Selesai makan-makan, Kintan memutuskan: pokoknya harus bermalam di tempat yang sama dengan tim trio Solo, yang kami jumpai di Cikasur. Alasannya, tim trio piawai menciptakan api unggun yang diyakininya mampu mengeringkan sepatunya yang basah akibat tercebur di Sungai Cisentor. Ketimbang bingung memilih, aku terus berjalan dipanggang siang.
Langit masih begitu terbuka. Panas sengangar pada siang itu seolah-olah meminta kami agar tidak terburu-buru, melainkan sering-seringlah menoleh sembari meresapi syahdunya suara alam. Alhasil, kami cepat haus dan lelah. Kemudian, Kintan lagi-lagi meminta izin untuk mendahului kami yang asyik beristirahat di naungan cemara, sebelum sejurus kemudian melesat, lenyap dari amatan, membuktikan langkahnya yang tidak lambat-lambat amat.
Jalan yang mendatar membuatku bertambah gesit. Pelan-pelan, raincover biru kedodoran yang membungkus keril Kintan terintip dari balik ilalang yang ramai menjuntai. Tibalah kami di persimpangan yang ternyata tidak sekadar persimpangan jalan, tetapi juga persimpangan takdir. Di titik ini, jalan setapak begitu samar di antara semak belukar, membuatnya sukar ditelaah. Sedangkan di sisi kanan, sebatang pohon yang tumbang melintang menawarkan pilihan yang seolah-olah lebih nyaman. Jalur yang sebelumnya kami tapaki bak putus di ujung jalan.
Alih-alih tenang dan teliti dalam keadaan saru, kami langsung memilih belok kanan. Pilihan yang membawa kami pada pilihan lokasi bermalam yang lain.
Tak ada jalan setapak atau pita mentereng yang tersimpul di ujung-ujung ranting sebagai penanda jalur. Sekeliling disesaki pohon-pohon yang mati berdiri. Semak-semak yang rantingnya sudah mati mengering menggores betis sampai kening. Telapak tangan lamat-lamat menghitam gegara mencengkeram dahan-dahan perdu yang berselaput abu legam.
Nelangsa. Otot-otot yang sedari kemarin rukun sentausa, sore ini mulai manja. Di saat paru-paru mulai tak seimbang letaknya, otot betis sebentar-sebentar mogok. Ketika dua biji paha serasa akan meletus, pundak sebelah kiri maupun kanan juga mulai nyut-nyutan seakan ingin melocot keluar dari rumahnya. Berulang-ulang aku terperosok; hasil akhir dari kombinasi perut lapar, medan terjal, dan cuaca dingin. Memang, kalau makhluk-makhluk laknat itu sudah merobok, raga seakan mainan ringkih yang mudah ngadat.
Beruntung, stok Geliga Krim masih banyak. Energi panasnya bak kehangatan Bunda yang merayu otot-otot tubuh agar berhenti merengek dan segera bekerja buat mengimbangi langkah Bang Bin, Lutfi, dan Kintan, yang sejak awal pendakian memang sedang dalam kondisi prima.
Dua jam menjauh dari persimpangan itu, aku sudah sadar kalau kami tersesat di Argopuro. Tersesat. Di Argopuro.
Targetnya, sebelum gelap mengangkasa, kami menemukan lahan yang sekiranya terlindung dari terpaan angin yang deraunya begitu mencekam. Dinding batu raksasa di ujung pandangan didaulat jadi pengungsian, sembari berharap di baliknya ternyata Puncak Rengganis.
Tapi, kosong...