Mohon tunggu...
Vivera Siregar
Vivera Siregar Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer. Tutor fotografi. Guru bahasa Perancis

http://viverasiregar.wordpress.com/ https://www.instagram.com/viverasiregar/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya malas membaca

15 Desember 2012   04:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:37 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_221858" align="alignleft" width="150" caption="Turis di Angkor Wat"][/caption] Belasan tahun lalu, saya naik kereta api di sebuah kota kecil di Perancis. Masuk ke dalam gerbong, nyaris tak ada suara, masing-masing penumpang asyik sendiri, kebanyakan membaca, dan tak satu pun memperhatikan atau mengangkat kepala ketika saya melintas untuk mencari tempat duduk. Hanya ada suara roda kereta menggilas rel, dan suara orang mengobrol di ujung gerbong sebelah sana. agak ramai. Saya terus menyusur, makin mendekat ke arah suara ramai tadi. Semakin dekat, dan kecewa, karena dugaan saya tidak meleset, yang sedang mengobrol itu orang Indonesia. Jadi memang tak terlalu salah apabila seorang teman di jejaring sosial menulis status "kita ini malas membaca...". Terbukti, ketika satu kereta hening, kita lebih suka mengobrol, atau tepatnya "ngobrolin orang" ketimbang berlaku seperti penumpang lainnya, berkonsentrasi dengan bacaan mereka. Padahal, kalau diperhatikan lebih jauh, bicara itu lebih meletihkan daripada membaca, energi yang dikeluarkan lebih besar. Kalau dilihat dari segi manfaat yang didapat, juga tidak sebanding. Kalau kita membaca, kita mendapat banyak pengetahuan, banyak ilmu, bahkan seandainya yang dibaca adalah komik atau novel, tetap saja ada manfaatnya. Setidaknya, imajinasi kita terasah, dan juga mendapat pengayaan kosa kata. Dengan melakukan kegiatan membaca, s Dengan bicara, manfaat apa yang didapat? Jelas bukan untuk diri kita. Kita memberi kepada orang lain, mengeluarkan ucapan. Bagus kalau yang diucapkan itu menjadi manfaat untuk orang lain, lha kalau hanya sekadar menjadi penyambung lidah dari acara infotainment di televisi, lantas apa manfaatnya? Apalagi kalau menjadi sarana penyampai dari bisik-bisik tetangga sekitar rumah. Wah, malah kerugian yang didapat. Lalu, dengan jurang manfaat selebar itu, kenapa lebih banyak orang yang senang mengobrol dan bicara ketimbang membaca? Tampaknya ini masalah kebiasaan, yang kemudian membudaya. Tidak banyak orang gemar membaca, karena memang tidak banyak orang yang melakukan pembiasaan membaca. Saya mengenal seorang ibu yang kerap menyuruh anak-anaknya membaca dan  belajar di waktu tertentu, sementara dia sendiri duduk di depan tivi dan menonton berita perselingkuhan seorang artis, yang sesungguhnya bukan urusannya. Satu contoh baik saya dapat dari seorang bapak beranak dua, yang  memberlakukan "jam membaca"  di rumah, bersama anak-anaknya, saat mana suasana hening karena setiap anggota keluarga berkonsentrasi dengan bacaannya masing-masing. Hanya sesekali si anak bertanya tentang hal-hal yang tidak dimengerti olehnya. Sayangnya, bapak budiman ini bukan orang Indonesia. Tapi kita tokh bisa mengambil contoh dari kebiasaan yang dilakukannya. Memang benar, bahwa kita adalah bangsa dengan budaya tutur, dan bukan budaya baca. Itu sebabnya di beberapa daerah di Indonesia ada kebudayaan mendongeng, yang pelakunya piawai menceritakan sesuatu sehingga tampak begiu hidup. Tapi sebaiknya itu jangan dijadikan pembenaran dan pemaafan untuk tidak membaca. Betapa pun majunya teknologi masa kini, meski sekarang orang dengan mudah mendapatkan info dari internet, dari jejaring sosial, dari perangkat kecil serupa ponsel dengan fitur BBM ataupun whatsapp, akan berbeda hasilnya dengan info yang didapat dari membaca, terutama membaca buku. Karena seringkali info yang didapat dari internet hanya sepersekian dari keseluhuran sebuah buku, sehingga informasi yang diperoleh seringkali menjadi tidak utuh. Baiknya pembiasaan membaca memang dimulai di rumah. Apa boleh buat, ini menjadi pekerjaan rumah bagi para orangtua, karena kegiatan yang baik selalu harus diberi contoh, dan bukan hanya diperintahkan kepada anak-anak tanpa teladan sama sekali. Dengan harapan bahwa anak-anak masa depan adalah manusia Indonesia yang lebih cerdas dengan budaya rajin membaca. Semestinya ini bukan hanya impian, kalau saja banyak yang menyadari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun