Pemikiran Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan menekankan pada pembentukan karakter yang selaras dengan kearifan lokal (kodrat alam).Â
Tentu saja hal ini memiliki relevans dalam konteks sosio-kultural (nilai-nilai luhur budaya) yang terdapat pada daerah masing-masing. KHD beranggapan bahwa kekuatan sosio-kultural dapat menjadi pendorong utama pembentukan karakter pada anak.Â
Provinsi Riau sangat kaya akan tradisi yang telah medarah daging pada setiap lapisan Masyarakat. Nilai sosio-kultural yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Melayu dapat kita lihat di bawah ini secara seksama.
Gotong Royong
Kegiatan gotong royong tidak lagi menjadi sebuah perihal yang asing dalam kehidupan orang Melayu. Kegiatan ini kerap dilakukan Masyarakat Melayu terlebih saat akan mengadakan sebuah kenduri. Fenomena gotong royong ini salah satunya tercermin pada proses pembuatan jalur atau sampan panjang yang ada di sepanjang daerah aliran Sungai Kuantan atau Indragiri. Jalur yang pada zaman dahulu digunakan untuk transportasi air kini telah bertransformasi menjadi kenduri tahunan Masyarakat yang dikenal dengan istilah "pacu jalur". Untuk membuat sebuah jalur diperlukan tenaga dan ritual dari Masyarakat yang hendak membuat jalur. Jalur selalu dibuat dengan memilih kayu tua dan besar yang ada di hutan. Selepas itu kayu digotong keluar hutan secara beramai-ramai hingga kayu tersebut diolah menjadi jalur. Proses panjang ini tentu akan memakan waktu dan tenaga yang banyak. Mustahil jika tidak dilaksanakan dengan bergotong royong. Proses ini dalam masyarakat Kuantan Singingi dikenal dengan istilah "maelo jaluar".
Keberagaman Budaya
Riau provinsi yang terletak di tengah jantung Pulau Sumatra menjadikannya sebuah tempat yang strategis terlebih pada aktivitas dagang. Kegiatan perdagangan yang ada di Riau tidak hanya dikuasai oleh orang Melayu akan tetapi juga terjalin dengan bangsa-bangsa lain dari luar tanah bertuah ini. Katakanlah bangsa Bugis, Cina, Minangkabau, Jawa, dan lain sebagainya. Tentu dengan perpaduan bangsa yang bertemu dengan intens ini akan melahirkan sebuah keberagaman budaya di Tanah Melayu. Maka dengan adanya keberagaman budaya ini sikap toleransi sudah jelas tumbuh dan terjalin sejak lama di Provinsi Riau. Wujud keberagaman budaya ini tidak menjadikan sebuah alasan untuk berpecah melainkan terajutnya harmonisasi kehidupan masyarakat yang aman, damai, dan tenteram.
Penghargaan Terhadap Budaya Lokal
Hal ini tentu saja tak akan lepas dari faktor keberagaman budaya di atas. Keberagaman budaya yang bermuara pada harmonisasi kehidupan bermasyarakat maka akan berdampak kepada penghargaan kepada budaya lokal yang lebih dulu ada. Penghargaan terhadap budaya lokal ini sudah terajut erat dalam kehidupan masyarakat Melayu. Sebagai contoh di Kabupaten Siak ruko-ruko milik bangsa Cina menggunakan aksara Arab Melayu pada papan nama tokonya.
Religius
Berpegang teguh kepada kepercayaan yang dianut oleh masing-masing kaum juga menggambarkan sebuah harmonisasi pada Masyarakat itu sendiri. Sekiranya agama selalu mengajarkan hal kebaikan terutama mengenai toleransi. Penguatan nilai religius pada diri seseorang tentu saja akan memberikan dampak besar pada pembentukan karakternya. Masyarakat Melayu Riau yang sudah pasti beragama Islam akan melaksanakan kegiatan keagamaannya guna menunjang kebutuhan spiritualnya. Begitupun agama lain yang hidup berdampingan. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh Masyarakat Melayu Riau untuk kepentingan spiritualnya seperti tradisi Ghatib Beghanyut di Siak, Ghatib Togak di Rokan, Bersuluk, Maulid Nabi Muhammad, dan lain sebagainya. Pengembangan nilai religius ini tentu saja akan bermuara kepada nilai toleransi. Hal tersebut dapat dilihat pada banyak daerah di Riau yang dimana rumah ibadah antar umat beragama dibangun bersanding atau berdekatan.