Mohon tunggu...
Vitto Prasetyo
Vitto Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Laki-laki

pegiat sastra dan peminat budaya, tinggal di Malang

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Second Life at Fourty, Cinta dan Krisis

27 Februari 2021   21:46 Diperbarui: 27 Februari 2021   21:52 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah ungkapan yang kadang disalahartikan dalam menjalani kehidupan. Bahwa untuk mengembalikan rasa kepercayaan diri dibutuhkan hal-hal baru yang sering melanggar etika normatif. Hal yang menjadi pameo di masyarakat, bagaikan warisan budaya yang mengikuti perubahan zaman. Apalagi di zaman modern, ada nilai-nilai humanis yang mulai ditinggalkan.

Skeptisisme masyarakat yang terbangun dari masyarakat plural dan heterogen, lebih berorientasi pada nilai-nilai kesepakatan yang dianggap bisa mempertahankan peran nilai peradaban. Meski hal ini sering melenceng dari esensi adat-istiadat yang secara historis sangat kental dengan nilai dan nuansa religius.

Ungkapan asing "second life at fourty" hanyalah sebuah istilah yang sering terdengar, yang sebetulnya untuk membangun semangat hidup orang-orang yang sudah berusia 40 (empat puluh) tahun ke atas. Kenapa demikian, karena aktivitas sebelum usia 40 digambarkan sebagai aktivitas yang masih energik dan daya tahan tubuh termasuk pikiran sangat produktif.

Pada masa ini, orang lebih cenderung kepada pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga. Karena orientasi aktivitasnya yang lebih banyak dilakukan di luar rumah, maka akan banyak informasi yang menarik untuk didapatkan.

Pola hidup manusia juga tidak terlepas dari berbagai rintangan dan cobaan, yang mengiringi perjalanan rumah tangga. Sebut saja Boncel yang memulai rumah tangga dengan Markucel sepuluh tahun lalu, pada saat mereka berusia sama-sama 25 tahun.

Bagaimana Boncel memperlakukan Markucel seperti bidadari yang tidak ada duanya. Boncel termasuk pria yang rupawan. Sementara Markucel meski wajahnya biasa saja, tapi servis terhadap Boncel, begitu luar biasa. Baik servis privasi dalam kamar, juga dalam hal urusan dapur, betul-betul bisa menyediakan selera masakan apa saja yang diminta Boncel.

"Kamu memang istriku yang tidak ada tandingannya", begitu manis ucapan Boncel. Markucel hanya bisa mesam-mesem mendapat pujian suaminya.

Ungkapan cinta yang tumbuh di antara mereka bagai benang-benang kasmaran yang tengah merajut sebuah kebahagiaan rumah tangga. Banyak orang yang merasa iri dengan mereka. Keharmonisan Boncel dan Markucel telah memberikan semangat yang luar biasa kepada Boncel dan akhirnya sedikit demi sedikit, karir Boncel makin menanjak. Kalau lima tahun lalu Boncel ke kantor hanya naik motor, kini dia sudah mengganti naik mobil.

Boncel lupa, bahwa perubahan gaya hidup akan mempengaruhi proses menjaga martabat rumah tangga. Dunia luar penuh dengan godaan yang meruntuhkan tembok gengsi hidupnya. Apalagi setelah jabatan Boncel makin menanjak, ada banyak wanita-wanita yang melirik dan berusaha mendekati Boncel. Tidak dapat dipungkiri, wanita-wanita itu mendekati Boncel karena persoalan materi.

Semakin lama Boncel makin berubah kepada Markucel. Sering pulang larut malam. Sering marah-marah kepada Markucel. Jarang makan di rumah bersama istrinya. Pertengkaran demi pertengkaran hampir selalu terjadi tiap hari.

Ungkapan cinta yang penuh romantis, tak pernah lagi keluar dari mulut Boncel. Meski tiap hari bertengkar dengan suaminya, hebatnya Markucel memilih untuk setia dan tetap bertahan hidup bersama Boncel.

Seiring waktu yang berjalan begitu cepat, tidak terasa perjalanan rumah tangga mereka sudah belasan tahun. Anak mereka pun sudah duduk di bangku SMP. Kondisi perusahaan tempat Boncel bekerja akibat merebaknya pandemi tidak lagi berkembang besar.

Banyak karyawan yang sudah diberhentikan karena perusahaan mulai bangkrut. Untungnya Markucel 3 tahun lalu sudah merintis usaha kecil-kecilan yang masih mampu berjalan meski keuntungannya kecil.

Bisnis berbasis online yang dikelola Markucel tidak begitu kelihatan dari kasat mata. Karena tidak menumpuk barang di rumah. Tetapi itu sudah memberikan penghasilan buatnya dan membiayai sekolah anaknya.

Suatu hari, Boncel pulang ke rumah agak siang. Markucel sedikit heran, karena tidak seperti biasanya. Boncel langsung memeluk Markucel begitu erat.

"Aku minta maaf padamu."

"Berapa tahun lamanya, aku telah menyia-nyiakan kamu."

"Aku sudah dipecat dari pekerjaanku."

Tanpa terasa kedua suami-istri itu meneteskan air mata. Entah apakah itu air mata bahagia yang telah hilang bertahun-tahun. Markucel beberapa saat kemudian pergi ke dapur membuatkan minuman hangat untuk suaminya.

Malam mulai turun menyapa Boncel dan Markucel. Hembusan angin seperti kibaskan nyanyian rindu. Mata Boncel menatap rembulan di atas langit. Rembulan itu seakan hadir telanjang, nyaris tanpa busana. Seperti menertawakan diri Boncel.

"Mas, nggak terasa ya. Kini kita sudah berusia di atas 40 tahun." Sapaan lembut Markucel kepada suaminya seperti isyarat cinta kedua.

Terkadang cinta kedua itu kembali di saat usia mulai menginjak kepala empat. Second life at fourty.

"Hahaha...." Derai tawa keduanya memecah keheningan malam. ***

Malang, Februari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun