Aku hanya tersenyum.
“Kita…”
“Tapi,” sergahku. “Politik tetap kejam, begitu kotor dan kerap tidak bernalar. Yang protes acap tidak berakal, yang menang dicurigai karena hasil mengakali.”
“Itu kuakui…”
“Bayangkan, akibat dari politik ada seorang pejabat di kecamatan misalnya, dicopot dan hanya menjadi staf biasa, sebab di daerah kekuasannya tak mampu mendongkrak suara bagi perolehan kandidat yang juga atasan dia. Politik babat habis ini terjadi di hampir setiap pemilihan kepala daerah, seperti juga politik balas budi!” kataku.
“Ya aku banyak dengar itu. Dari buah pemilihan gubernur hingga pemilihan bupati dan walikota. Pemimpin yang baru dilantik, langsung membabat bawahannya yang memegang jabatan dengan menonjobkan lalu mengangkat orang-orang yang dulu mendukung atau memenangkan suara bagi kepala derah itu,” tambah Mat Yusuf.
“Tapi sudahlah,” imbuh sahabatku itu selanjutnya. “Sekarang, kita terima dengan hati lapang pemenang pilkada ini. Janganlah protes dengan cara-cara tidak beradab, jadikan daerah kita ini kondusif seperti harapan para kandidat sebelum kampanye yakni menciptakan pemilukada damai. Apa pun kekurangannya…”
“Nah, ini yang kutunggu dari sampeyan. Siap menerima kekalahan, legowo pada kekalahan. Harus kesatria menerima kekalahan. Ikhlas dipimpin oleh pemimpin yang menang dalam pilkada ini,” pujiku.
Lalu kami “tos” dan meneruskan menikmati segelas kopi. Pagi ini…
*) sastrawan, bekerja di Teraslampung.com