Dia mulai dengan pertanyaan "berapa banyak pria yang telah ku kencani selama ini". Saat aku ragu, ia mulai mencengkram kerah bajuku dan mendekatkan mukanya percis satu centi di hadapanku.
Ia bertanya, "sejak kapan aku melakukan hubungan"Â juga "apakah aku punya teman kencan lebih dari jumlah jari yang ia miliki".
Gerhana berprasangka dan berpikiran kotor terhadapku.jawaban jujurku dimentahkan kembali olehnya. Aku mengatakan A tapi ia mendengar B.
Makin tersulutlah amarahnya. Ia mengejarku sementara aku berlari menghindar dari cengkramannya. Gerhana berteriak penuh dendam bahwa siapapun lelaki yang dekat denganku akan mati sia sia.
Aku terpekur mendengarnya dan berhenti mendadak serta membiarkan ia mencengkram, menampar, menyobek dengan kasar kemejaku dengan sepuasnya.
Aku biarkan tubuhku menjadi sandsag untuknya meluapkan semua letupan amarahnya.
Dengan kasar dan kesetanan ia meninju, menendang, menampar juga menjedukan kepalaku ke tembok hingga darah mengalir dari kepala, muka, bibir, pupil...
Aku tidak berusaha melawan karena aku tidak ingin si bapak celaka karena menyayangiku.
Aku tidak mempedulikan rasa sakit yang datang bertubi-tubi. Mungkin salahku terlalu terbuka untuk menceritakan semuanya ke Gerhana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H