Mohon tunggu...
Vivana Cecillia
Vivana Cecillia Mohon Tunggu... -

Hal apa yang tidak pernah aku tangisi ? Jawabnya "tidak ada". Bahkan hal kecilpun mampu menjadi penyebab tangisanku. Aku wanita lemah, selalu menangisi kehidupan yang serasa tidak pernah adil, aku berteriak memaki kehidupan. NAMUN.. Dalam kelemahanku, aku menemukan sebuah makna kehidupan. Bahwa tangisan tidak akan pernah menyelesaikan masalah demi masalah. Yang harus aku lakukan adalah bangkit, berjuang dan fokus pada tujuan. aku terdiam dalam keheningan, aku menangisi kelemahanku, aku pejamkan mata dan menghela nafas panjang. Seketika aku bangkit, berjuang dan selalu optimis. Tujuanku adalah alasanku, memperjuangkan kehidupanku, kehidupan nyawa hidupku ( Orang-orang yang mencintaiku ). Dan saat ini aku ADALAH wanita HEBAT, aku wanita KUAT.. AKU, KAMU, KITA.. heii WANITA HEBAT, WANITA KUAT, bangunlah dari mimpi, kejar mimpi mu dan jadikan sebuah kenyataan indah penyebab senyumanmu dan keluargamu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pramugari dan Diary Depesiku (5)

17 Maret 2013   03:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:38 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ARTI SEBUAH PERJUANGAN

Perjuangan akan selalu menuntut untuk mengorbankan sesuatu, belajarlah sedikittt saja untuk IKHLAS berkorban, agar hasil yang didapatkan lebih terasa indahnya..



“Sofie, kamu terlihat lemas sekali. Kamu nggak enak badan ya?”

Nggak An, aku baik-baik aja kok.

Ahh, nggak mungkin, kamu sakit ya fie? Aku anterin ke dokter ya?

Nggak usah Ran, aku nggak apa-apa kok. Sofie tersenyum—menghibur.

Mmhh, ya udah, nanti kalau kamu mau kedokter, kasi tau aku ya, aku temenin.

Aku menyelimuti Sofie yang teramat pucat—pasi. Malam itu langit begitu cerah, aku dan Endita sibuk menjemur pakaian yang baru saja kami cuci. Kami mendapatkan kamar paling atas yang bersebelahan dengan tempat menjemur pakaian di atap. Kami hanya bisa melakukan pekerjaan itu pada malam hari, karna pagi harinya kami harus sudah berada di training center dan kembali setelah matahari mulai terbenam. Terasa sekali perjuangan kami, namun kami menjalaninya dengan senang hati, karna memang tujuan kami adalah untuk menjemput janji Tuhan.

“Dit, tadi sore aku lihat Sofie sedikit lemas, mungkin dia sakit. Tapi dia nggak mau diajak ke dokter.

Iya Rania, aku rasa juga begitu, dia memang terlihat seperti orang sakit, dia kurusan ya, trus juga jadi sedikit murung.

Iya, kasian. Dua hari yang lalu ketika Arlan kekasihnya datang kesini, mereka sempat bertengkar. Mungkin juga karna mikirin Arlan kali ya Dit?

Mmhh, mungkin aja, Ran, Arlan itu kayanya nggak peduli sama Sofie. Dia hanya ingin bersenang-senang aja, tapi giliran Sofi udah sakit gini, dateng pun nggak!

Takk..takkk.takkkk....Suara langkah kaki terdengar semakin dekat, Sofie dengan tubuhnya yang lemah akhirnya sampai juga di kamar ku dan Endita.

“Rania, Dita, aku numpang dikamar kalian boleh nggak?”

“Sofie, kamu nggak perlu minta ijin, kalo kamu mau, kamu boleh disini semaumu, tapi ada apa? Nggak biasanya kamu begini.

“Rania, kamu tau kan kalo dikamar tuh cuma ada aku dan Bella, dan malam ini dia malah bawa Hendra nginep, aku kan nggak enak, Rania.

“Astagfirullah, Bella nggak mikirin kamu ya Fie, kamu tuh lagi sakit gini!

Udah fie, kamu nginep dikamar kita aja.Sahut Endita.

Iya fie, nggak usah dipikirin semua yang dilakukan Bella.

Kamar ku dan Endita memang sangat kecil, hanya cukup untuk dua orang, dan jarak dari tempat tidur ke toilet hanya 1 meter, tempat tidur dan kaca hampir tidak berjarak sama sekali, namun cukuplah untuk satu orang jika tidur dilantai tanpa kasur.

“Sofie, kamu tidur diatas aja ya, biar aku yang dibawah.

Nggak Ran, aku aja.” Jawab Endita.

Ahhh, nggaakkkkk, aku aja yang dibawah, aku kan numpang.

Ya ampun Sofie, kamu nggak perlu ngomong gitu, aku memang lebih senang tidur dilantai, lebih adem.

Kalo kamu nggak mau, aku turun aja, aku tidur didepan kamarku saja.

“Sofieeeeeee, kamu nggak boleh gitu, ya udah deh, kamu boleh dibawah, tapi kan kamu sakit fie.

Nggak apa-apa, nanti aku pake alas kardus.

Hatiku terenyah, tapi memang itulah kenyataannya, kami memang tinggal di tempat kos yang benar-benar biasa, dan kami menjalaninya dengan senang hati karna memang kami yakin dalam waktu tiga bulan, kami akan segera pindah dari sini, nasib kami akan berubah. Itu janji Tuhan, sungguh janji Tuhan.

*“Selamat pagi Mbak Rama.

Pagi dek.

Kami berlalu menuju kelas setelah menyapa Mbak Rama, Mbak Rama adalah salah satu instruktur di training center ini, dia sangat baik, dia selalu memperhatikan perubahan-perubahan kami. Dia juga selalu memberi masukan serta motivasi untuk kami, tidak lupa dia juga berbagi pengalamanmulai dari dia mengikuti training hingga bisa menjadi instruktur seperti sekarang ini.

“Sofie, kamu kedokter sekarang ya, nggak boleh nolak, kamu udah lemes gini.

Ya ampun Sofie, kamu kenapa, sudahteman, kita bawa dia kedokter sekarang! Endita geram.

“Mbak Rama, Sofie sakit, “ Jeritku menghentikan langkah Mba Rama.

“Sofie, kamu kenapa, kenapa bisa begini, kamu kedokter ya sekarang, ditemani Rania dan Endita.

Sofie ragu, dia terlihat lemah, namun matanya tidak bisa membohongi kami, sorot matanya menyimpan banyak kepedihan yang membuatnya terlihat seperti tertekan.

“Mbak, berapa harga obatnya?”

Totalnya 800.000.

“Berapaaaa Mbakkkk???” Aku terkaget-kaget mendengar jawaban dari staff rumah sakit itu. Aku dan Endita yang saat itu hanya punya beberapa puluh ribu, terdiam dan saling melempar pandangan, entah bagaimana caranya kami menebus obat itu. Namun kami mencoba membuka dompet Sofie, yang pada saat itu terdapat uang sejumlah843.000.

“Dita, kita pake ini dulu aja ya. Nanti kita coba hubungi ibunya Sofie, mungkin beliau bisa bantu. Atau kita minta bantuan teman-teman jika ada yang peduli.

“Aku Cuma kena tipus Ran, obat itu terlalu mahal. Aku nggak perlu minum obat, nanti juga sembuh kalo istirahat. Itu uang kos aku Ran, aku harus gimana?

Sofie yang terlihat lemah akhirnya meneteskan airmata, tidak tega rasanya menyaksikan Sofie begitu. Namun ini semua kami lakukan untuk kesembuhannya, andai saja aku dan Endita punya uang lebih, kami pasti tidak akan menyaksikan airmata Sofie melewati pipinya yang mulus itu. Hari ini, aku dan Endita terenyuh demi melihat air mata itu, kau akan baik-baik saja, Sofie—sungguh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun