Sedikit terlambat, kami jadi rombongan pamungkas yang meninggalkan jejak rumput Cikasur. Sampai detik ini, lokasi kami nanti bermalam belum jelas. Pilihannya dua: Rawa Embik dengan sungai yang mengalir di balik tenda atau Alun-alun Lonceng dengan puncak di depan mata. Kami memilih terus berjalan. Hitung-hitung kasar, rasanya kami belum jua merampungkan setengah perjalanan. Padahal, pagi ini menandai hari ketiga pendakian.
Gunung Argopuro, yang bernama lain Dataran Tinggi Hyang ini memang luar biasa. Predikat jalur pendakian terpanjang se-Jawa tersemat di dahinya. Konon, sepaket pendakian yang dimulai dari Desa Baderan sampai tuntas di Desa Bremi memakan jarak 45 kilometer. Maka tak heran, pendakian Argopuro menyita lima hari perjalanan. Termasuk kami, yang sudah curang pada awal pendakian dengan menunggang ojek dari Desa Baderan hingga pintu hutan.
Opsi licik itu kami pakai menilik waktu keberangkatan yang molor. Niat berangkat pukul 10 pagi hanya isapan jempol ketika arloji menunjuk pukul 1 siang. Durasi selama 2 jam yang harus ditempuh andaikan berjalan kaki, dipangkas menjadi cuma 20 menit dengan mengojek. Pun demikian, sensasi pegal yang ditimbulkan setelahnya tak kalah gawat dengan jalan kaki menggendong keril.
Sebab, para pasukan ojek yang memboyong kami, melaju dengan kecepatan tinggi, menghajar medan bebatuan, menanjak dan menikung. Tubuh terpaksa menegang. Geliga Krim pun menjadi penawar atas siksaan fisik perdana yang kami derita usai turun dari motor. Bukan tak sengaja, saya meletakkan Geliga Krim di kantong luar keril, bukan di dalam resleting, agar mudah diraih selama mendaki.
Sepekan sebelum meluncur ke sini, saya terserang demam yang mendesak tubuh rehat total, alih-alih melatih fisik sewayahnya pendaki sebelum berangkat. Terang saja Bunda resah bukan kepalang dengan agenda pendakian ini. Bunda yakin, mustahil mendaki apabila otot-otot belum pernah dipersiapkan; sepasang tungkai dan dua bilah otot punggung pasti menjadi mangsa empuk buat pegal, kram, dan cedera sialan lainnya.
Apalagi, sejak pintu hutan hingga sabana Cikasur yang berjarak dua hari, trek pendakian justru berupa jalur ban motor, lantaran, usut-punya usut, pasukan ojek Desa Baderan bisa ditunggangi hingga Cikasur! Jika begini, pendaki tinggal disisakan dua opsi: mendaki ngangkang nan menguras cairan tubuh lebih lekas atau jalan menyusuri garis lurus bak model yang, selain mengundang kram otot betis, kaki akan lebih rentan keserimpet, tubuh oleng, lantas: gubrak.
Tapi, pagi ini, saya malah merasa lebih segar ketimbang saat berangkat dari rumah. Di samping seabrek oksigen Argopuro yang saya cerap berkelimpahan, pijatan jemari berkrim Geliga juga berandil besar. Pantas, Bunda senantiasa memakainya saban hari.
Sebagai padang terluas daripada sabana-sabana yang kami jumpai sejak hari pertama, Cikasur bukan sabana terakhir, ternyata. Usai Cikasur, ilalang dengan batang yang lebih menjulang menghiasi sekeliling. Masuk hutan, jumpa sabana, masuk hutan, jumpa sabana. Terus begitu hingga lama-kelamaan, sabana yang awalnya terlampau menarik pun terasa rutinitas yang menjemukan.
Akhirnya, kami tiba di ujung bukit; jalur pendakian berubah. Turunan sempit. Jurang menganga di sisi kiri dan jelatang melela di sisi kanan -- jelatang ialah flora endemik Argopuro yang daunnya bakal menimbulkan gatal, perih, hingga demam semalaman. Telingaku mulai menangkap deru sungai yang menggebu. Dengan asumsi bahwa deru itu berasal dari Sungai Cisentor, maka langkah kaki pun terpanggil untuk bergegas seraya menaruh waspada tinggi, menghampiri Kintan yang jauh meninggalkan kami.
Di Cisentor, ada sebuah pondokan kayu yang cukup besar. Di situ, kami sempatkan memasak makan siang yang gampang-gampang saja -- asal ngganjel.Makaroni instan diseduh dalam wadah yang sama dengan mi instan, bumbunya dicampur. Selain di gunung, mustahil menu dengan citarasa aneh ini terhidang, walaupun micin alias MSG tetap juara lezatnya.
Munculnya pilihan bermalam ketiga