkan.

“Tapi Bianca gimana?” tanyaku.

“Bibi tetap di sini kok. Lagian Bibi sudah digaji oleh Tuan Weber buat merawat rumah ini. Kalau Non kangen rumah ini, ya tinggal datang aja.”

Aku termenung sebentar. Mencoba menimbang-nimbang semua. Di kepalaku seperti ada devil bertanduk dan membawa garpu tanah di tangannya sedang berbisik nyaring tentang Bianca yang sudah termakan uang suap keluarga Weber dan juga tentang harta Papah. Kalau aku nggak ikut mereka, otomatis nggak akan tahu apa dan bagaimana keamanan peninggalan harta Papah. Aku harus tahu juga kan gimana keluarga Weber ini. Baik, pura-pura baik, atau memang baik banget?

“Baik. Saya setuju,” kataku memutuskan.

Terdengar napas lega dari semua yang ada di ruang tamu. Semua langsung berdiri dan bersiap-siap untuk pulang. Pulang ke rumah keluarga Weber.

Bianca menyerahkan kunci mobil Yaris putih yang biasa mengantarku pulang pergi ke sekolah, mobil satu-satunya peninggalan Papah selain mobil Nissan yang sudah hancur akibat kecelakaan itu. Lalu aku menyerahkan kunci itu kepada Armand. Ya, aku dan barang-barangku pulang bersamanya. Kehidupan baruku dimulai dengan kunci itu. Apakah aku bakal menderita atau bahagia di sana. Aku tanggung segala resikonya. Permainan hidup dimulai dari sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun