Kenapa banyak penduduk masih enggan untuk go green? Apalagi di Indonesia. Aku adalah salah satu dari orang-orang ambivalen terhadap gaya hidup ini. Alasanku kurasa seirama dengan notabene konsumen dunia yang sudah terjebak sistemik luas jual beli produk(dari standarisasi kebersihan murah maka menggunakan paket berbahan plastik dsb) serta merta selera makan yang sulit dipuaskan tanpa daging ternak.Â
Meskipun aku terpesona dengan janji-janji manis gaya hidup zero waste serta veganisme---perasaan melakukan hal kecil yang berefek besar, perasaan ikut serta dengan perubahan dunia, sungguh menarik. Ibarat petualangan mencari skin care terbaik untuk kulit, perjuangan zero waste dan veganisme itu terus-menerus hingga mendorong untuk sibuk berencana dan kreatif memilih tiap harinya.Â
Betapa senangnya dihormati sebagai orang yang teguh dengan solusi moralitas serius berkisar melestarikan Bumi. Kukira banyak orang tergerak hatinya untuk bergabung namun terkendala dilema kepraktisannya. Aku sendiri merasa tak sanggup menerapkannya secara utuh.Â
Aku suka makan sayur dan aku sebisa mungkin buang sampah pada tempatnya. Tapi gaya hidup zero waste dan veganisme ini adalah versi ekstrim dari kebiasaan sehat. Idealisme gaya hidup ini sedang menjadi hype yang beriringan dengan kelompok-kelompok feminis. Banyak pihak (dari konsumen biasa sampai pakar) meragukan penerapan berkesinambungan dari gaya hidup ini, konsistensi dianggap nyaris mustahil.Â
Idealnya semua penduduk menjalaninya supaya Bumi menjadi lebih lestari namun secara praktek, gaya hidup zero waste dan veganisme adalah beberapa dari solusi idealis yang sering diseriusi dan ditinggalkan akhirnya akibat gangguan kesehatan, kekurangan dana, tidak adanya sarana atau kecemasan karena perhitungan konsumsi harian dan kreasi yang ruwet sekali.Â
Pun dalam banyak kasus, penanaman buah-buahan, sayur tidak luput dari produksi gas emisi, disertai akibat transportasinya meninggalkan jejak karbon yang berpengaruh pada perubahan iklim. Meskipun tidak separah produksi daging ternak. Kemudian kontradiksi dari gaya hidup zero waste adalah di aspek daur ulang yang sering memicu polusi.
Tujuan gaya hidup zero waste adalah meminimalisir sampah yang dibuat satu orang. Maka orang tersebut diharapkan selalu beli baju bekas, rutin mengolah sampah rumah tangga jadi kompos, bikin pasta gigi agar mengurangi pembuangan plastik, senantiasa bawa tas sendiri ketika belanja dan sejenisnya. Lalu veganisme yang menerapkan pola makan serba tumbuhan.Â
Pemakaian kedelai sebagai bahan banyak hidangannya, pun banyak kreasi tiruan daging dari jamur dan saus barbekyu serta banyak lagi  demi memenuhi selera. Ini bukan lagi pilihan makanan diet namun sudah ke tahap sebuah prinsip mencintai binatang.Â
Di dunia nyata, walaupun pilihan sikap ini didorong oleh cinta kasih terhadap Bumi, orang yang menekuni gaya hidup zero waste dan veganisme bisa saja dicap 'terlalu rewel' bahkan kurang sopan karena modus utamanya adalah menolak produk umum.Â
Klaimnya kedua gaya hidup ini apabila diseriusi masyarakat bakal berdampak besar untuk mempertahankan planet Bumi(mengurangi sampah dan menekan limbah dari peternakan hewan). Trend go green merebak di masa kini yang salah satu aspek gayanya adalah menganut prinsip-prinsip idealis bertajuk penghijauan. Zero waste dan veganisme berhubungan erat dengan kegiatan thrifting dan gaya pakaian loak.
Tentu saja, komunitas ini tidak buruk. Terlepas politisasi subkultur hijau, integrasi sebagian aplikatif tindakannya memang cukup penting. Membuat gaya go green menjadi trend bagi anak muda di satu sisi punya unsur positif untuk kesadaran masyarakat akan Bumi yang perlu dirawat. Silahkan bilamana berminat untuk menggeluti gaya hidup zero waste atau veganisme.Â
Meskipun realistisnya orang hanya sanggup mengikuti aturan-aturan inti kebersihan dan kesehatan. Perlu solusi lebih varian untuk menangkal masalah kelestarian Bumi, berpatok pada perubahan dalam skala masif khususnya di inovasi plastik mudah terurai, inovasi daur ulang, perombakan ulang mekanisme pabrik dan sejenisnya.Â
Dalam kasus gaya hidup zero waste dan veganisme, realistisnya adalah inkorporasi sebagian dari elemen-elemennya di keseharian seperti sudi pakai sedotan kardus dan menolak kantong plastik secara berkala serta tertarik sesekali mengolah menu berbahan dasar kedelai. Kukira, banyak orang merasakan hal serupa terkait tak kuat ribet tiap hari memikirkan rancangan rencana makanan vegan dan tindakan zero waste. Ini bukanlah kemalasan dari pihak siapapun, tapi manusiawi saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H