Pajak hari ini diartikan sebagai kontribusi nyata masyarakat untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. Pajak sendiri merupakan sumber pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara dan pembangunan.Â
Berbagai upaya dilakukan pemerintah, agar setiap wajib pajak bisa patuh terhadap aturan pajak. Bahkan, penunggak pajak kini akan dikejar, didatangi hingga ke rumahnya.
Kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) di sejumlah wilayah Indonesia langsung mendatangi para penunggak pajak kendaraan untuk menagih langsung pembayaran yang sudah menjadi kewajiban para pemilik kendaraan. Program door to door atau jemput bola ini dilakukan demi mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). (cnnindonesia, 10-09-2024).
Namun, di sisi lain perlakuan pemerintah terhadap rakyat ini justru bertolak belakang dengan perlakuan pemerintah terhadap para pengusaha. Para pengusaha ini justru mendapatkan keringanan pajak, sedangkan rakyat bawah harus merasakan bayang-bayang besarnya pajak yang terus menghantui.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani secara resmi memperpanjang fasilitas tax holiday hingga 31 Desember 2025 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PMK No. 130/PMK.010/2020. Langkah ini diambil guna menarik lebih banyak investasi asing ke Indonesia di tengah penerapan pajak minimum global 15 persen oleh berbagai negara (menpan.go.id, 4-11-2024).
Negara Memeras Rakyat?
Pajak yang digadang-gadang sebagai kontribusi untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera, rupanya tidak sesuai ekspektasi. Rakyat hari ini masih jauh dari kata sejahtera, bahkan tidak merasakan kebermanfaatan pajak. Buktinya, semua hal yang diklaim dibangun dengan pajak atau subsidi pajak, realitanya masih tegak mahal. Misalnya, tarif air dan listrik, atupun BBM yang disebut bersubsidi, harganya terus meroket. Belum lagi pembangunan jalan tol, sekolah, rumah sakit, semuanya tetap berbiaya mahal.
Bahkan, bagai vampire yang kehausan darah, rezim neoliberal ini memeras otak bagaimana cara untuk menghisap darah (baca: uang) rakyat. Kita bisa menyaksikan bahwa semua hal di dalam kehidupan ini dibebani pajak. Mulai dari rumah, tanah, penghasilan, kendaran, makanan, pakaian, dan sebagainya hampir semua menjadi obyek pajak.
Pajak juga dijadikan alat negara untuk memeras rakyat. Hal ini terbukti dengan pengaturan pajak yang tajam pada rakyat, dan tumpul pada pemilik modal. Bagi rakyat yang tidak tertib membayar pajak akan dikejar hingga ke rumahnya. Berbeda dengan pengusaha besar dengan omzet triliunan, meskipun mangkir dari kewajiban pajak, tetap akan dapat pengampunan.
Buah Penerapan Sistem Kapitalisme
Jika dipikirkan lebih mendalam, bagaimana mungkin negeri yang kaya akan Sumber Daya Alam dan Energi (SDAE) ini, rakyatnya jauh dari kata sejahtera. Rupanya, hal ini diakibatkan negara menerapkan sistem kapitalisme, yang mana kapitalisme ini menganut liberalisme, termasuk di sektor ekonomi.
Hari ini SDAE justru dikuasai oleh swasta, bahkan asing. Â Rakyat diperas lewat pajak, sedangkan yang diuntungkan adalah pemilik modal atau segelintir orang saja. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, lagi sengsara. Sungguh, negara telah memeras rakyat lewat pajak. Di sisi lain kekayaan alam diserahkan kepada korporasi swasta kapitalis secara percuma. Bahkan, pengusaha besar itu mendapat keringanan hingga pengampunan pajak. Sungguh, hal ini sangat tidak adil. Namun, inilah fakta penerapan sistem kapitalisme yang memeras rakyat.
Pajak dalam Islam
Jauh berbeda dengan tata kelola keuangan dalam sistem Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara. Dalam Islam, pajak disebut dharibah, prakteknya bertolak belakang dengan pajak dalam sistem kapitalisme.
Dharibah  dalam Islam bukanlah suatu yang menekan dan tidak diwajibkan pada semua warna negara. Dharibah  hanya diambil dari kaum muslim yang mampu, dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma'ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut.
Pajak/dharibah tidak boleh diambil dari orang-orang miskin sebagaimana sabda Rasulullah Saw. :
"Dan siapa saja yang tidak memiliki kelebihan harta, maka pajak tidak diambil dari yang bersangkutan.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw.: Sebaik-baiknya shadaqah adalah yang berasal dari orang-orang kaya." (HR. Bukhari melalui jalur Abu Hurairah).
Dharibah hanya ditarik dari orang-orang kaya yang mempunyai kelebihan harta, sifat pun hanya dalam keadaan genting, bukan pada setiap keadaan. Besarannya pun disesuaikan dengan kebutuhan. Bukan seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme-liberalisme hari ini, pajak dipungut secara brutal dan menzalimi seluruh rakyat.
Semua ini dapat kita rasakan ketika Islam ditetapkan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan. Maka dari itu, sudah saatnya kita mencampakkan sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat, dan semangat memperjuangkan sistem Islam dalam yang akan memberikan kesejahteraan, keadilan dan keberkahan.
Wallahu a'lam bisshowab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H