Namun di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini, Badan Ekonomi Kreatif yang ia bentuk seolah mati suri. Hal itu bisa dilihat dengan sangat minimnya pemberitaan di media massa ( baik cetak, elektronik, mau pun media online) mengenai kegiatan yang dilakukan oleh Badan Ekonomi Kreatif di bawah kepemimpinan Triawan Munaf tersebut.
Padahal, saat ini Indonesia tengah menghadapi era persaingan bebas di bidang perdagangan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang bergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Apa yang dapat kita andalkan untuk menyaingi mereka di saat Sumber Daya Alam kita nyaris punah dan musnah? Tentu kini kita hanya dapat berharap dan mengandalkan produk-produk industri kreatif kita yang berbasis kearifan lokal.
Kabupaten Sambas terletak di ujung utara Kalbar, dan merupakan salah satu dari tiga kabupaten di Kalbar yang berbatasan langsung dengan Malaysia Timur ( Sarawak), selain Sanggau dan Kapuas Hulu. Tentu selain diuntungkan oleh faktor geografis tersebut, posisi itu juga menimbulkan kerawanan. Masuknya narkoba dari negara tetangga serta maraknya TKI/ TKW ilegal dari Kab. Sambas ke Malaysia melalui ‘jalan tikus’ merupakan potensi ancaman yang harus diantisipasi sedini mungkin.
Selain itu, masalah keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat di wilayah perbatasan bukanlah hal baru, dan hal ini sering memicu terjadinya masalah sosial. Bahkan seringkali dijumpai, masyarakat di perbatasan tidak merasa bahwa mereka merupakan bagian dari Indonesia. Secara psikologis dan geografis, mereka memang lebih dekat dengan negara tetangga. Hal itu juga menimpa sebagian masyarakat Sambas, khususnya yang berdomisili di dekat perbatasan Malaysia, seperti di Kecamatan Sajingan dan Paloh.
Sebagai implikasi dari berbagai masalah sosial yang terjadi di kawasan perbatasan tersebut membuat penduduk di kawasan perbatasan memiliki loyalitas yang sangat lemah kepada negaranya sendiri bahkan secara etnis, emosi, dan ekonomi, mereka seringkali merasakan bagian dari yang lain yakni sebaga entitas bukan-negara. Semua ini karena mereka memiliki suatu pandangan bahwa mereka memiliki hubungan sosial ekonomi yang lebih rapat dengan masyarakat di kawasan perbatasan dibandingkan dengan pusat pemerintahan yang jauh dari kawasan mereka, hal inilah yang menghasilkan perasaaan lemah dalam hal rasa memiliki (feel of belonging) dan penghayatan identitas nasional (internalization of national identity).
Berdasarkan Kal Bar dalam angka (2012) garis kemiskinan dan jumlah penduduk miskin di Kal Bar berjumlah sekitar 428,76 ribu orang dengan persentase penduduk miskinnyasekitar 9,02 persen. Kab Sambas berada pada tahap tertinggi yaitu 50,00. Kemiskinan ini bukan persoalan sepele karena akan menjadi akar permasalahan sosial lainnya. Kemiskinan ini tidak terelepas dari pendapatan minimal kebutuhan dasar, dan secara sosial ekonomi masyarakat miskin diabaikan untuk mengambil keputusan dalam mengubah nasib dirinya secara mandiri.
Pemerintah Kab. Sambas sedang menggiatkan industri kreatif bercirikan kearifan lokal Melayu Sambas. Produk andalan mereka berupa kain tenun/ songket. Kain tenun Sambas bahkan dua kali mendapat penghargaan warisan budaya tak benda khas Kalbar dari UNESCO. Pertama pada tahun 2012 silam, dan yang kedua pada 2014. Pada penghargaan kedua, kain tenun Sambas kembali meraih penghargaan Unesco Award of Excellence for Handicrafts. Sertifikat tersebut diserahkan pada tanggal 10 November 2014 silam, bertepatan dengan Hari Pahlawan oleh World Craft Council kepada dua perempuan penenun asal Sambas, Nurlela atas karya motif ”Tabur Bintang Tabur Katun” yang berbahan katun ( kain Cual ) dan Budiana dengan karya motif “Penyu Beturus”. Peneliti pernah bertemu Ibu Budiana secara langsung sewaktu peneliti bekerja di Sambas. Tenun Sambas pun pernah mendapatkan penghargaan rekor Muri dengan ukuran terpanjang di Indonesia.
Harga kain tenun ini relatif mahal, apalagi yang menggunakan benang dari bahan alami ( bukan sintetis) seperti yang dilakukan oleh Ibu Budiana. Harga kain Cual saja sekitar Rp 500.000-Rp 1.000, tergantung ukurannya. Harga kain songket Sambas bisa dua kali lipat. Dan tidak semua orang mampu membeli kain Sambas sebagai oleh-oleh. Mereka biasanya mencari alternatif lain untuk dibawa pulang, seperti makanan kemasan yang asli produk Sambas, tentu saja dengan harga lebih terjangkau.
Selain Kain tenun, kabupaten ini juga sangat kaya akan produk industri kreatif bercirikan lokalitas seperti di bidang kuliner terkenal dengan Bubur Pedasnya. Bubur Pedas (masyarakat Sambas menyebutnya Bubor Paddas) terbuat dari beras merah dan sayur-sayuran seperti pakis dan sayuran lainnya yang sehat dan mengenyangkan. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat pernah mengadakan festival kuliner di Kota Malang, Jawa Timur, beberapa tahun silam. Bubur Pedas menjadi makanan favorit masyarakat Malang selama acara tersebut.
Peneliti pernah berbincang dengan pelaku UMKM di sana agar mereka mengemas bubur pedas dalam kemasan instan siap makan ( seperti Pop Mie) yang cukup diseduh dengan air panas saja langsung bisa dimakan. Peneliti berniat memperkenalkan bubur pedas instan itu ke Jakarta. Namun, mereka belum mempunyai kemampuan dan teknologi canggih untuk mengemasnya.
Kecamatan Sambas sendiri yang sekaligus juga merupakan Ibukota Kabupaten Sambas, bahkan hingga kini belum mampu mengolah makanan praktis sebagai oleh-oleh khas daerah tersebut yang dapat dibawa pulang oleh wisatawan. Pada pameran yang diadakan Pemerintah Kabupaten Sambas tahun lalu, semua makanan ringan seperti dodol nanas dan dodol cempedak yang sudah dikemas dengan kemasan yang masih sederhana, merupakan produk dari Kecamatan lain di luar Kecamatan Sambas, seperti Kec. Pemangkat dan Kec. Tebas ( keduanya masuk wilayah Kabupaten Sambas). Kec. Tebas merupakan daerah penghasil jeruk asal Kalbar, yang di Jakarta lebih dikenal dengan sebutan ‘Jeruk Pontianak’.