Ada banyak hal di dunia ini yang bisa terjadi tanpa direncanakan dan diduga-duga. Bermula dari frasa kata "mata", kita dapat melihat dunia luar yang tidak terbatas. Karena dari etimologi kata, frasa "mata" sebagai alat tubuh manusia untuk melihat sesuatu.Â
Tak jarang kata ini menjadi makna ambigu dalam konteks kehidupan sosial. Bagaimana seseorang memperlakukan orang lain dengan bahasa yang menurut logikanya benar. Tetapi menjadi salah dalam ukuran normatif. Ini karena setiap orang, meski memiliki pendidikan yang sama, tetapi hasil perilaku sosial akan berbeda.
Banyak aspek atau variabel dalam masyarakat yang menjadi faktor dominan atau tidak, dalam bentuk-bentuk interaksi sosial antar masyarakat. Disamping pendidikan, kita juga bisa menganalisa perilaku sosial tersebut dari kultur (nilai-nilai budaya) seseorang. Dalam edukasi budaya, nilai-nilai normatif yang sangat menonjol adalah proses pembelajaran etika dan estetika. Tetapi jika kita komposisikan dengan kondisi seperti saat ini tentu tidak bisa diambil sebuah kesimpulan yang berbanding lurus.
Kita sering mendengar ucapan seseorang yang disadari atau tidak, sebetulnya sebagai ucapan yang kurang enak didengar. Misalnya, "Sudah tau ada barang di depanmu, seenaknya kamu tabrak. Apa matamu buta?" Persoalannya, bahasa sindiran ini, seakan-akan tidak dipandang dalam konteks etika. Meski kalimat itu menjadi ambigu, karena subjek dan objek sekaligus menjadi penderita.
Dalil pembenaran dalam logika sering digunakan tanpa hitungan matematis. Apalagi yang menyangkut persoalan sosial yang sangat kompleks. Tetapi perlu disadari, bahwa hal-hal yang bergesekan dengan pembelajaran edukasi budaya, tidak terlepas dari nilai-nilai humanisme (kemanusiaan) seseorang. Jadi kembali lagi pada perilaku dan kebiasaan yang mendorong seseorang jadi baik atau tidak.Â
Mata (hati) adalah topik mendalam yang bersinggungan dengan sikap empati seseorang yang bisa diartikan dengan perspektif berbeda. Lebih dalam tentang ini, tentu ruang kontemplasi nalar manusia sering bersentuhan dengan hal-hal spiritual (konsep agama) sebagai dasar untuk melakukan hal-hal yang baik dan benar.
Secara kasat mata, sering kita melihat orang melakukan hal-hal yang baik (humanis) yang dilakukan oleh orang lain. Tetapi ada yang tidak mampu kita melihatnya, kecuali dengan bahasa hati. Maka dalam konsep sosial yang melatarbelakangi prinsip-prinsip batiniah, makna "mata" menjadi simbol kekuatan seseorang dalam menempatkan dirinya untuk berinteraksi sosial. Tentu dengan dimensi yang berbeda.
Roda kehidupan itu terus berputar, dimana siapa saja bisa mengambil pelajaran dari sesuatu yang tampak dan yang tidak tampak. Dari yang berwujud atau tidak berwujud. Hanya kadang kita melihatnya dari sisi yang berbeda, bahwa proses edukasi itu tidak harus lahir dari lingkungan sekolah (formal). Dengan sedikit berpuisi, adanya warna hitam itu karena adanya warna putih. Maka ada hal yang baik menurut kita, belum tentu baik bagi orang lain. Begitupun sebaliknya. ***
Malang, 21 Februari 2021Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H