Mohon tunggu...
Vivi Nurwida
Vivi Nurwida Mohon Tunggu... Lainnya - Mom of 4, mompreneur, penulis, pengemban dakwah yang semoga Allah ridai setiap langkahnya.

Menulis untuk menggambarkan sempurnanya Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bunuh Diri Jadi Tren, Jaminan Kesehatan Mental Dipertanyakan

9 Desember 2024   17:59 Diperbarui: 9 Desember 2024   18:03 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Vivi Nurwida 

Belakangan ini, bunuh diri dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar bagi orang yang tidak mampu menghadapi permasalahannya sendiri. Bunuh diri ini merupakan penyakit sosial yang sudah menjadi tren tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. 

Tren bunuh diri ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar dengan segudang aktivitasnya yang tak pernah tidur. Kini, bunuh diri juga sudah merebak hingga ke kota-kota kecil, seperti kota Batu.

Seorang pemuda berusia 21 tahun berinisial E, nekat gantung diri di rumahnya yang berada di Desa Beji, Kecamatan Junrejo, Kota Batu. Sontak saja kejadian ini menggemparkan warga setempat, Minggu 1 Desember 2024 (malang viva.co.id, 02-12-2024).

Masih di kota yang sama, seorang remaja perempuan berinisial AF (17) warga Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Kejadian tersebut diketahui saat kedua orangtua korban pulang ke rumah setelah menservis sepeda motor mereka (detik.com, 17-09-2024).

Sebelumnya, seorang kuli bangunan berinisial UI (37) ditemukan tewas gantung diri di area pemakaman umum Dusun Krajan RT01 RW06, Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Batu, Kota Batu oleh seorang warga yang sedang mencari rumput (detikjatim, 30-05-2024).

Sederet kasus di atas menambah daftar panjang kasus bunuh diri di Indonesia. Fakta miris ini menunjukan bahwa bunuh diri telah dijadikan solusi instan untuk menyelesaikan persoalan hidup yang kian berat. Lantas, mengapa tren bunuh diri ini terus meningkat?

Lemahnya Mental

Jika pelaku bunuh diri hanya satu atau dua orang saja, hal ini dapat dikatakan sebagai kasus individu. Namun, rupanya angka kasus bunuh diri di Indonesia sendiri sudah mencapai ratusan, bahkan ribuan kasus. Tentu, hal ini bukanlah fenomena biasa.

Data Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri yang diolah oleh harian Kompas, mencatat bahwa sejak 2019-2023 kasus bunuh diri meningkat secara ajek. Tahun 2019 ada sebanyak 230 kasus bunuh diri, tahun 2020 sebanyak 640 kasus, tahun 2021 sebanyak 620 kasus dan tahun 2022 sebanyak 902 kasus, dan tahun 2023 sebanyak 1.226 kasus.

Peningkatan angka bunuh diri ini menggambarkan betapa buruknya mental masyarakat. Lemahnya mental, menandakan bahwa masyarakat tidak cukup kuat menghadapi ujian dan beban hidup.

Lahirnya masalah kesehatan mental merupakan faktor internal yang dipengaruhi oleh cara pandang tertentu. Mental yang lemah rupanya dikarenakan pandangan hidup sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan.

 Akibatnya, masyarakat mengalami krisis identitas dan krisis keimanan yang membuat keimanan seseorang mudah goyang, dipimpin oleh nafsu sesaat, gampang tersulut emosi, hingga pikirannya menjadi kalut. Lemahnya iman ini yang sedang menjangkiti masyarakat, hingga kesehatan mentalnya pun terganggu.

Buah Penerapan Kapitalisme 

Selain karena mental yang lemah, tren bunuh diri ini juga dipengaruhi oleh faktor yang lain. Beban hidup dalam sistem kapitalisme-sekulerisme telah membuat seseorang memandang sesuatu dengan tolak ukur materi, serta jauh dari aturan agama. Kehidupan sekuler ini tidak lagi memandang bahwa bunuh diri merupakan tindak kejahatan dan dosa besar.

 Masyarakat dalam sistem sekulerisme tidak memandang adanya kehidupan setelah mati. Tak hanya itu, masyarakat sekuler hanya melihat segala persoalan dari beratnya beban yang dibawanya. Mereka lupa bahwa Allah  tidak akan membebani seseorang di luar kesanggupannya. 

Masyarakat hari ini juga tak lagi segan meminjam uang untuk memenuhi gaya hidup. Bahkan, tak jarang mereka memaksakan diri menjalani kehidupan yang tidak sejalan dengan pendapatannya. Ini merupakan salah satu gaya hidup hedonistik yang dijajakan ideologi kapitalisme, yang kini menggejala dengan perilaku, salah satunya adalah flexing.

Selain itu, banyak orang yang akhirnya terlibat pinjol dan judol demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin mahal. Mirisnya, pada saat yang sama, tidak ada jaminan negara untuk memenuhi kebutuhan pokok warga negaranya.

Karenanya, ketika masalah datang dan ia merasa tidak mampu lagi menanggung nya, bunuh diri dijadikan solusi instan untuk menyelesaikan permasalahan. Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme yang rusak dan merusak.

Teguran Keras

Meningkatnya angka kasus bunuh diri dari tahun ke tahun sekaligus menjadi teguran keras bagi penguasa, bagaimana selama ini penguasa mengurusi urusan umat. Terlebih ketika umat dijauhkan dari akidah Islam, maka individu akan dengan mudah terjangkiti penyakit mental. Alhasil, manusia tidak lagi memahami bahwa hidupnya begitu berharga. Jaminan negara akan kesehatan mental rakyatnya perlu dipertanyakan.

Hukum kapitalistik yang berasas sekuler nyatanya tidak mampu menyelesaikan persoalan hingga akarnya. Banyak sekali kebijakan yang diambil oleh pemerintah hanya sebatas bimbingan konseling, akibatnya tidak mampu menyelesaikan persoalan bunuh diri yang kini begitu marak terjadi.

Pandangan Islam

Islam melarang umatnya berputus asa dari rahmat Allah. Setiap persoalan pasti bisa diselesaikan berdasarkan syariat Islam. Dalam pandangan Islam, setelah kematian akan ada kehidupan yang baru, yakni kehidupan yang akan meminta pertanggungjawaban seorang hamba terkait semua perbuatan yang ia lakukan di dunia. 

Selain itu, Islam memandang bahwa ujian yang diberikan Allah tidak akan melebihi kemampuan seorang hamba. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al Baqarah ayat 286, yang artinya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya,...."

Menjaga kesehatan mental setiap masyarakat tidak hanya membutuhkan peran keluarga, melainkan juga dibutuhkan peran masyarakat, bahkan negara.

Negara harus melahirkan setiap individu masyarakat yang memiliki kepribadian Islam dan menjadikan halal haram sebagai tolak ukur perbuatannya. Sehingga, setiap persoalan yang tengah dihadapi, akan diselesaikan sesuai tuntunan agama Islam, baik persoalan ekonomi, pergaulan, maupun politik. 

Islam memandang kesehatan sebagai kenikmatan yang diberikan Allah kepada setiap individu. Karenanya, Islam mendorong manusia untuk mencapai bahagia sesuai pandangan Islam. Standar bahagia dalam Islam adalah mencapai rida Allah, bukan mendapat sebanyak-banyaknya materi.

Islam memiliki solusi yang komprehensif dan sistemis guna memutus kejahatan bunuh diri dan menyelesaikan masalah kesehatan mental masyarakat. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. 

Penerapan hukum-hukum Islam akan mampu mencegah segala bentuk tindakan kejahatan, termasuk bunuh diri yang kini kasusnya terus mengalami peningkatan. Negara inilah yang akan mampu menjamin kesehatan mental tiap individu masyarakat. Karena dengan penerapan Islam secara kafah, keadilan, kesejahteraan, ketenangan dan keberkahan dapat dirasakan. 

Wallahu a'lam bisshowab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun