Beberapa alasan mengapa masyarakat di daerah perkotaan lebih rentan stress yaitu karena kehidupan yang sibuk seperti berangkat kerja di pagi hari dan pulang larut malam, dituntut dengan gaya hidup yang bisa dibilang cukup mewah, tekanan ekonomi juga menjadi salah satu faktor alasan mengapa masyarakat di daerah perkotaan menjadi rentan terkena stress. Oleh karena itu, peran sastra populer disini diharapkan mampu mencegah terjadinya hal tersebut.
Jika kita mengambil sudut pandang sebagai penulis ataupun pengarang, daerah tempat perkotaan dan sastra populer bisa dibilang cukup berkaitan, sastra dan daerah kota, atau daerah urban, memiliki hubungan dalam beberapa hal. Selain sebagai salah satu faktor pendukung utama produksi sastra (penerbitan dan percetakan, pendidikan, distribusi dan ekonomi), kota juga merupakan bagian penting yang diolah dalam karya sastra (misalnya dalam latar, konflik, maupun penokohan).Â
Terutama jika kita sebagai penulis ataupun pengarang merasakan langsung atmosfer bagaimana hiruk-pikuk tinggal di kota, keresahan yang dituangkan dalam bentuk karya pun akan semakin relate jika dibaca oleh para penikmat karya sastra.Â
Ilustrasi perihal wilayah, terutama wilayah perkotaan, menjadi sumber permasalah dan latar yang banyak dikemas dalam karya sastra. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, petama-tama daerah yang terdekat dengan diri pengarang atau penulis menjadi pilihan.Â
Hal ini tentu saja diakibatkan oleh konflik yang terjadi, pembuatan atau penokohan dari karakter, bahasa, latar belakang budaya yang ada di daerah tersebut, visualisasi dan deskripsi di dalam karya sastra, dan bagaimana penyelesaian masalah dapat dikuasai dengan baik dan ciamik oleh pengarang atau penulis.
Salah satu contoh karya sastra populer yang menurut saya cukup populer yaitu sebuah novel karya seorang penulis, komedian, sutradara, produser, aktor, dan YouTuber yaitu Raditya Dika yang berjudul Marmut Merah Jambu yang diterbitkan pada tahun 2010. Novel yang menceritakan kisah percintaan anak remaja di zaman sekarang dengan alur cerita yang mudah dipahami, Â bahasa yang digunakan dalam nover Marmut Merah Jambu ini pun menggunakan bahasa sehari-hari, sungguh sangat sastra populer sekali.Â
Novel Marmut Merah Jambu ini juga merupakan pengalaman pribadi sang penulis yaitu Raditya Dika, oleh karena itu dengan hanya membaca Marmut Merah Jambu ini kita turut merasakan bagaimana kisah percintaan Raditya Dika semasa remaja.Â
Dengan tema cerita seperti ini, dan juga gahasa yang digunakan pun bisa dibilang bahasa gaul, tidak heran jika para pembaca novel ini kebanyakan dari kalangan remaja yang tinggal di daerah perkotaan karena merasa relate dengan apa yang terjadi di dalam cerita novel tersebut. Lalu pada tahun 2014, novel Marmut Merah Jambu ini diadaptasi menjadi sebuah film.Â
Kelarisan novel Marmut Merah Jambu ini juga menjadikan salah satu alasan mengapa sang penulis ingin menjadikannya sebuah film. Ini menunjukan bahwa perkembangan sastra populer di masyarakat perkotaan ini sangat signifikan, dari yang hanya sebuah tulisan yang dibukukan, hingga diadaptasi dan dijadikan sebuah film karena masyarakatnya yang begitu antusias terhadap sastra populer ini.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkembangan kesusastraan dapat dibilang cukup pesat, dari yang hanya sebuah secarik kertas yang berisikan tulisan, sekarang menjadi sebuah tulisan yang bisa dimuat di dalam teknologi.Â
Perkembangan suatu sastra juga tidak tanpa sebab, salah satunya yaitu perkembangan budaya, karena sastra dan budaya ini sangat erat kaitannya satu sama lain. Seiring berkembangnya budaya yang makin populer, perkembangan sastra pun turut menjadi sastra populer.Â