Bandung, 20 Mei 2016
Untukmu yang menjadi 'Cinta'
Dalam do'a
Assalamu’alaikum cinta?
Apa kabar denganmu? Apa kabar hatimu juga perasaanmu? Apa kabar dengan semua rasa yang kau punya? Dan, apa yang lebih kau rasakan saat ini? Apakah sukaria bersenada? Atau gelisah bersenandung kecewa?
Cinta,
Kau tahu? Aku seringkali terdiam di bawah lampu temaram. Sendiri, tanpa kau. Yaa, hanya sendiri. Aku hanya bisa bertanya pada semua yang bergeming di depanku. Pada angin, pada langit, hingga pada malam di kesunyian.
Aku mendesah lirih dalam kata,
Angin, apa kau tahu? Hembusanmu membuatku terdiam, hembusanmu membuatku teringat,
ingat, bahwa aku pernah bermimpi merasakan hembusanmu yang terasa lebih kental namun begitu menyejukkan kala itu.
Langit, apa kau juga tahu? Aku sering memandangmu, bahkan mungkin takkan terhitung berapa kali aku memandangmu hingga saat ini. Tapi kala itu, pandanganku tentangmu terasa lebih mengagumkan, terasa lebih indah dalam khayalku.
Dan  malam, kaupun harus tahu, bahwa ribuan malam telah aku lewati dengan adanya bintang ataupun tidak. Namun kau selalu tetap indah. Entah itu di sudut kota, desa, atau di hutan sekalipun. Suhu dinginnya kamu itu adalah pelengkap. Bahkan kegelapanmu pun, itu adalah sebuah pendamping untukmu. Tapi kala itu, aku tidak tahu, dalam bayanganku rasanya kau begitu mempesona. Kau begitu menakjubkan. Bahkan aku tak ingin berlalu darimu kala itu.
Hmm cinta..
Mengertikah kau? Desahan itu adalah desahan perasaan, desahan kerinduan, dan desahan kasih. Andai saja aku bisa mengungkapnya secara langsung. Tapi aku tak kuasa. Kau terlalu jauh untukku dekap. Jarak begitu luas terbentang megah. Dan aku? aku hanya bisa mengemas rapi harapan dalam kasih sayang dan penantian.
Aku tahu, seringkali kau goyahkan hingga kau hancurkan setiap dinding perasaanku, kau buat hancur hingga remuk kasih sayangku. Tapi, kaupun harus tahu, dari setiap serpihan dan bongkahan-bongkahan kecil perasaan itu, tiada lain adalah rasa tulus yang muncul agar aku tetap menjaganya. Merapikannya kembali, lalu memperbaiki.
Cinta,
Aku terasa hambar tanpa pengisi kasih darimu. Sepinya aku tanpa kau di sampingku. Sesaknya dadaku karena aku tahu bahwa kau jauh, dan dengan nyata kau tidak nampak dalam penglihatanku. Aku melewati hari yang sama dengan perasaan yang lebih muram tanpa sosokmu. Inginnya aku bersamamu. Merasakan hembusan angin, menatap langit, dan memandang malam bertabur bintang. Melintasi setiap lorong-lorong kesunyian di antara dekap kerinduan. Memangkas jarak yang seringkali bergelayut durja dalam kepekatan. Hingga memulai kehidupan dengan kisah cinta kita yang tak berujung.
Yaaa, dengan kau. Kau yang menjadi pengisi di setiap bahagia hingga sedih melandaku. Kau yang mampu membuatku diam tertegun saat kau beranjak. Kau yang membuat semuanya terasa seperti mimpi, seperti cerita fiksi yang berkemungkinan kecil menjadi nyata. Kau, yang menjadi sosok lebih dari sekadar kata indah. Kau yang aku kenal, meski aku tak pernah utuh mengenalmu. Kau yang aku miliki, meski apa yang kau punya tak jua untukku. Kau yang aku cinta meski dengan derai air mata. Kau yang aku kasihi meski kerap kali mengiris hati. Namun biarlah, cukup cintaku yang akan membuat semuanya utuh.Â
Karena aku bersyukur mengenalmu, aku sama sekali tidak menyesal dengan perkenalan antara aku dan kau, sungguh, aku selalu merasa bahagia meski hanya dengan mengenalmu walau kau jauh, aku selalu bisa tersenyum dan ingin bertahan hidup lebih lama meski dalam penantian. Kaulah penyemangatku saat ini, kaulah salah satu sumber bahagiaku saat ini, dan aku ingin hal ini berlangsung selamanya.
Semoga kau selalu baik adanya. Menjadi kau yang selalu mempesona diatas cakrawala. Menjadi kau, yang selalu berteguh hati dalam pencapaian ridho-Nya. Menjadi kau yang selalu kunanti. Menjadi kau yang tak pernah lepas dari penjagaan cinta-Nya. Dan aku? Biarlah. Selama kasih ini masih bersamaku, selama cinta ini masih di jiwaku, akan selalu kutegarkan luka dalam kedamaian. Akan segera kutanamkan bahagia dalam kerinduan. Akan selalu kunanti ‘kala itu’ dalam kenyataan. Kala itu, dimana aku bisa menyentuhmu, menggenggam jemarimu, dan melepaskan segala gundah yang melandamu. Aku akan tetap menjadi aku yang tak pernah lepas menjaga hati untukmu.
Meski takdir tak selalu searah, tapi percayalah. Aku disini, bersamamu. Aku mengerti tentangmu. Tentangmu yang menjadi kau. Kau, yang menjadi  kata tiap aku menulis. Kau yang menjadi kalimat tiap aku berucap, kau yang menjadi objek setiap aku memandang, dan kau, yang menjadi cinta, yang aku kasihi, yang aku nanti.
Di ujung untaian kata dalam carikan kertas ini, kukatakan, sungguh, tak apa jikaku harus menanti sampai ‘kala itu’ tiba, tak apa jikaku harus terlebih dulu bersabar menjaga hati dalam penantian, tak  apa jika semua yang kurasakan hanya hening bergeming dalam kesunyian. Biarlah kini cinta-Nya yang menjagamu, biarlah kini cinta-Nya yang mengasihimu, hingga kerena cinta-Nya pula, akan terlihat dan terbaca jelas di mata juga hatimu, bahwa aku tidak mengharapkan apa-apa, aku hanya mencintaimu, aku hanya menyangimu, dan aku hanya mengasihimu. Selalu. Walau waktuku kian terkikis habis, hingga jikapun kita tidak ditakdirkan untuk bersatu, aku hanya akan mencintaimu, sepenuh hatiku, dan hatiku hanya akan kuberikan untukmu. Saat ini, dan untuk selamanya.
Dariku,
yang mencintaimu dalam penantian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H