Tidak dimungkiri, semakin hari problematik pergaulan terjadi semakin kompleks. Sepasang suami istri ditangkap oleh pihak kepolisian terkait kasus pesta seks dan pertukaran pasangan (swinger). Kejadian ini berlangsung sebanyak sepuluh kali, di Bali dan Jakarta. Menurut keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya, terdapat pendistribusian dokumen elektronik melalui sebuah situs yang berisi ajakan untuk pesta seks dan bertukar pasangan. Lewat situs tersebut, para tersangka mengajak publik untuk bergabung tanpa memungut biaya dari para pendaftar. Pasangan yang bergabung dalam pesta tersebut juga tidak diberikan bayaran (kompas.com, 10-02-2025).
Dunia pendidikan juga tidak lepas dari problematik kompleks pergaulan ini. Permohonan dispensasi nikah oleh remaja di Kabupaten Sleman pada tahun 2024 tercatat sejumlah 98 kasus. Dari jumlah tersebut, alasan terbanyak pengajuan permohonan dispensasi adalah karena hamil di luar nikah. Catatan sebanyak ini baru terjadi di satu daerah, belum kasus yang terjadi di daerah lain, tentu jika digabungkan kasusnya jauh lebih banyak.
Pergaulan Bebas
Problematik pergaulan yang semakin kompleks ini merupakan hasil dari pergaulan bebas. Fenomena pergaulan bebas yang menimpa remaja usia sekolah hingga pasangan yang sudah menikah ini disebabkan dorongan seksual yang menuntut kepuasan. Terlebih, saat ini dunia maya menjadi santapan semua kalangan. Banyak konten pornografi dan pornoaksi yang disajikan lewat lensa kamera, baik melalui film, sinetron, konten media sosial, iklan dan sebagainya. Konten-konten ini bebas diakses siapa saja. Akibatnya, mereka yang menonton tayangan yang merangsang seksual terdorong untuk melakukan hal serupa.
Sekularisme sebagai Biang Kerok
Sekularisme lah biang kerok terjadinya problematik kompleks pergaulan hari ini. Sekularisme telah memisahkan antara agama dengan kehidupan. Peraturan hidup justru dibuat sendiri oleh manusia, mengikuti realitas  dan dinamika yang ada di tengah-tengah masyarakat. Negara sebetulnya ingin mengurangi angka perzinaan, namun aturan yang diberlakukan justru membiarkan tindakan perzinaan.
Dilansir dari laman konsultasi masalah hukum, Â Hukum Online, hubungan intim yang dilakukan dengan seseorang yang sudah menikah dan bukan pasangan sahnya adalah tindak pidana dalam hukum positif di Indonesia. Larangan terhadap aktivitas ini dapat dijumpai dalam KUHP yang masih berlaku. Sementara itu, UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang baru berlaku terhitung tiga tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026, juga mengatur hal serupa.Â
Pasal 411 berbunyi:
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II yaitu Rp 10 juta.
Terhadap tindak pidana sebagaimana ayat 1, perilaku zina tersebut hanya akan menjadi tindak pidana apabila salah satu pihak dalam keluarga  melaporkan kepada pihak yang berwajib. Jadi selama dilakukan atas dasar suka sama suka, dan tidak ada pengaduan maka perzinaan tidak akan dijatuhi hukuman.Â
Inilah buah penerapan sekularisme yang lebih mengutamakan keuntungan dunia dalam mengambil kebijakan. Negara hanya mengontrol kebebasan individu agar tidak mengganggu kebebasan individu yang lain. Selama tidak ada yang terganggu, tidak ada yang mempermasalahkan, maka individu bisa berbuat semaunya.
Memberikan manusia kebebasan dan memfasilitasi kebebasan, sejatinya tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, manusia bersifat lemah, terbatas dan tidak akan mungkin membuat aturan yang sempurna. KUHP ini merupakan hasil kompromi pendapat-pendapat yang saling bertentangan, jadi tidak bisa digunakan sebagai solusi.
Butuh Sinergi Semua Elemen
Persoalan ini bukan hanya membutuhkan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera. Lebih dari itu, diperlukan solusi sistemis di berbagai bidang sebagai bentuk preventif atau pencegahan agar tindak kriminal serupa tidak terjadi. Karenanya, solusi tersebut mesti dijalankan oleh semua elemen, baik individu, masyarakat maupun negara.
Dari sisi individu, setiap orang harus meninggalkan gaya hidup sekuler liberalisme. Sudah semestinya setiap orang mengkaji dan memahami Islam secara kafah. Mereka harus menjadikan perintah dan larangan, halal dan haram sebagai tolak ukur perbuatan mereka. Dengan akidah yang kuat dan memahami syariat Islam dengan benar, akan menjadikan setiap individu berjalan dalam koridor ketaatan dan menjauhkan diri mereka dari kemaksiatan.
Selain itu, masyarakat juga harus meninggalkan standar hidup sekuler liberalisme dalam kehidupan bermasyarakat. Ketidakpahaman masyarakat terhadap syariat Islam yang kafah, menjadikan mereka "cuek bebek" terhadap kemaksiatan pergaulan di sekitar mereka. Karenanya, penting untuk menyadarkan masyarakat terkait standar perbuatan yang benar berdasarkan Islam.Â
Terlebih lagi, peran negara sangat diperlukan untuk menjaga generasi dari kerusakan. Kerusakan yang terjadi hari ini, menunjukan abainya negara dalam menjaga jiwa dan keamanan warga negaranya. Semua ini diakibatkan kepemimpinan yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme yang hanya berorientasi pada materi. Akibatnya identitas umat Islam semakin hari, semakin terkikis.
Tinggalkan Sekularisme, Terapkan Islam Kafah
Banyaknya kasus kriminalitas pergaulan, semestinya menyadarkan pemerintah dan masyarakat untuk meninggalkan sekularisme dan beralih pada penerapan Islam kafah.Â
Negara yang menerapkan Islam secara kafah akan memberikan perhatian lebih kepada generasi dalam berbagai aspek. Mulai dari pendidikan, pergaulan, pengaturan sosial, jaminan kebutuhan pokok dan publik, dan lain-lain.
Sistem pendidikan Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai asas akan mencetak generasi yang berkepribadian Islam, saleh, faqqih fiddin, sekaligus menjadikan peserta didik menjadi intelektual yang menguasai berbagi bidang ilmu.
Negara juga menerapkan sistem pergaulan Islam. Di antara ketentuan Islam dalam menjaga pergaulan adalah: 1. Menutup aurat sesuai syariat; 2. Larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahrom) dan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa alasan syar'i); 3. Larangan mengeksploitasi perempuan; 4. Larangan perempuan melakukan safar lebih dari 24 jam tanpa disertai mahram, dll.
Negara juga harus menghilangkan setiap hal yang merusak keimanan setiap individu Muslim, seperti gim, tayangan, konten, kampanye dan sejenisnya yang mengandung pornografi dan pornoaksi, penyeru kemaksiatan, film yang berbau liberal sekuler, dan sebagainya. Dengan kekuasaan dan kebijakannya, negara mampu menutup semua akses yang menjerumuskan warga negara pada kemaksiatan.
Setiap perilaku yang melanggar hukum syarak harus diberi sanksi yang tegas sesuai hukum Islam berdasarkan jenis dan kadar kejahatannya. Hal ini akan memberi efek jera dan mencegah perbuatan serupa terulang kembali. Sumber hukum yang digunakan untuk memutuskan sebuah perkara bersumber dari wahyu Illahi, yaitu Al Qur'an dan Sunah Rasulullah Saw., sedangkan tolak ukur perbuatan adalah perintah dan larangan, halal dan haram.
Dengan penerapan Islam secara kafah, negara telah melakukan perlindungan berlapis untuk memutus problematik kompleks pergaulan. Negara yang menerapkan Islam kafah akan menjadi garda terdepan untuk melindungi warganya dari paparan virus sekularisme.
Wallahu a'lam bisshowabÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H