Mohon tunggu...
Vivi Nurwida
Vivi Nurwida Mohon Tunggu... Lainnya - Mom of 4, mompreneur, penulis, pengemban dakwah yang semoga Allah ridai setiap langkahnya.

Menulis untuk menggambarkan sempurnanya Islam

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kejar Kepatuhan Wajib Pajak, Negara Memeras Rakyat?

12 November 2024   21:20 Diperbarui: 13 November 2024   03:55 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok pribadi, by canva


Pajak hari ini diartikan sebagai kontribusi nyata masyarakat untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. Pajak sendiri merupakan sumber pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara dan pembangunan. 


Berbagai upaya dilakukan pemerintah, agar setiap wajib pajak bisa patuh terhadap aturan pajak. Bahkan, penunggak pajak kini akan dikejar, didatangi hingga ke rumahnya.

Kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) di sejumlah wilayah Indonesia langsung mendatangi para penunggak pajak kendaraan untuk menagih langsung pembayaran yang sudah menjadi kewajiban para pemilik kendaraan. Program door to door atau jemput bola ini dilakukan demi mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). (cnnindonesia, 10-09-2024).

Namun, di sisi lain perlakuan pemerintah terhadap rakyat ini justru bertolak belakang dengan perlakuan pemerintah terhadap para pengusaha. Para pengusaha ini justru mendapatkan keringanan pajak, sedangkan rakyat bawah harus merasakan bayang-bayang besarnya pajak yang terus menghantui.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani secara resmi memperpanjang fasilitas tax holiday hingga 31 Desember 2025 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PMK No. 130/PMK.010/2020. Langkah ini diambil guna menarik lebih banyak investasi asing ke Indonesia di tengah penerapan pajak minimum global 15 persen oleh berbagai negara (menpan.go.id, 4-11-2024).

Negara Memeras Rakyat?

Pajak yang digadang-gadang sebagai kontribusi untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera, rupanya tidak sesuai ekspektasi. Rakyat hari ini masih jauh dari kata sejahtera, bahkan tidak merasakan kebermanfaatan pajak. Buktinya, semua hal yang diklaim dibangun dengan pajak atau subsidi pajak, realitanya masih tegak mahal. Misalnya, tarif air dan listrik, atupun BBM yang disebut bersubsidi, harganya terus meroket. Belum lagi pembangunan jalan tol, sekolah, rumah sakit, semuanya tetap berbiaya mahal.

Bahkan, bagai vampire yang kehausan darah, rezim neoliberal ini memeras otak bagaimana cara untuk menghisap darah (baca: uang) rakyat. Kita bisa menyaksikan bahwa semua hal di dalam kehidupan ini dibebani pajak. Mulai dari rumah, tanah, penghasilan, kendaran, makanan, pakaian, dan sebagainya hampir semua menjadi obyek pajak.

Pajak juga dijadikan alat negara untuk memeras rakyat. Hal ini terbukti dengan pengaturan pajak yang tajam pada rakyat, dan tumpul pada pemilik modal. Bagi rakyat yang tidak tertib membayar pajak akan dikejar hingga ke rumahnya. Berbeda dengan pengusaha besar dengan omzet triliunan, meskipun mangkir dari kewajiban pajak, tetap akan dapat pengampunan.

Buah Penerapan Sistem Kapitalisme

Jika dipikirkan lebih mendalam, bagaimana mungkin negeri yang kaya akan Sumber Daya Alam dan Energi (SDAE) ini, rakyatnya jauh dari kata sejahtera. Rupanya, hal ini diakibatkan negara menerapkan sistem kapitalisme, yang mana kapitalisme ini menganut liberalisme, termasuk di sektor ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun