Mohon tunggu...
vivi dayanti
vivi dayanti Mohon Tunggu... -

manusia merdeka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menu Kopi Pagi Lengkap

16 Februari 2015   06:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:07 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi, pagi ini, Mat Yusuf mengakui gula putih tetap berguna. Hanya saja jangan keliwatan. Apa pun yang berlebihan, kata dia lagi selayaknya seorang dokter di hadapan pasien, pasti akan membahayakan juga.

“Lo, kenapa pikiranmu tiba-tiba berubah drastis? Apa sebab?” tanyaku mencurigai pandangannya yang berubah begitu cepat.

“Aku tidak berubah, hanya….”

“Hanya mengakui kesalahan?” cegatku.

“Nah, inilah cara berpikir kebanyak orang selama ini. Mengakui kesalahan begitu mahal, apalagi menerima kekalahan. Padahal, salah dan benar atau kalah dan menang, adalah hal biasa. Itulah yang disebut relativitas. Dalam sebuah ilmu, ada salah dan benar. Pada suatu pertandingan, kalah dan menang juga hal biasa. Kau ingat peribahasa, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Itu artinya, kekalahan adalah biasa dan jangan pula menjadi beban yang membuat kita stres. Apalagi, sampai protes berlebihan sehingga pertumpahan darah!”

Mat Yusuf diam sebentar. Sementara aku ingin dia tak lagi meneruskan khotbah paginya. Aku berpikir, sebaiknya menikmati kopi pagi dengan keriangan; misalnya, membicarakan hasil pertandingan sepak bola kelas dunia di televise, ihwal dangdut academy dan comedi academy, OVJ, atau soal cinta anak sekolahan…

“Aku amati dari pilkada yang saat ini tengah penghitungan suara, kandidat yang kalah sepertinya tak menerima kekalahan. Dicarilah kejanggalan dan kecurangan,” ucap Mat Yusuf kemudian setelah berhenti beberapa saat.

“Memangnya dunia politik itu bersih? Tidak kotor? Selalu lurus? Jauh dari money poltic? Mencerdaskan masyarakat dan tidak membodohi rakyat? Tuk kuyuk semua!” hentak Mat Yusuf. Untung saja rumahku berkeramik, kalau tidak yakin dia akan meludah ke lantai.

Aku tersenyum-senyum. Baru kali ini aku mendengar Mat Yusuf bersuara tinggi, melebihi manakala ia ia menuding politik uang saat kampanye dengan maraknya paket gula putih, smebako, mi instan, kain sarung, serta uang.

Mungkin karena gagal tidak bisa meng-out salah satu kandidat calon kepala daerah, dia pun berbalik legowo bahwa kandidat yang ditengarai sebagai penyebar gula berton-ton itu kenyataannya memang harus menang. Bahkan di semua distrik, akhirnya ia pun menerima dengan lapang dada.

“Tak ada yang perlu disesali. Kita harus menerima kandidat itu kini sebagai kepala daerah kita, gubernur kita,” katanya kemudian. “Siapa tahu ada hikmah, ketika daerah ini dia pimpin. Setidaknya harga gula tak pernah naik-naik, syukur kalau malah turun harganya di pasaran.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun